Beranda Peristiwa Tolak RUU Bermasalah, Aktivis Soroti Ancaman Terhadap Demokrasi

Tolak RUU Bermasalah, Aktivis Soroti Ancaman Terhadap Demokrasi

Aktivis mahasiswa berunjukrasa di depa DPRD Banten. (Rasyid/bantennews)

SERANG – Puluhan aktivis berunjukrasa di depan gerbang DPRD Banten, di Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten (KP3B), Curug, Kota Serang, Senin (28/4/2025).

Massa menolak sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai berbahaya dan mengkhianati semangat reformasi 1998.

Berdasarkan pantauan BantenNews.co.id, puluhan aktivis kompak mengenakan pakaian hitam-hitam, sebagai simbol persatuan antar masyarakat sipil dalam melakukan aksi demontrasi tersebut.

Raffi, salah satu aktivis menegaskan, pembahasan RUU Polri, Kejaksaan, KUHAP, dan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mempersempit ruang demokrasi dan memperkuat dominasi kekuasaan.

“Proses legislasinya sarat rekayasa. Alih-alih mengedepankan transparansi dan partisipasi publik, pembahasannya justru dilakukan terburu-buru dan minim keterlibatan masyarakat,” tegas Raffi.

Ia menilai, mekanisme check and balance diabaikan, serta kritik dari masyarakat sipil disingkirkan.

“Ini bukan sekadar cacat hukum. Tetapi juga bentuk kudeta konstitusional yang menggerus supremasi sipil dan menghidupkan kembali logika negara otoriter,” ungkap Raffi.

Ia menjelaskan, revisi RUU Polri yang seharusnya menyempurnakan UU Nomor 2 Tahun 2002 agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman dan hak asasi manusia.

Namun, RUU Polri itu justru mengandung banyak penyimpangan dalam substansinya. Tak hanya itu, Raffi juga menyoroti perluasan kewenangan yang diatur dalam RUU Kejaksaan.

“Jaksa kini tak hanya mengurus perkara pidana, tetapi juga mengatur urusan perdata, administrasi negara, hingga sektor bisnis rakyat. Menolak RUU Kejaksaan berarti membela keadilan dan hak-hak rakyat,” tegasnya.

Mengenai RUU KUHAP, Raffi mengkritik kemudahan prosedur penahanan, pelonggaran batasan terhadap bantuan hukum, dan perluasan kewenangan penyidikan.

“Ini membuka peluang negara untuk menahan siapa pun tanpa perlindungan hukum memadai, memperbesar risiko diskriminalisasi terhadap masyarakat kecil,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Raffi menyoroti RUU Sisdiknas yang dianggap menghapus prinsip keberagaman dalam pendidikan dan mengabaikan hak masyarakat adat.

Baca Juga :  Marak Industri, BPBD Banten Susun Rencana Kontinjensi Bencana

“Pendidikan diarahkan menjadi pabrik tenaga kerja semata, menghilangkan nilai-nilai kritis, serta mengancam pendidikan alternatif rakyat,” katanya.

Dalam orasinya, Raffi menegaskan, tuntutan massa aksi, antara lain menolak RUU Polri, RUU Penyiaran, dan RUU Kejaksaan serta menuntut pemerintah segera mengesahkan UU Perampasan Aset.

Selain itu, kita dia, pemerintah juga didedak untuk menerbitkan Perpu untuk mengembalikan TNI ke ranah pertahanan tanpa campur tangan di ranah sipil. Serta mendesak pengesahan dan RUU Masyarakat Adat.

Selain itu, massa aksi meminta pencabutan Inpres Nomor 1 Tahun 2025, pembebasan warga Cibetus yang ditahan, pembersihan nama baik mereka, pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku korupsi, pembubaran komando teritorial, pemberantasan korupsi bisnis militer, dan mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah, serta demokratis.

Dalam kesempatan yang sama, Ruby, seorang mahasiswa peserta aksi, turut mempertegas kekhawatiran terhadap ruang kebebasan sipil.

“Jika RUU ini disahkan, kritik di media sosial bisa dianggap ancaman keamanan, membuat kita rentan ditahan secara semena-mena tanpa proses hukum yang jelas,” jelas Ruby.

Menurutnya, dalam situasi seperti itu, demokrasi hanya akan menjadi angan-angan belaka. Ia berharap aspirasi mereka dapat didengar dan disampaikan oleh perwakilan DPRD Banten.

“Kami berharap ada audiensi langsung agar tuntutan kami benar-benar diperjuangkan di parlemen,” tandasnya.

Penulis : Rasyid
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News