Oleh : Safira Putri Khoirunnisaa, Mahasiswa Semester 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Banyak orang berbondong-bondong untuk mendapatkan kekuasaan. Tak salah, karena banyak dari mereka yang berfikir “lo punya kekuasaan, lo bebas” sehingga mereka berfikir demikian. Hal tersebut benar adanya dan di Indonesia sudah amat normal terjadi.
Pemimpin-pemimpin yang ada di Indonesia pastinya memiliki kekuasaan dan itu mutlak. Tak jarang juga orang-orang dari kalangan ‘bukan pemimpin’ memiliki kekuasaan dengan berbagai faktor yang mereka miliki.
Tetapi dengan maraknya kekuasaan yang terjadi di Indonesia menyebabkan berbagai hal negatif terjadi, salah satunya yang paling sering sekali terjadi dan kasus terbanyak terjadi di setiap tahunnya yaitu korupsi. Banyak dari orang-orang yang memiliki kekuasaan melakukan hal tersebut.
Dengan hukum yang ada di Indonesia menyebabkan maraknya terjadi korupsi, ditambah dengan kekuasan tinggi yang mereka miliki sehingga mereka dapat ‘menutup mulut’ dari orang-orang yang sekiranya dapat mengacaukan perbuatan mereka. Mereka berfikir dengan mereka memiliki kekuasaan dapat lebih mudah untuk mengatur orang-orang yang ada di sekitar mereka. Apalagi jika mereka sudah menggunakan kekuasan tersebut sebagai ancaman bagi orang sekitarnya.
Padahal kekuasaan yang dibangun pada zaham dahulu itu melalui beberapa tahapan yang cukup susah, mereka membutuhkan waktu yang sangat lama. Tidak hanya satu atau dua tahun tetapi sampai ratusan atau mungkin bahkan ribuan tahun. Tetapi orang-orang saat ini dengan mudahnya menghancurkan image kekuasaan yang telah dibangunnya itu.
Kekuasaan sangat susah untuk didapatkan, tidak sembarangan orang yang dapat memiliki kekuasaan, sehingga hal ini membuat kekuasaan dianggap sangatlah penting bagi seiap individu. Kekuasaan dapat terjadi dimana pun, bahkan untuk sekedar kerja kelompok sebagai tugas sekolah. Orang yang biasanya lebih pintar dianggap memiliki kekuasaan.
Untuk mendapatkan kekuasaan, kita harus lebih-lebih dari orang yang berada di sekeliling kita, jika kita biasa saja maka kita tidak memiliki kekuasaan. Orang yang biasa saja tidak akan dianggap memiliki kekuasaan karena ia tidak dapat mengatur orang lain, apalagi jika yang diatur lebih dai ornag yang mengatur. Tentunya tidka akan takut dengan ornag yang mengatur atau mungkin akan mengatur balik, karena dia menganggap dirinya lebih baik dari ornag yang mengatur.
Kekuasaan ini menjadi akibat adanya kapitalisme. Kapitalisme ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan, terutama munculnya kelas sosial ini. Diibaratkan sebagai pengusaha dan pekerja sudah sangat jelas letak dari kelas sosialnya. Pengusaha berarti penguasa dan pekerja berarti yang ditindas.
Kekuasaan kerap terjadi dalam lingkup kerja, seperti antar atasan dan bawahan, sering kali atasan menyuruh bawahan untuk menyelesaikan tugas mereka. Atasan menganggap dirinya dapat melakukan apapun yang bawahannya tidak dapat lakukan, oleh sebab itu dengan mudahnya atasan menyuruh ini-itu kepada bawahannya.
Dengan memiliki kekuasaan kita akan dianggap ‘ajaib’ oleh orang-orang atau dianggap ‘menyeramkan’ dal artianornag laintakut terhadapkekuasaan yang kita miliki yang bisa menyuruh dengan seenak hati kita kepada orang tersebut.
Enaknya memiliki kekuasaan itu, orang lain tidak akan semena-mena terhadap kita dan kita juga akan lebih leluasa melakukan hal-hal entah itu hal negatif atau positif, karena orang lain akan sungkan terhadap kita. Dengan kekuasaan juga kita tidak perlu mendengarkan omongan-omongan mereka.
Mendapatkan jabatan tinggi, bebas dari hukuman, dan berlaku sesuka hati. Hal-hal tersebut hanya dapat kita lakukan jika kita memiliki kekuasaan. Sebegitu enaknya hidup dengan kekuasaan. Apalagi jika kita berbuat kesalahan akan dianggap benar jika kita memiliki kekuasaan.
Itulah mengapa kekuasaan dianggap amat sangat penting pada saat ini dan orang-orang berbondong-bondong untuk mendapatkan kekuasaan dengan melakukan hal apapun yang menting mereka mendapatkan kekuasan itu dan ‘menaklukan dunia’ sesuka hatinya.
(***)