SERANG – Bandeng bukan saja menjadi ikon kuliner khas Banten. Jenis ikan yang bisa hidup di air laut dan air tawar ini juga memiliki potensi manfaat yang belum banyak dikatahui oleh masyarakat umum. Selain dagingnya yang nikmat, sisik bandeng ternyata mampu menjadi bahan pengolah logam berat yang terkandung di air.
Adalah lima mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang menguak rahasia manfaat sisik ikan bandeng. Kelimanya adalah Akbar Gama Refarjan, Jakaroni Sofa, Dara Utami Damayanti, Arsya Aditya Pratama, Yasir Khumasi. Mereka mahasiswa teknik kimia angkatan 2017 di kampus tersebut.
Hasil penelitian mereka bertema MISS-CALEBENT (Milkfish Scales Adsorbent) Synthesis And Application of Chitosan from Milkfish Scales (Chanos chanos) as adsorbent For Chromium Metal Waste mendapat apresiasi para juri dengan medali perak dalam kompetisi 5th Istanbul International Inventions Fair (ISIF’20) yang berpusat di Turki.
Saat berbincang dengan BantenNews.co.id, Akbar Gama Refarjan mengatakan bahwa penelitian tersebut bermula dari keprihatinan mereka dengan banyaknya industri penghasil logam berat di Kota Cilegon. “Kami pikir perlu ada semacam adsorbent (penghisap/penyerap) logam berat tersebut dengan memanfaatkan sumber daya yang banyak (ditemukan) di Banten,” kata Akbar selaku ketua tim, Selasa (29/2/2020).
Dari hasil penelusuran literatur jurnal ilmiah, mereka menemukan sisik ikan bandeng sebagai bahan untuk menyerap logam berat. “Ternyata sisik bandeng itu punya kandungan chitosan yang mampu menyerap logam berat,” jelas remaja kelahiran Jakarta, 16 Oktober 1999 itu.
Berbekal informasi tersebut, kelimanya lalu mencari sisik ikan bandeng untuk dijadikan bahan penelitian. Mereka mendatangi salah satu warung Sate Bandeng di Serang. Di sana mereka mendapatkan limbah sisik ikan bandeng cukup banyak. “Kami ambil di Kang Agus di Kota Serang,” tutur Akbar.
Sisik bandeng tersebut mereka bawa ke laboratorium untuk diuji. Dengan pengolahan kimiawi, sisik bandeng dicampur dengan asam dan basa kemudian dioven dalam suhu dan waktu tertentu. Hasilnya, sisik bandeng menjadi chitosan atau bahan penyerap logam berat.
“Hasil chitosan kami juga sudah di uji di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ternyata hasilnya chitosan kami lebih baik dari yang ada di pasaran,” kata dia.
Secara umum, chitosan yang ada di pasaran, lanjut Akbar, berbahan dari cangkang rajungan dan kulit udang. “Umumnya di pasaran itu dibuat untuk produk farmasi, dan ada juga pengolahan lapisan (coating) makanan. Chitosan kami aman lingkungan karena bersifat biopolymer,” ujarnya.
Hasil uji coba yang ia lakukan, 0,1 gram chitosan sisik ikan bandeng dapat menyerap 10 mili liter limbah logam berat yang terkandung di air. “Jika sudah melalui proses aktivasi, efektivitas chitosan (sisik ikan bandeng) ini bisa mencapai 90 persen,” katanya menjelaskan.
Hasil penelitian tersebut, manurut Akbar bisa dimanfaatkan dalam skala yang lebih besar semisal untuk pengolahan industri penghasil limbah logam berat. Skemanya dengan menempatkan empat tangki besar untuk proses penyaringan. Mulai dari absorsi, sedimentasi hingga tangki air bersih. “Proyeksi ke depan bisa diterapkan pada skala yang lebih besar semacam industri,” kata dia.
Hasil penelitian tersebut telah melewati tahap seleksi di dalam negeri sebelum mengikuti kontes yang diikuti oleh 26 negara dari Eropa, Amerika dan Afrika. Pengolahan limbah sisik ikan bandeng tersebut berhasil meyakinkan juri yang menerima 590 lebih hasil penelitian dari belaahan dunia.
Ia dan tim berharap, hasil penelitian tersebut lebih bermanfaat untuk kelestarian alam dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan mudah ditemukan di lingkungan sekitar. (you/red)