Oleh : Sayifullah, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Kemiskinan ekstrem masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan di Indonesia. Kemiskinan ekstrem mengacu pada kondisi di mana seseorang hidup dengan pengeluaran di bawah $2,15 per hari (dalam paritas daya beli/PPP), bila mengacu pada standar yang digunakan Bank Dunia. Ini berbeda dari kemiskinan nasional, di mana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas sekitar Rp11.571 per hari atau Rp351.957 per bulan per kapita (2024). Kedua batas ini mencerminkan kelompok rentan dengan kebutuhan mendesak, tetapi kemiskinan ekstrem menandakan mereka yang paling tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti pangan dan air bersih.
Untuk memahami perbedaan antara kemiskinan ekstrem dan kemiskinan umum, penting untuk melihat distribusi rumah tangga menurut kuantil pengeluaran : 1) Kuantil Pertama: Rumah tangga dengan pengeluaran di bawah Rp11.571 per hari (standar kemiskinan ekstrem); 2) Kuantil Kedua: Pengeluaran di atas Rp11.571 per hari tetapi masih di bawah garis kemiskinan nasional (Rp18.389 per hari atau Rp551.654 per bulan); 3) Kuantil Ketiga dan Keempat: Kelompok yang tidak miskin menurut definisi resmi, tetapi rentan jatuh ke dalam kemiskinan jika terjadi krisis ekonomi atau bencana.
Kelompok yang berada dalam kuantil pertama merupakan kelompok yang masuk ke dalam kemiskinan ekstrem. Kelompok ini merupakan fokus utama intervensi kebijakan pemerintah utamanya dalam penghapusan kemiskinan ekstrem.
Dalam konteks Indonesia, kemiskinan ekstrem tidak hanya dipandang sebagai masalah ekonomi tetapi juga terkait dengan kesenjangan infrastruktur dan akses layanan publik, terutama di wilayah terpencil seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku. Pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk menghapus kemiskinan ekstrem hingga 0% pada akhir 2024, hal ini sejalan dengan komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Pada awal tahun 2014, tingkat kemiskinan ekstrem mencapai sekitar 4% dari total populasi atau sekitar 10,8 juta jiwa. Sejak saat itu, pemerintah meluncurkan berbagai program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, serta mengalokasikan Dana Desa untuk meningkatkan pembangunan di daerah pedesaan. Kebijakan ini berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem menjadi 2,5% pada 2019 (sekitar 6,6 juta jiwa).
Namun, pandemi COVID-19 yang melanda pada 2020 menghambat progres penurunan kemiskinan. Penurunan aktivitas ekonomi dan pembatasan sosial menyebabkan peningkatan sementara jumlah penduduk miskin dan miskin ekstrem sebanyak lebih kurang 3% s.d. 4%. Setelah situasi pandemi terkendali, pemulihan ekonomi, pemberian bantuan sosial terfokus dan program pemberdayaan masyarakat kembali mendorong tren positif dalam penurunan kemiskinan ekstrem.
Menurut data terbaru BPS, pada Maret 2024, angka kemiskinan ekstrem berhasil ditekan hingga 0,83% atau sekitar 2,3 juta jiwa, turun dari 1,12% pada Maret 2023. Meskipun demikian, target mencapai 0% kemiskinan ekstrem pada akhir 2024 masih menjadi tantangan signifikan. Meskipun capaian 0,83% pada Maret 2024 menunjukkan tren positif, semakin kecil angka kemiskinan ekstrem, semakin sulit untuk bisa menghapusnya secara sepenuhnya.
Tantangan terbesar saat ini ada pada wilayah pedesaan dan kawasan tertinggal, di mana akses terhadap pekerjaan produktif dan layanan dasar masih terbatas. Disamping itu kelompok rentan seperti lansia, difabel, dan mereka yang mengalami sakit permanen, juga perlu perhatian yang khusus.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menegaskan bahwa pemerintah akan memaksimalkan upaya terakhir di tahun 2024 untuk mendekati target penurunan kemiskinan ekstrem. Hal ini tidak mudah, jika intervensi tidak berjalan optimal, apalagi di tengah pemerintahan yang sudah berganti serta lag penyesuaian dan transisi kebijakan, upaya mengurangi kemiskinan ekstrem mendekati 0% pada akhir 2024 sepertinya menjadi tidak tercapai. Wallahu a’lam.
(***)