Beranda Opini Sosok Liem Oei Ping: Bisnis, Akulturasi hingga Puisi

Sosok Liem Oei Ping: Bisnis, Akulturasi hingga Puisi

Loem Oei Ping. (Istimewa)

Oleh: Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan

Nama lengkapnya Liem Oei Ping. Lelaki keturunan Tionghoa dari Sulawesi Tengah. Teman-teman dekatnya menyapa Pak Wiping. Ia hijrah ke Kota Serang, Provinsi Banten, pada 1962 silam.

Perjumpaan dan persentuhan dengan Kota Serang membuatnya gampang berbaur dengan kultur komunitas dan komunikasi masyarakat Banten.

Ia juga memiliki khazanah kesejarahan Indonesia yang luas. Sudah tentu di masa-masa mudanya Pak Wiping gemar membaca. Itu terbukti dari fasihnya ketika mengisahkan sejarah Indonesia, terutama sekali pengalaman hidupnya dalam bingkai sejarah Indonesia.

Tak hanya buku, tapi juga publikasi media cetak. Karena itu wajar ketika ia fasih bila bicara tentang sejarah, baik dari buku-buku dan arsip media cetak yang dibacanya atau pun dari pengalaman hidupnya sendiri.

Perjalanan hidup dan perjuangannya untuk merintis usaha (dari toko kelontong hingga toko pakaian) tak lepas dari sejarah Indonesia dan perkembangan Kota Serang, Banten di masa-masa itu yang belum se-urban dan sepadat saat ini.

Begitu pun keberadaan pusat-pusat perbelanjaannya yang masih bisa dihitung dengan bilangan jari tangan.

Namun toko pakaian yang dirintisnya, yang kini bernama Toko Krakatau di kawasan Royal Kota Serang, masih bertahan dan tetap ramai dikunjungi pembeli. Meski pusat-pusat perbelanjaan yang lebih besar telah hadir dan menjadi para kompetitor.

Tetap eksis dan bertahannya toko yang dirintis dan kemudian berkembang dan saat ini masih terus bertahan. Tentu karena kemampuan adaptif pemilik dan pendirinya yang peka membaca kondisi dan situasi jaman.

Kejelian dan kecermatan yang memang dibentuk oleh pengalaman hidupnya, selain oleh pengetahuan dan khazanah bacaan.

Yang sangat menarik, selain dikenal sebagai pemilik Toko Krakatau Royal Serang, Liem Oei Ping juga pemilik kawasan konservasi, edukasi wisata, dan contoh program ketahanan pangan yang merupakan warisan purba sejarah manusia: Rumah Hutan, yang berada di Kampung Cidampit, Bojong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Banten.

Baca Juga :  Pandemi Covid-19 Mengubah Tatanan Sosial dan Bisnis

Di tempat itu kita bisa belajar kembali menyatu dengan alam dan hutan yang menyediakan kecukupan pangan dan lingkungan yang sehat.

Ada sejumlah fasilitas yang telah dibangun untuk rekreasi edukatif hingga pertemuan atau acara-acara lainnya, seperti rumah yang terbuat dari kayu hingga tempat untuk nongkrong dan ngobrol guyub di antara pohon-pohon durian dan pepohonan lainnya.

Di rumah hutan itu, yang menarik perhatian dan minat saya bukan cuma keaslian dan keasrian suasana alamiahnya, tapi karena di sana ada puisi-puisi karya Liem Oei Ping yang terpampang dan tertulis di kayu, di dinding kayu hingga di batu.

Puisi-puisinya memang sederhana dan bersahaja, acapkali juga pendek, namun mengandung pesan-pesan universal mendalam seputar ekologi, kemasadepanan dan nilai-nilai edukatif. Berkaitan dengan pembentukan atau pembangungan karakter dan mental kita sebagai manusia yang merupakan salah-satu bagian dari ekosistem kehidupan dan menjalani hidup.

Kesederhanaan dan kesahajaan narasi dan bunyi puisi-puisinya Liem Oei Ping memang dalam rangka memudahkan sampainya pesan-pesan yang ingin ia bagi ke para pembaca.

Termasuk kepada mereka yang berkunjung dan singgah ke Rumah Hutan yang ia bangun sejak tahun 2015, sepuluh tahun setelah ia membeli kawasan itu di tahun 2005. Simak saja puisinya yang berjudul ‘Hutang dan Aib’:

“Berusaha tekun dan halal 

adalah ibadah 

dan pengabdian 

pada kehidupan 

pada kematian. 

Di saat masih hidup bisa 

sejahterakan keluarga 

di saat wafat 

tidak meninggalkan hutang 

dan aib pada keluarga.” 

Puisi itu menegur kaum muslimin yang mengabaikan ibadah-ibadah lain yang tidak kalah substansialnya dengan ibadah-ibadah ritual, seperti ibadah mencari nafkah yang halal dan menciptakan kemandirian ekonomi.

Sikap kaum muslimin yang meremehkan pencapaian ekonomi justru malah membuat keluarga-keluarga muslim mewariskan kemiskinan kepada generasi muslimin berikutnya.

Baca Juga :  Pengusaha di Serang Tewas Ditusuk Orang Tak Dikenal

Liem Oei Ping mempraktikkan ajaran Qurani untuk bertebaran di muka bumi mencari nafkah dan rizki yang halal untuk melahirkan dan menciptakan keberdayaan kaum muslimin. Agar kaum muslimin tidak terdominasi kekuatan ekonomi yang justru tidak ramah kepada mereka.

Sebuah puisi yang memang secara narasi dan bunyi tidak disampaikan dengan metafora atau perumpamaan canggih atau rumit. Tapi puisi itu mengandung pesan didaktif dan edukatif yang kontekstual dan tepat sasaran, menuju realitas sosial-politik yaitu ketika kehidupan dunia kaum muslimin dan ibadah mereka berorientasi akhirat.

Tapi melupakan dunia sebagai jembatan dan ladang menyiapkan bekal dan amalnya, yaitu membangun kekuatan ekonomi agar tidak mewariskan kemiskinan dan kelemahan struktural kepada kaum muslimin selanjutnya.

Spirit dan muatan tema dan pesan puisi-puisi lainnya tidak berbeda dengan puisinya yang berjudl ‘Hutang dan Aib’ itu, semisal puisinya yang berjudul ‘Sang Waktu’:

“Tidak ada istilah waktu sekarang 

ada juga waktu masa lalu 

ada juga waktu yang akan datang. 

 

Waktu saat ini terus menghilang 

menghilang dari detakan detik 

menit, jam, hari dan seterusnya. 

 

Sang waktu tidak ada tempat 

persinggahan. Tidak pernah cape 

dan tidak pernah tidur. 

Sang waktu terus mengawal kita 

sejak lahir ke bumi 

sampai ke liang lahat!”. 

Bila berkaca pada puisi sebelumnya, puisi berjudul ‘Sang Waktu’ bisa dibilang lebih sublim, meski pesan didaktif dan edukatifnya tidak jauh berbeda dengan puisi berjudul ‘Hutang dan Aib’.

Bahwa waktu dalam puisi itu sesungguhnya hanya ada dua; yang lampau dan yang akan datang, karena yang sekarang hakikatnya bukan persinggahan waktu, sebab hanya proses berjalannya waktu menuju masa depan dan kemasadepanan.

Apakah kita bisa menjadi lebih berhasil atau lebih baik dari masa lalu kita di masa depan nanti, ataukah malah sebaliknya?

Baca Juga :  Apa Sains Itu?

Sejujurnya, khususnya di Banten, belum pernah saya jumpai seorang pebisnis yang menulis puisi dan menyukai puisi, selain Liem Oei Ping.

Biasanya, para pebisnis di Banten kurang menyukai, apalagi menggandrungi puisi, terlebih menulis puisi. Dan ini bisa terbantahkan bila ada orang lain selain Liem Oei Ping yang ternyata menyukai puisi dan menulis puisi, tapi jika tidak ditemukan atau dijumpai, Liem Oei Ping adalah satu-satunya.

Tim Redaksi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News