JAKARTA – Melalui kebijakan Merdeka Belajar Episode 3, mulai tahun 2020 dana bantuan operasional sekolah (BOS) akan ditransfer Kementerian Keuangan langsung ke rekening sekolah.
Pemberian dana BOS tidak lagi melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Provinsi seperti tahun sebelumnya, sehingga penggunaan dana BOS diharapkan dapat lebih fleksibel untuk kebutuhan sekolah terutama meningkatkan kesejahteraan guru- guru honorer.
Skema baru bagi BOS reguler yang dikeluarkan oleh Kemendikbud tersebut dinilai memberikan dampak besar, bukan hanya bagi guru non ASN melainkan juga bagi sekolah.
Bagi sekolah, skema tersebut menjadi momen yang sangat penting untuk menguji kapasitas kepala sekolah di bidang kepemimpinan dan tata kelola sekolah.
Hal tersebut disampaikan oleh praktisi pendidikan Asep Sapa’at, dalam keterangan pers di laman Kemendikbud RI, Senin (17/2/2020).
“Jika kepala sekolah tidak memahami apa tujuannya artinya berbahaya, dalam arti berapapun anggaran yang dikucurkan tidak paham digunakan untuk apa. Kalau bicara tentang visi sebenarnya sudah tahu apa yang dilakukan dan kita harus ingat dan sadari bersama bahwa uang itu salah satu bantuan untuk peningkatan sumber daya,” jelas Asep.
“Kemudian yang kedua bicara soal manajerial tata kelola tadi saya sepakat bahwa hari ini ketika transfernya langsung ke sekolah, kita akan bisa melihat mana kepala sekolah yang betul-betul mengelola guru, murid, pembelajaran, sarana prasarana maupun anggaran lain. Jadi bisa kita lihat bagaimana profil kepala sekolah yang kita miliki dalam aspek kepemimpinan dan manajerialnya,” imbuh Asep.
Selain peningkatan persentase untuk guru non ASN, menurut Asep, yang tidak kalah penting adalah kemerdekaan guru dalam mengembangkan profesionalismenya karena hal ini berdampak pada anak didik agar anggaran yang besar ini dapat menghasilkan sumber daya manusia seperti yang diharapkan bersama.
“Biaya apapun yang dikeluarkan terkait pendidikan ini bicaranya harus paradigmanya investasi. Maka kalau bicara investasi harus ada parameter yang terukur. Perubahan seperti apa yang diharapkan dengan adanya kucuran dana sebesar itu,” tutur Asep.
Sementara itu Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia, Didi Suprijadi, mengungkapkan bahwa dalam skema kebijakan Dana BOS terdahulu banyak guru yang tidak mau menjadi kepala sekolah karena sangat sulit mengelola keuangan sekolah.
Bahkan, tak sedikit kepala sekolah yang harus melakukan berbagai manuver untuk menutupi operasional sekolah.
Ia mengingat kembali penyaluran BOS yang terdahulu. “Turunnya uang itu sekitar bulan Maret. Bagaimana harus bayar listrik dan ada yang rusak harus diganti? Belum lagi yang paling sedih adalah alokasi guru honorer 15 persen juga bukan khusus untuk guru honorer tetapi untuk belanja pegawai. Judulnya belanja pegawai kalau belanja pegawai honorer itu paling terakhir nanti kalau ada sisa.”
” Guru honorer ini ya karena masuknya kepada belanja pegawai sering tidak kebagian nah mengakibatkan guru honorer di dapatnya ada yang 300. Bayangkan Rp300 ribu per bulan dibayar 3 bulan sekali itu di akhir,” jelas Didi.
“Yang lebih rawan lagi ini kepala sekolah mencari talangan. Talangannya ke mana? Kadang-kadang ke rekanan. Kalau kata rekanan boleh dibayar dulu tapi harganya yang maksimal sesuai dengan e-budgeting,” imbuh Didi.
Terkait dengan peraturan bahwa guru non ASN yang akan menerima Dana BOS harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), Didik mengatakan bahwa hal tersebut menjadi kendala, mengingat syarat untuk mendapatkan NUPTK adalah guru honorer tersebut harus memiliki SK penugasan dari dinas pendidikan.
“Sedangkan pada kenyataannya banyak pemerintah daerah yang tidak mau mengeluarkan SK. Jadi saya minta agar syarat NUPTK dipertimbangkan kembali. Yang penting guru tersebut terdaftar di Dapodik,” harap Didi. (Red)
Sumber : Kompas.com