Oleh: Moch. Nasir
Dua puluh enam tahun sudah Kota Cilegon berdiri (tepatnya tanggal 27 April 1999) sebagai daerah otonom yang terus bergerak menuju kemajuan. Sebuah usia yang cukup matang untuk sebuah kota industri, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa pembangunan tak hanya soal fisik, tapi juga tentang manusianya, tentang kualitas hidup, pendidikan, sosial dan budaya.
Cilegon bukan hanya sebagai kota baja, tetapi juga kota harapan. Kota yang memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi cerdas, berdaya saing, dan berakhlak. Namun tentu saja, hal itu tidak akan lahir begitu saja tanpa perhatian serius dari pemangku kebijakan.
Di usia yang ke-26 ini, Cilegon dipimpin oleh dua anak muda yang berani untuk maju. Namun di tengah gemuruhnya harapan itu, ada kondisi yang sangat memprihatinkan yakni terkait keuangan daerah yang tidak sedang baik-baik saja lantaran beban defisit anggaran warisan pemerintahan periode sebelumnya. Pemerintahan baru yang dipimpin Robinsar-Fajar dibebani membayar utang pihak ketiga dan pembayaran lainnya yang jumlahnya ratusan miliar akibat amburadulnya pengelolaan anggaran pemerintahan lama. Andai saja anggaran itu tidak untuk membayar beban utang, bisa dijadikan sebagai pembiayaan pembangunan awal dalam rangka pelaksanaan visi-misi Walikota yang baru. Tapi begitulah regulasi yang harus diterima Robinsar-Fajar dalam pelaksanaan pemerintahan.
Dalam setiap peringatan Ulang Tahun Kota Cilegon, biasanya banyak kegiatan dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan maupun oleh masyarakat. Namun dengan melihat kondisi keuangan daerah yang lagi prihatin, hendaknya dikaji ulang jika akan mengadakan kegiatan yang akan mengeluarkan anggaran besar.
Dari sekian banyak kegiatan yang biasa dilaksanakan itu, hal yang masih relevan untuk dilaksanakan yakni kegiatan Riung Mungpulung dilanjutkan dengan Sidang Paripurna Istimewa DPRD Cilegon. Kegiatan ini penting sebagai refleksi atas perjalanan Kota Cilegon yang isinya memberikan kesan dan pesan terkait perkembangan pemerintahan dan pembangunan Kota Cilegon dari tahun ke tahun.
Adapun dalam sidang Paripurna Istimewa DPRD, sebagaimana kebiasaannya dibacakan kronologi sejarah terbentuknya Kotamadya Cilegon yang diinisiasi masyarakat melalui wadah Lembaga Peduli Masyarakat Cilegon (LPMC). Dua kegiatan tersebut tak lain sebagai momentum untuk mengingatkan kembali bahwa sesungguhnya lahirnya Kota Cilegon sebagai daerah otonom pada 27 April 1999 lalu bukanlah sebuah proses yang instan. Ia merupakan hasil dari pergulatan panjang pemikiran, aspirasi masyarakat, dan perjuangan kolektif berbagai elemen lokal. LPMC menempati posisi strategis sebagai motor penggerak dan penguat aspirasi rakyat.
LPMC telah aktif menyuarakan pentingnya Cilegon memiliki kewenangan sendiri sebagai daerah otonom. Saat itu, Cilegon statusnya sebagai Kota Administratif yang tidak punya kewenangan anggaran dan pembangunan lantaran masih menjadi bagian dari Kabupaten Serang. LPMC melalui diskusi, kajian, dan kampanye sosial berulang kali menegaskan bahwa Cilegon memiliki potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang cukup kuat untuk berdiri sendiri. Satu aspek misalnya soal Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaen Serang saat itu, dimana 50% di antaranya disumbangkan dari Cilegon, makanya wajar jika Cilegon ingin membangun dirinya sendiri tidak tergantung dari paket kiriman anggaran dari Kabupaten Serang. Jadi LPMC sebagai inisiator gagasan Otonomi Daerah dalam konteks kemandirian Cilegon.
Selain itu, LPMC menjadi ruang berkumpulnya berbagai tokoh masyarakat, akademisi, pemuda, dan aktivis lokal. Lembaga ini aktif melakukan pendidikan politik warga, seminar, lokakarya, dan publikasi untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya kemandirian daerah. Mereka menyadari bahwa kunci utama dari pemekaran bukan hanya administratif, tetapi juga kesadaran kolektif masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa LPMC saat itu berfungsi sebagai “keranjang” yang mewadahi aspirasi dan membangun kesadaran publik.
Sebagai “keranjang” aspirasi, dalam berbagai forum resmi maupun tidak resmi, LPMC tampil sebagai juru bicara aspirasi warga Cilegon. Mereka berperan sebagai penyeimbang, menyuarakan tuntutan masyarakat kepada pemerintah pusat dan daerah dengan cara yang terukur dan berbasis data. Posisi strategis ini membuat LPMC dihormati baik oleh masyarakat akar rumput maupun para pengambil kebijakan.
Tidak berhenti di tataran gagasan, LPMC juga aktif mengawal proses administratif, politik, dan sosial dalam pembentukan Kota Cilegon. Mereka terlibat dalam pengumpulan data, advokasi ke legislatif dan eksekutif, hingga menjadi saksi sejarah dalam pengesahan Cilegon sebagai kota otonom pada tahun 1999 bersamaan dengan terbentuknya Kotamadya Depok.
Pasca lahirnya Kota Cilegon, LPMC tidak bubar atau kehilangan arah. Mereka tetap konsisten sebagai lembaga kontrol sosial dan moral, mendorong agar pemerintahan Kota Cilegon berjalan sesuai dengan semangat awal perjuangan: yaitu mewujudkan kota yang adil, beradab, dan berpihak pada rakyat.
Sejarah akan selalu mencatat bahwa berdirinya Kota Cilegon bukan semata hasil keputusan politik, tetapi juga hasil dari kegigihan masyarakat sipil yang terorganisir melalui wadah yang bernama LPMC. Mereka bukan hanya bagian dari masa lalu kota ini, tetapi juga penjaga semangat dan harapan masa depan Cilegon.
Peran itu sangat terasa dan diakui oleh tatanan birokrasi hingga berakhirnya kepemimpinan Walikota Tb Aat Syafa’at, Tb Iman Aryadi/Edi Ariadi. Bentuk pengakuan itu antara lain salah satunya dengan dihibahkannya Gedung LPMC saat kepemimpinan Tb Aat Syafa’at. Setelah itu, utamanya saat terjadi peralihan kepemimpinan birokrasi di bawah kepemimpinan Helldy Agustian, ada saat dimana LPMC terpinggirkan oleh sejarah dan phobia politik kekuasaan.
Kini, Cilegon dipimpin Robinsar-Fajar yang notabene pencalonannya didukung oleh Partai Politik yang dulu tokoh-tokoh sentralnya melahirkan LPMC seperti Tb Aat Syafa’at, Hambasi Abdullah, Sam Rahmat, Mufrodi Muhsin dan tokoh lainnya, sewajarnya bisa mengambil hikmah dari sejarah perjalanan terbentuknya Kota Cilegon.
Sebagai pemimpin yang menghargai sejarah dan ingin membangun masa depan yang berakar kuat, Robinsar-Fajar sebaiknya melihat LPMC bukan hanya sebagai bagian dari masa lalu, tapi juga mitra strategis dalam pembangunan berkelanjutan Kota Cilegon. Oleh karena itu, menjadi wajar apabila pemerintahan Robinsar-Fajar bisa mengakui dan menghormati peran historis LPMC. Hal ini bisa dilakukan dengan cara simbolik dalam berbagai aktivitas pemerintahan baik yang bersifat seremonial maupun forum resmi agar generasi muda mengetahui sejarah dibentuknya Kota Cilegon. Selain yang sifatnya simbolik, tak ada salahnya Robinsar-Fajar melibatkan LPMC dalam proses Perencanaan dan Evaluasi Kebijakan Publik. Bentuknya bisa bermacam-macam seperti mengundang LPMC ke dalam forum-forum strategis: Musrenbang, FGD pembangunan dan sebagainya.
LPMC memiliki jaringan intelektual lokal, dan pemahaman akar rumput yang kuat, mereka bisa jadi “mata dan hati” masyarakat dalam pembangunan. Jika ini dilakukan dengan baik, Pemkot Cilegon bisa membangun kemitraan programatik dengan cara LPMC bisa diajak kerja sama dalam program seperti: Dialog Kebijakan Publik termasuk juga penguatan literasi masyarakat.
Hal yang terpenting dan strategis dalam pelaksanaan pemerintahan saat ini, Robinsar-Fajar hendaknya bisa mendukung regenerasi LPMC agar LPMC mendapat ruang pembinaan kader muda bersama dengan organ-organ kepemudaan lain yang ada di Cilegon seperti pelatihan kepemimpinan, literasi kebijakan publik. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai perjuangan LPMC dan pembentukan Kota Cilegon tetap hidup di generasi baru. Itulah sebuah harapan. Intinya, Robinsar-Fajar tidak cukup hanya “mengenang” LPMC, tapi perlu “menghidupkan kembali” perannya sebagai penjaga arah pembangunan Kota Cilegon. Dengan begitu, bukan hanya membangun kota secara fisik, tapi juga menjaga jiwa dan nurani kota ini. (*)
*Penulis adalah Anggota Tim Panitia Persiapan Pembentukan Kotamadya Cilegon.