Menurut penelitian baru yang dipublikasikan di Proceedings of The National Academy of Sciences of the USA, indikator depresi itu berupa penggunaan lebih banyak kata ganti orang pertama: ‘aku’ atau ‘saya’.
Selain itu, pemakaian frasa yang mengarah pada makna permusuhan dan kesepian, misalnya ‘perasaan’ dan ‘air mata’, juga termasuk dalam ciri-ciri depresi.
Studi tersebut dilakukan dengan menggunakan analisa komputer. Menurut peneliti, algoritma komputer sama efektifnya dengan hasil kuesioner depresi yang mereka terapkan secara langsung pada responden.
Andrew Schwartz, pemimpin penelitian, mengatakan, “Apa yang ditulis orang di media sosial dan online menggambarkan aspek kehidupan yang sangat sulit dalam bidang kedokteran dan penelitian untuk mengaksesnya,” katanya dikutip Viva.co.id.
Ditegaskan Schwartz, dimensi gangguan mental relatif belum tersentuh dibanding gejala penyakit fisik; misalnya, depresi, kecemasan. “Tapi Anda bisa menemukan lebih banyak sinyal tentang itu (gangguan mental) dalam cara orang mengekspresikan diri secara digital,” katanya menambahkan.
Penelitian ini menggunakan sampel posting Facebook dari 1.175 orang, kemudian dicocokkan dengan catatan medis mereka untuk mengonfirmasi diagnosis depresi.
Orang-orang yang menggunakan lebih banyak kata ganti pertama, seperti “saya” lebih cenderung mengalami depresi. Artinya, mereka kerap membahas tentang diri sendiri. Begitu pula, pengguna frasa yang merujuk pada tindakan perenungan dan kecemasan.
Johannes Eichstaedt, penulis studi tersebut, mengatakan, “data media sosial mengandung penanda yang mirip dengan genom. Melalui metode yang sangat mirip dengan yang digunakan dalam genomik, kita dapat menyisir data media sosial untuk menemukan penanda (depresi) ini.”
Schwartz menambahkan, “ada persepsi bahwa menggunakan media sosial tidak baik untuk kesehatan mental seseorang, tetapi di sisi lain bisa menjadi alat penting untuk mendiagnosis, memantau, dan akhirnya mengobatinya.” (Red)