SERANG – Kasus dugaan pemotongan dana hibah dan pesantren fiktif penerima hibah tahun 2020 terus bergulir. Kejaksaan Tinggi Banten terus maraton memburu pelaku utama penikmat duit pesantren di Banten.
Wasekbid Eksternal Badko HMI Jabodetabeka-Banten Aliga Abdilah menilai oknum berinisial ES yang kini sudah ditetapkan menjadi tersangka pemotongan dana hibah pesantren 2020 hanya keroco alias pemain kecil. Hibah yang digelontorkan Provinsi Banten kurang lebih Rp117 milyar tersebut harus meringkus pelaku utama dalang kejahatan duit negara.
“Menurut saya ini hanya tersangka kecil saja. Saya melihat adanya pelaku yang lebih besar lagi dan adanya dugaan salah kebijakan atau kewenangan dalam dana hibah pesantren tahun 2020 yang di gelontorkan oleh Provinsi Banten,” kata Aliga melalui siaran tertulis yang diterima wartawan, Selasa Rabu (21/4/2021).
Aliga menjelaskan sesuai dengan Peraturan Gubernur Banten Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, Aliga mengutip pasal 16 ayat (1) yang mengakatan bahwa “setiap pemberian hibah dituangkan dalam NPHD yang di tandatangani bersama Gubernur dan Penerima Hibah”. Sedangkan dalam ayat (2) dikatakan bahwa “dalam penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gubernur dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah/unit kerja terkait.
“Melihat pasal 16 tersebut, menurut pandangan kami bahwa apabila ada pondok pesantren yang diduga fiktif maka secara tidak langsung yang menandatangani NPHD tersebut sama saja dengan menyetujui adanya dugaan pesantren fiktif tersebut. Maka sebaiknya Kejati Banten dan Polda Banten untuk segera mengarah kepada dugaan pesantren fiktif dan mencari siapa yang menandatangani NPHD yang diduga pesantren fiktif tersebut,” kata Aliga.
Ia sendiri menilai ada kejanggalan temuan dugaan pesantren fiktif. Padahal instrumen untuk menghindari perbuatan jahat telah dibuat dari mulai perencanaan hingga pelaporan duit hibah melalui Peraturan Gubernur Banten Nomor 10 tahun 2019. “Apakah verifikasi tidak dilakukan, atau memang kesengajaan. Bahwa sesuai pasal 8 ayat (2) bahwa ‘evaluasi terhadap permohonan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan dengan’: a. Memverifikasi persyaratan administratif; b. Kesesuaian permohonan Hibah dengan program dan kegiatan dalam rangka mendukung penyelenggaraan Pemerintahan; c. Melakukan Survei Lokasi; d. Mengkaji kelayakan besaran uang yang akan direkomendasikan untuk dihibahkan; dan e. Mengkaji kelayakan jenis dan jumlah barang/jasa yang akan direkomendasikan untuk dihibahkan dan sebagai bahan penyusunan kegiatan/program.”
Melihat pasal 8 tersebut, ia merasa janggal jika kemudian ada fenomena pesantren fiktif. “Artinya tim verifikasi yang dibentuk Pemprov Banten dapat diduga tidak melakukan survei ke lokasi. Hal ini lah wajar ketika adanya dugaan fiktif dalam pemberian hibah pondok pesantren tahun 2020 sebesar kurang lebih 117 Milyar tadi. Sehingga secepatnya Kejati Banten atau Polda Banten bertindak cepat dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penyaluran dana hibah tersebut. Kasus ini sudah menjadi momok buruk terulang di Provinsi Banten. Jangan sampai kondisi saat ini ada maling teriak maling, yang teriak-teriak tersebut ternyata malingnya. Maka Kejati dan Polda Banten harus cepat bergerak.”
Pantauan BantenNews.co.id di di lapangan menemukan beberapa pesantren penerima hibah tahun 2020 tidak teridentifikasi. Meski nama dan lokasi pesantren penerima hibah masih dalam satu lingkungan rukun tetangga, namun warga sekitar tidak mengetahui keberadaannya. Padahal, nama-nama pesantren tersebut muncul sebagai pesantren penerima hibah tahun 2020.
Hingga saat ini, tim masih mengidentifikasi pesantren “siluman” yang tercatat sebagai penerima hibah, namun tidak diketahui keberadannya. (you/red)