AJANG Festival Film Indonesia (FFI) 2015 digelar di Provinsi Banten dengan mengusung tema “Tribute to Teguh Karya”. Sutradara dan pendiri Teater Populer kelahiran Pandeglang, Banten itu diangkat menjadi ikon penghargaan tertinggi dunia perfilman guna melestarikan karya-karya dan semangatnya. Puncak penganugerahan FFI digelar di BSD dan salah satu rangkaian acaranya adalah pemutaran beberapa film besutan Teguh Karya.
“Teguh Karya lahir di Pandeglang, Banten, provinsi yang menjadi tuan rumah FFI 2015. Sayang, banyak generasi muda di Banten yang justru tidak kenal dengan Teguh Karya,” kata Ketua Pelaksana FFI 2015 Olga Lydia, yang dikutip dari Antara, 23 November 2015.
Teguh Karya terlahir dengan nama Steve Liem Tjoan Hok pada 22 September 1937 di Pandeglang, Banten. Ia adalah anak pertama dari Laksana Karya (Tjon Hok) dan Naomi Yahya yang merupakan keturunan Tionghoa Indonesia; ia memiliki keturunan Banten dari neneknya.
Dikutip dari Tirto.id, Teguh Karya merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Di usianya yang ke-10, ia dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Jakarta karena konflik etnis yang meletus di kampung halamannya.
Jakarta menjadi permulaan Teguh untuk mengenal dunia seni. Di gereja tempatnya beribadah, ia bergabung dengan kelompok drama yang tampil saban Natal dan Paskah. Pengalaman itu membuat Teguh jatuh hati dengan semesta seni peran.
Pada 1954, Teguh merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi). Teguh belajar di Asdrafi Yogyakarta dari tahun 1954-1955. Lalu, ia belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta dari tahun 1957 sampai 1961. Ia mendapat beasiswa untuk belajar drama dan film di East–West Center Universitas Hawaii di Honolulu tahun 1963. Sepulang ke Indonesia dia mengajar seni peran di ATNI (1964). Pada masa itu juga ia mendirikan Teater Populer bersama Tuti Indra Malaon, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan lain-lain. Ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (1962). Ia pernah bekerja sebagai penata artistik panggung Hotel Indonesia (1961-1972). Teater Populer kemudian berhasil memproduksi sejumlah drama, termasuk Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974).
Seperti dicatat dalam Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, teater dengan nama Teater Populer yang didirikan dan dipimpinnya itu tak terhitung berapa kali sudah tampil mementaskan naskah-naskah dari pengarang besar seperti Alice Gerstenberg, Norman Barash, Nikolai Gogol dan lain-lain. Setiap kali tampil pada masa itu, sambutan penonton luar biasa. Garapan teater Teguh sangat komunikatif. Kekuatan bukan saja ada pada kemampuan akting aktor-aktris panggung yang terlibat tetapi juga penyutradaraan, penataan set panggung, manajemen pertunjukan, dan lain-lain. Maka, pada masa itu, setiap kali Teater Populer tampil di berbagai tempat seperti antara lain Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta dan lain-lain, orang-orang sudah siap menanti. Teguh bukan saja sebagai sutradara, tetapi dia memposisikan diri sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas semuanya, tentu dengan pendekatan pembinaan sesuai yang dimiliki.
Kawah candradimuka Teater Populer lantas melahirkan seniman-seniman bernas di eranya seperti Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Ray Sahetapy, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon, George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, hingga Ninik L. Karim.
Teguh memulai debut film pada tahun 1971 lewat Wadjah Seorang Laki-Laki sebagai penulis cerita, skenario, dan sutradara. Dua tahun kemudian ia merilis film Cinta Pertama, yang membawanya meraih Piala Citra serta mengangkat karier akting bintangnya, Christine Hakim. Ia kemudian merilis tiga film romansa lain, Ranjang Pengantin, Kawin Lari, dan Perkawinan Semusim.
Film Teguh Karya yang sukses di pasaran, Badai Pasti Berlalu, dirilis pada tahun 1977. Diadaptasi dari novel Marga T, film ini disaksikan oleh 212.551 penonton saat peluncuran perdananya. Lagu tema film ini diisi oleh sejumlah musisi kenamaan seperti Chrisye dan Berlian Hutauruk. Film ini kemudian memenangi empat Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1977.
Dua tahun kemudian, Teguh Karya menyutradarai film sejarah November 1828, yang menerima enam Piala Citra. Kemudian ia menyutradarai film Di Balik Kelambu, Secangkir Kopi Pahit, Doea Tanda Mata, Ibunda dan Pacar Ketinggalan Kereta.
Teguh juga menyutradarai sejumlah sinetron, salah satunya sinetron Pulang (1987). Pada tahun 1995 ia menyutradarai serial Alang-Alang yang didukung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Johns Hopkins University Population Communication Services.
Sepanjang karirnya Teguh Karya memenangi Piala Citra terbanyak (seperti yang dinyatakan The Jakarta Post sebagai “countless”). Selain menjadi sutradara yang paling banyak meraih penghargaan Sutradara Terbaik, yaitu sebanyak enam penghargaan dari sembilan nominasi, Teguh Karya juga menjadi sutradara yang film-filmnya paling banyak dinobatkan sebagai Film Terbaik, yaitu sebanyak lima kali dari delapan nominasi. Hampir sebanyak gelar yang diraihnya sebagai Sutradara Terbaik — hanya pada tahun 1975 filmnya Ranjang Pengantin kalah oleh film Wim Umboh, Senyum di Pagi Bulan Desember.
Pada tahun 1985, Teguh Karya dinominasikan sebagai Sutradara Terbaik untuk dua filmnya, Doea Tanda Mata dan Secangkir Kopi Pahit, dan kedua filmnya itu pun dinominasikan sebagai Film Terbaik; namun dia justru dikalahkan oleh “anak didiknya”, Slamet Rahardjo, yang dinobatkan sebagai Sutradara Terbaik dan filmnya Kembang Kertas sebagai Film Terbaik.
Pada tahun 1998, Teguh Karya menderita stroke, yang menyebabkan kehilangan ingatan dan membuatnya harus duduk di kursi roda seumur hidupnya. Ia meninggal pada usia 64 tahun di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo, Jakarta Pusat pada 11 Desember 2001.
Pada tahun 2005, Twilite Orchestra menggelar konser mengenang karya Teguh yang menampilkan lagu-lagu dari film Teguh Karya. Penampil di konser tersebut termasuk orang-orang yang ia sutradarai, seperti Berlian Hutauruk, serta bintang pop seperti Krisdayanti dan Ruth Sahanaya. (ink/red)