Oleh : Hilmi Alvinsyah, Mahasiswa S1 Administrasi Publik FISIP Untirra
Reforma agraria merupakan upaya penting dalam penataan ulang struktur penguasaan tanah di Indonesia. Dimulai dengan program land reform, reforma agraria bertujuan untuk mendistribusikan tanah secara adil kepada petani kecil dan buruh tani.
Reforma agraria telah menjadi janji yang terus diulang dalam setiap periode pemerintahan di Indonesia. Tetapi implementasinya masih jauh dari harapan.
Ketimpangan kepemilikan lahan menjadi masalah struktural yang menghambat kesejahteraan petani kecil dan kedaulatan pangan nasional. Pangan merupakan permasalahan yang mencakup hajat banyak orang di Indonesia.
Hal ini bisa sangat berbahaya jika indonesia mengalami ketergantunagan pangan sehingga terbelunggu kemerdekaan atas pangannya sendiri.
Konsep kedaulatan pangan sebagai hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Hal ini meruapakan hak setiap bangsa dan negara yang mampu menentukan kebijakannya sendiri yang menjamin hak atas pangan yang berkualitas bagi rakyat, dan hak untuk rakyat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi lokal setiap daerah.
Data memperlihatkan bahwa Indonesia mengalami konflik agraria yang tinggi. Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 telah terjadi 690 kasus konflik agararia di enam negara Asia dengan Indonesia mencatat jumlah tertinggi. Konflik ini mencakup area seluas 1,87 juta hektar dan berdampak pada 2,2 juta orang.
Berdasarkan data dari Walhi dan Auriga dalam laporannya di tahun 2022 yang berjudul “Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi”, dari 53 juta hektar konsensi lahan yang diberikan pemerintah hanya memberikan 2,7 juta atau sekitar 8 persen kepada rakyat dan 94,8 persen untuk korporasi.
Banyak petani kecil kehilangan akses ke tanah mereka sendiri karena proyek-proyek infrastruktur, perkebunan skala besar, dan pertambangan.
Konflik ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan kepemilikan tanah menjadi masalah yang serius dengan segelintir elite yang menguasai lahan yang luas. Sementara petani kecil harus terus memperjuangkan hak mereka.
Program reforma agaria yang dicanangkan pemerintah sejauh ini masih banyak hambatan, mulai dari implementasi yang lambat, tumpang tindih regulasi sampai kepentingan korporasi yang lebih diutamakan dibanding hak petani.
Program redistribusi tanah yang dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi bagian dari solusi, tetapi dalam praktiknya masih jauh dari ideal.
Reforma agraria yang dijanjikan dalam Nawacita Presiden Joko Widodo dengan target 9 juta hektar tanah redistribusi hingga kini belum sepenuhnya terealisasi.
Kegagalan ini dipicu oleh ego sektoral antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang lebih berorientasi mempertahankan luas kawasan hutan ketimbang melepasnya untuk rakyat.
Persyaratan administrasi yang berbelit dan rigid, seperti pembuktian penguasaan lahan selama 20 tahun serta keterbatasan dalam peta Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PKH), juga memperlambat proses redistribusi tanah.
Selain itu, program perhutanan sosial dijadikan sebagai jalan pintas yang lebih menguntungkan pemerintah dibanding PTKH, karena tidak mengurangi luas kawasan hutan.
Akibatnya, banyak masyarakat yang seharusnya mendapatkan hak kepemilikan atas tanah hanya diberikan akses terbatas melalui perhutain sosial, tanpa kepastian hak milik yang sesungguhnya.
Di sisi lain, reforma agraria juga gagal karena tidak menyentuh akar ketimpangan struktural. Penyelesaian konflik agraria berjalan lambat, sementara penguasaan tanah oleh korporasi justru semakin diperkuat, khususnya di sektor perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur.
Dampak dari kegagalan ini sangat nyata, mulai dari maraknya konflik agraria hingga semakin tingginya ketergantungan pada impor pangan, yang menunjukkan bahwa reforma agraria tidak berkontribusi pada kedaulatan pangan.
Parahnya lagi, eksploitasi lahan yang tidak terkendali akibat ketimpangan agraria justru memicu bencana ekologis, memperburuk dampak perubahan iklim, serta merugikan masyarakat yang semakin tersingkir dari tanah mereka sendiri.
Ketimpangan kepemilikan lahan ini juga berimbas pada ketahanan pangan nasional. Ketika petani kehilangan lahan, produksi pangan dalam negeri menurun dan ketergantungan pada impor semakin meningkat.
Data BPS memperjelas bahwa pada tahun 2023 Indonesia mengimpor lebih dari 3 juta ton beras, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir. Selain beras, ketergantungan pada impor juga terlihat pada komoditas lain seperti kedelai dan gula.
Padahal, Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 secara jelas menyatakan bahwa negara harus menjamin kedaulatan pangan, yaitu kemampuan bangsa untuk menentukan kebijakan pangan yang adil bagi seluruh rakyat.
Alih-alih memberikan akses lebih luas bagi petani kecil untuk mengelola lahan mereka, banyak tanah justru dialokasikan untuk kepentingan industri dan perkebunan besar.
Salah satu contoh konkret adalah proyek food estate yang seharusnya menjadi solusi bagi ketahanan pangan, tetapi dalam kenyataannya justru memperburuk ketimpangan agraria.
Banyak petani dipaksa menyerahkan tanah mereka dengan janji bahwa proyek ini akan meningkatkan produksi pangan dan memberi manfaat bagi mereka. Namun, dalam praktiknya, food estate lebih banyak dikelola oleh perusahaan besar dan tidak memberikan manfaat langsung bagi petani kecil.
Proyek ini bahkan menjadi pemicu konflik baru karena masyarakat yang awalnya menggarap lahan tersebut justru tergusur tanpa kompensasi yang jelas.
Kegagalan reforma agraria tidak hanya terletak pada lambatnya redistribusi tanah, tetapi juga pada minimnya dukungan terhadap petani setelah mendapatkan lahan. Banyak petani yang telah menerima tanah tetap kesulitan mengolahnya karena terbatasnya akses terhadap modal, teknologi, dan pasar.
Tanpa dukungan yang memadai, reforma agraria hanya akan menjadi proyek simbolis yang tidak berdampak nyata pada kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional. Petani tidak hanya membutuhkan tanah, tetapi juga jaminan bahwa mereka dapat mengolah lahan tersebut dengan produktif dan berkelanjutan.
Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa reforma agraria benar-benar berjalan sesuai tujuan awalnya. Selain redistribusi lahan, diperlukan kebijakan yang berpihak kepada petani kecil, seperti penyediaan akses pembiayaan, dukungan teknologi pertanian, serta pembangunan infrastruktur yang mempermudah distribusi hasil pertanian.
Pemerintah juga harus lebih tegas dalam menindak monopoli lahan oleh korporasi besar. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum masih sangat lemah dan lebih sering menguntungkan kepentingan korporasi dibanding petani kecil.
Reforma agraria seharusnya menjadi solusi nyata untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Namun, selama ini implementasinya masih jauh dari harapan. Petani kecil masih sulit mendapatkan akses ke tanah, sementara korporasi terus menguasai lahan dalam skala besar.
Jika pemerintah benar-benar ingin mencapai kedaulatan pangan, maka kebijakan reforma agraria harus diperkuat dengan regulasi yang berpihak pada petani dan langkah konkret untuk membatasi monopoli lahan.
Tanah harus benar-benar kembali kepada rakyat, bukan hanya dalam dokumen kebijakan, tetapi juga dalam realitas.
Tim Redaksi