SERANG – Empat hari kedepan Provinsi Banten akan merayakan HUT ke-21 tahun. Di usia tersebut masih banyak persoalan yang belum rampung, meski memang ada juga kinerja yang sudah terlihat. Hal itu mencuat dalam diskusi refleksi 21 tahun Provinsi Banten yang dihelat Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten, Kamis (30/9/2021).
Salah satu pekerjaan rumah yang berakhir sebagai janji politik belaka dari pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy yakni soal berobat gratis hanya dengan menunjukkan KTP. Janji politik itu menjadi “dagangan” pasangan WH-Andika saat kampanye pada Pilkada 2017 silam.
“Saya masih ingat bahwa WH pernah bilang jika masyarakat Banten sakit cukup bawa KTP. ‘Sebut nama gua 3 kali WH, WH, WH di depan petugas kesehatan’,” tutur Direktur Eksekutif ALIPP Uday Suhada menirukan ucapan Wahidin Halim saat kampanye.
Uday menilai pelayanan pokok seperti kesehatan dan pendidikan di Banten masih jauh panggang dari api. Selain janji berobat gratis pakai KTP, janji membangun 100 unit sekolah baru di Banten juga terseok-seok dengan perkara rasuah.
“Jangankan membangun sekolah, bahkan dari sejak FS (studi kelayakan) dan pengadaan lahannya saja sudah masalah. Seperti kasus yang sedang ditangani KPK dan Kejaksaan Tinggi,” ujarnya.
Penindakkan beberapa kasus seperti hibah untuk pondok pesantren di Banten menjadi indikator Banten belum lepas dari keterpurukan korupsi. “Siapa bilang pemerintahan di Banten sudah on the track.”
Kegagalan jalannya pemerintahan di Banten, lanjut Uday bukan semata kegagalan WH-Andika. DPRD yang memiliki 3 fungsi utama juga ambil bagian kegagalan tersebut. “Mentalitas penyelenggara pemerintahan di DPRD maupun eksekutif harus bertanggung jawab.”
Salah satu keberhasilan WH-Andika, yang patut diapresiasi, lanjut Uday adalah berubahnya wajah Banten Lama yang lebih baik. “Itu perlu diapresiasi. Kalau soal infrastruktur jalan, itu masih warisan dari pembangunan periode sebelumnya.”
Pengamat kebijakan publik dari UNSERA, Ahmad Sururi melihat disparitas antara Bante Utara dan Banten Selatan masih relevan hingga saat ini. Kebijakan yang tanpa disertai basis riset oleh Pemprov Banten menjadikan arah pembangunan tanpa fokus yang jelas.
Banyak investasi di bidang industri namun tak kurang banyak pengangguran di Banten menjadi indikator tak ada titik temu antara kebijakan dan kebutuhan publik untuk lapangan pekerjaan. Ditambah lagi, persoalan disparitas dan jomplangnya kesempatan di wilayah selatan yang tidak beranjak membuat pembangunan hanya tersentral di wilayah utara.
Lia Riesta Dewi, pakar hukum dari UNTIRTA menyebutkan bahwa kepemimpinan WH-Andika gagal. Salah satu indikator yang paling nyata menurutnya yakni tak tercapainya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten yang hanya 72,45 tahun 2020. Padahal target IPM Banten 78,8. Lia menilai sisa kepemimpinan WH-Andika yang hanya 7 bulan kedepan akan sulit menyentuh target IPM tersebut.
“Sekarang sangat tidak mungkin mencapai target tersebut. Saya tidak temukan dalam sejarahnya angka IPM melonjak drastis selain bergerak di angka nol koma sekian. Hanya pemain sulap yang bisa mengubah angka-angka. Maka dari itu, saya bisa katakan WH Andika gagal,” ujar Lia.
Selain kegagalan tersebut, Pemprov Banten tidak bisa menciptakan hubungan harmonis dengan kabupaten dan kota di dalamnya. Dana bagi hasil yang tertahan dan ruwetnya registrasi peraturan daerah (Perda) di level provinsi menjadikan kabupaten dan kota tidak memiliki contoh baik dalam menjalankan roda pemerintahan.
Di sisi lain, partai politik yang melahirkan kepala daerah punya tanggung jawab atas kegagalan pemerintahan. Hal itu disampaikan akademisi dar UNTIRTA, Ikhsan Ahmad.
“WH-Andika itu saya kira korban (partai politik) dan mengorbankan masyarakat. Ini bisa bahaya. Partai politik gagal mereformasi dirinya. Transformasi partai politik harus dituntut pada HUT Banten ke-21 ini karena gagal melahirkan kepemimpinan di Banten.”
Rekrutmen kepala daerah, kata Ikhsan hanya selesai dengan cara igab-igab alias bagi-bagi duit antara calon kepala daerah dengan partai pengusung. “Mestinya rekrutmen kepala daerah oleh partai politik dibuka seperti lembaga lainnya, dengan tahapan terbuka, sistematika terbuka, ada tim rekrutmen yang jelas. Sehingga masyarakat punya jaminan,” ujarnya.
Selain itu, partai politik mesti diawasi layaknya kampus yang memiliki badan akreditasi. Tanpa pengawasan seperti itu partai politik hanya terjebak sebagai dagangan perahu yang menjual jasa mengantarkan kepala daerah yang seringkali tidak kompeten tapi mumpuni dari sisi ekonomi.
“Instrumen kehancuran parpol lemah pada sisi kaderisasi. Parpol harus di bawah badan kaderisasi yang jelas supaya lahir kepemimpinan yang punya standar. Sebagaimana di kampus, kalau akreditasinya jelek dilarang mencalonkan. Sekarang kemana partai pengusung WH-Andika, Golkar dan Demokrat. Mereka sudah dapat uang sewa perahu!”
(You/Red)