KAB. SERANG – Warga pesisir Serang Utara menolak rencana pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal itu terungkap dalam Musyawarah Rakyat Banten di Aula Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Minggu (15/12/2024).
Ketua pelaksana acara, Iqbal mengatakan, musyawarah ini menjadi wadah masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak mereka yang terancam oleh proyek tersebut.
“Ada kegelisahan di masyarakat tentang bagaimana melangkah memperjuangkan hak-hak mereka. Karena itu, kami berkumpul di sini,” kata Iqbal.
Diungkapkan Iqbal, musyawarah ini juga menghadirkan warga terdampak untuk berbagi pengalaman dan menyuarakan keresahannya.
“Mereka yang terdampak kita undang untuk menceritakan situasi yang dialami, agar semua ini bisa dirangkum menjadi manifesto perjuangan bersama,” ungkapnya.
Pihaknya juga menyoroti pembebasan lahan untuk PIK 2 yang tidak dilakukan secara profesional dan transparan. Ia menyebutkan adanya pembayaran lahan dengan harga rendah, mulai dari Rp30.000 hingga Rp100.000 per meter.
“Seharusnya ada perencanaan yang demokratis dan difasilitasi oleh negara. Ini dilakukan secara serampangan,” ungkapnya.
Musyawarah ini juga dihadiri oleh perwakilan dari 82 desa di Kabupaten Tangerang dan Serang, termasuk dari wilayah Pontang, Tirtayasa, Tanara, dan Lebakwangi yang akan paling terdampak oleh proyek ini.
Sementara itu Penasihat Forum Kebangkitan Petani dan Nelayan (FKPN), Kholid Mikdar menegaskan, pembangunan PIK 2 akan berdampak buruk pada masyarakat pesisir Serang Utara.
Ia mencatat kehadiran calo tanah di wilayah tersebut sebagai indikasi dimulainya proses pembebasan lahan.
“Belum ada pembebasan lahan resmi, tetapi calo tanah sudah berkeliaran dan transaksi mulai terjadi. Bahkan, beberapa lahan sudah ditransaksikan meskipun prosesnya tidak jelas,” kata Kholid.
Ia juga menuding keterlibatan kepala desa dalam praktik yang merugikan warga.
“Perangkat desa seharusnya melindungi masyarakat, bukan mendukung praktik seperti ini. Saya menyebut PSN PIK 2 ini sebagai bentuk penjajahan karena mereka mengambil tanah dan Air masyarakat,” ujarnya.
Kholid memperingatkan, pembangunan ini tidak hanya mengancam pemilik lahan, tetapi juga para petani tambak dan pekerja yang bergantung pada lahan pertanian.
“Jika tambak dan sawah dirampas, itu sama saja membunuh mata pencaharian masyarakat di Pontang, Tirtayasa, dan Tanara,” tegasnya.
FKPN, kata Kholid, sudah beberapa kali mencoba berdialog dengan pemerintah daerah, termasuk Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten. Namun, ia pesimistis atas tindak lanjutnya.
“Kami pernah mengajukan audiensi tiga kali, tetapi tidak digubris. Pemerintah hanya menyebut ini peluang bagus tanpa memperhatikan dampaknya bagi masyarakat,” ujarnya dengan skeptis.
Sebagai langkah lanjutan, FKPN berencana memperbesar gerakan perlawanan.
“Kami akan menempuh jalur litigasi dan mediasi. Jika hukum tidak ditegakkan, kami akan turun ke lapangan,” pungkasnya.
Kholid juga menegaskan, masyarakat tidak akan menyerah meskipun lahannya terancam diambil secara paksa.
“Apakah dijual atau tidak, tanah kami tetap akan diuruk jika proyek ini berjalan. Kami siap melawan,” tutupnya.
Penulis : Mg-Rasyid
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd