CILEGON – Sebagai salah seorang birokrat, sosok Tatang Muftadi sudah tidak asing lagi. Lebih dari dua dasawarsa terakhir, namanya dikenal luas di berbagai lapisan kelompok masyarakat, terlebih di lingkup aparatur Pemerintahan Kota Cilegon itu sendiri.
Sejak resmi mengawali karirnya sebagai abdi negara di usia 18 tahun tepat pada 1 Maret 1983 silam, pria kelahiran 11 September 1964 ini telah malang melintang di berbagai tugas dan tetap konsisten dalam mengemban amanahnya sebagai pelayan publik hingga di penghujung jabatan pada akhir September tahun ini.
“Saya masih ingat betul, gaji pertama yang saya peroleh di Dinas Pendidikan Kabupaten Serang sebesar Rp21 ribu. Memang saat itu lagi booming-nya menjadi karyawan industri, teman-teman saya bisa dihitung dengan jari yang mau menjadi PNS. Tapi hidup itu kan adalah pilihan. Dan saya lebih memilih menjadi PNS, mengikuti jejak orangtua saya sebagai pengabdi untuk melayani,” ungkap Tatang mengenang masa lalunya.
Perjalanan sejarah Cilegon yang resmi menjadi Kota Otonom pada 27 April 1999, menghantarkan Tatang pada keberlanjutan karir di tanah kelahirannya. Ia mulai menduduki jabatan sebagai Kasubsi Mutasi Dinas Pendidikan Kota Cilegon, yang kemudian didapuk sebagai Kepala Bidang Pembinaan Pemuda dan Olahraga (Binmudora) pada tahun 2001.
“Jabatan Kabid Binmudora ini sangat membekas dan berkesan bagi saya ketika berhasil menghantarkan Kota Cilegon sebagai juara umum POPDA dan runner up PORDA 2002,” kenangnya lagi.
Titik cerah perjalanan karir anak ketiga dari delapan bersaudara ini tatkala ia mendapatkan amanah sebagai Kepala Bagian Humas Setda Kota Cilegon pada tahun 2004. Tatang bahkan menjalin kedekatan hubungan yang akrab secara emosional dengan seluruh insan jurnalis dari berbagai jenis media pemberitaan kala itu.
Ia terjemahkan tugas dan perannya sebagai jembatan dan corong segala kebijakan pemerintah daerah dengan merumuskan gebrakan ‘Komunikasi Dua Arah’, sebuah formulasi upaya sinergitasnya dengan insan pers yang menjadikan Tatang mengetahui segala isu dan peristiwa lebih awal, bahkan sebelum itu diketahui pimpinan daerah dan khalayak.
“Wartawan bagi saya adalah mitra. Sebagai corong pemerintah, mampu bersinergi dengan pers adalah sebuah kebutuhan. Karena melalui pemberitaannya, wartawan telah turut andil menyuarakan kerja-kerja pemerintah daerah. Bagi saya, sekadar mengobrol dengan wartawan saja, itu sudah menjalankan tugas. Karena wartawan adalah sumber segala informasi,” sanjung Tatang.
Alkisah, berangkat dari keberhasilan kinerjanya sebagai Kabag Humas itulah, telah menjadikan pendiri Radio Mandiri FM ini sebagai salah seorang ASN putra daerah dengan karir yang cukup menonjol, bahkan berhasil pula menghantarkannya untuk berpromosi jabatan sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Jabatan strategis dengan golongan kepangkatan yang lebih tinggi itu disandangnya di usia yang masih relatif muda, 40 tahun. Lagi-lagi amanah itu tak disia-siakan. Tatang langsung tancap gas, melahirkan gebrakan baru dengan mempelopori Gerakan Budaya Disiplin (GBD), sebuah program kesadaran ASN hingga mereka tidak dapat berkeliaran bebas pada saat jam tugas.
“Disiplin itu adalah budaya, korelasinya pada sebuah integritas. Bagaimana saya ingin menyadarkan para ASN melalui GBD itu sebagai tolok ukur kinerjanya, karena melalui profesinya seorang ASN harus benar-benar mampu menjadi figur di masyarakat selain sebagai pengabdi, pribadi yang memegang teguh prinsip bagaimana sebaik-baiknya melayani, bukan dilayani,” ujarnya.
Berkiprah sebagai pejabat Eselon II, eksistensi sosok yang familiar dengan ujaran “jangan pernah merasa pandai, tapi haruslah pandai merasa” ini terus berkilau lewat sejumlah capaian di jabatan strategis lain. Di tengah menjalankan tugas utamanya sebagai Asisten Daerah II Setda Kota Cilegon, dunia parlemen cukup mengapresiasi keberhasilan Tatang yang secara diam-diam mampu menghantarkan Kota Cilegon meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Banten untuk pertama kalinya, tatkala rangkap jabatan sebagai Plt Kepala Inspektorat pada 2014 seraya ia emban.
Karir Tatang terus berpetualang. Ia sempat pula menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Koperasi dan UMKM, sebuah OPD baru hingga Plt Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Sandi dan Statistik seraya menjalani tugas utama jabatan yang diemban hingga batas akhir karir pengabdiannya yakni sebagai Asisten Daerah I.
“Sesungguhnya tidak ada jabatan yang istimewa, mengingat tupoksi di setiap jabatan itu tidak akan pernah sama, tergantung bagaimana kita mampu menerjemahkan. Karena jabatan apa pun itu, selama di pemerintahan, muaranya tetap adalah pelayanan kepada masyarakat,” paparnya.
Perlu diakui, sepak terjang bapak dari tiga anak ini tak bisa dipandang sebelah mata. Dari rentang perjalanan karir yang sempat diduduki itu, tak pelak telah turut menjadikan Tatang sebagai saksi atas lahirnya berbagai kebijakan, dinamika dan lika-liku tumbuh kembang kota di penghujung Pulau Jawa ini untuk terus setia mengabdi dengan menjunjung tinggi integritasnya.
“Seorang ASN tidak dapat mengklaim dirinya sebagai aparatur yang berintegritas, karena hal itu mutlak menjadi prerogatif masyarakat yang dilayani untuk menilainya. Di situlah korelasi semboyan pandai merasa, karena yang merasakan orang lain. Seorang pelayan harus mampu terjun ke lapangan, hadir di tengah-tengah yang dilayani agar turut merasakan apa yang dirasakan,” ucap Tatang mengingatkan.
Kalender di penghujung September 2024 memaksa suami dari Alawiyah itu untuk berkemas, menyudahi karirnya setelah selama 41 Tahun 6 Bulan mengabdi, sebuah rentang waktu yang tidak singkat. Tatang resmi memasuki masa pensiun. Banyak yang merasa kehilangan pada keramahan sosok yang dikenal menjunjung tinggi integritas profesi ini. Terutama pada mereka yang biasa beraktivitas di sekitar lingkungan pemerintahan daerah. Mulai dari aparatur, aktivis, pegiat sosial hingga di kalangan petugas kebersihan. Lagi-lagi, tak terkecuali juga di kelompok jurnalis.
Di sela kesehariannya yang lain, sosok religius yang memedomani sinergitas pikir dan zikir ini diketahui pula telah mendirikan Syubbanul Muslimin pada 2016 lalu, sebuah pondok pesantren salafi sekaligus tapak tilas kakeknya, tokoh perjuangan Cilegon Abuya KH. Ali Jaya di Lingkungan Delingseng, Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Citangkil.
“Mengajar, berkumpul dan berinteraksi dengan seluruh pengajar dan santri Syubbanul Muslimin tentu akan lebih intens ke depan. Bagi saya ini adalah suatu kebanggaan, sisi lain dari sebuah potret pengabdian,” tutupnya.
Selamat purna tugas, terima kasih atas seluruh bakti dan dedikasi pada kota kecil ini.
(dev/red)