Salah satu ulama atau aktor intelektual dalam pemberontakan Geger Cilegon yang meletus pada 9 Juli 1888 tak bisa dilepaskan dari nama Haji Abdul Karim. Nama Haji Abdul Karim dianggap tiga serangkai dengan tokoh lain Haji Tubagus Ismail dan tentu saja Haji Wasid atau Ki Wasid.
Dalam catatan Sartono melalui bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888, Haji Abdul Karim disebutkan sebagai ulama besar dan dikenal sebagai guru tarekat qadiriyah. Melalui gerakan tarekat, ia menyisipkan pesan mengajak para murid-muridnya untuk menyingkirkan penjajah Belanda dari bumi Banten.
Haji Abdul Karim semasa muda mendalami ajaran-ajaran Khatib Sambas, seorang pemimpin tarekat qadiriyah. Keuletan dan bakat-bakat spiritual yang mendalam menjadikan Haji Abdul Karim cepat menjadi ulama besar.
Setelah menimba ilmu tarekat qadiriyah, ia mengemban tugas pertama menjadi guru tarekat di Singapura. Tugas tersebut ia lakukan selama beberapa tahun.
Pada tahun 1872, Haji Abdul Karim kembali ke desanya yaitu di Lampuyang, Kabupaten Serang dan tinggal di sana selama 3 tahun. Di kampung halamannya, Haji Abdul Karim mendirikan sebuah pesantren tarekat. Dalam waktu singkat ia mendapat ratusan murid dan didatangi orang-orang penting seperti Bupati Serang saat itu.
Khotbah-khotbahnya mendapaat simpati masyarakat luas. Tidak saja prestise dan pengaruhnya bertambah besar secara menyolok tapi ia memperoleh pendapatan materi yang besar dari pengikut-pengikutnya yang berlomba membeli tasbih, kitab suci dan benda-benda keagamaan lainnya yang berasal dari kota suci Mekah.
Dengan modal ekonomi itu, Haji Abdul Karim mengunjungi daerah-daerah di Banten sambil tak henti-hentinya mempropagandakan tarekat dan semangat fi sabilillah di hadapan massa rakyat yang antusias dengan khotbahnya. Ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung misinya mengusir penjajah dari bumi Banten.
Salah satu isi khotbah Haji Abdul Karim yakni tentang pentingnya menekankan masyarakat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat menunaikan ibadah. Bahwa keyakinan dan praktek agama harus menjalani proses pemurnian yang intensif melalui dzikir, sholawat dan takbiran.
Haji Abdul Karim juga dikenal masyarakat luas sebagai Wali Allahyang dianugerahi berokah. Oleh karena itu dia sangat dikeramatkan di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Kyai Agung. Murid-muridnya yang terkemuka dapat disebutkan seperti Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lempuyang, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir dan Haji Marjuki dari Tanara.
Catatan spionase Snouck Hurgronje terhadap Haji Abdul Karim:
“…setiap malam beratus-ratus orang yang ingin diselamatkan, berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar dzikir dari dia, untuk mencium tangannya dan menanyakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan untuk beberapa lama lagi pemerintah Kafir [Kolonial] akan berkuasa,” tulis Snouck.
Akan tetapi, Haji Abdul Karim merupakan sosok yang penuh perhitungan dingin. Ia tak ingin mengorbankan gerakan pemberontakkan menjadi bumerang untuk masyarakat yang merindukan kembalinya kejayaan Kesultanan Banten.
Oleh karena itu, Haji ABdul Karim selalu memberikan penjelasan-penjelasan yang samar kepada pengikutnya yang setia, tentang soal-soal yang sangat penting seperti pemulihan Kesultanan Banten atau saat dimulainya jihad yang yang dirindukan oleh pengikutnya. Dalam hal inilah, ia menyayangkan Ki Wasid yang dianggap terlalu cepat memutuskan pemberontakan sebelum infrastruktur perjuangan memadai.
(You/Red)