INFORMASI intelijen itu diterima Letnan Kolonel Singgih (Komandan Resimen IV TKR Tangerang) pada 23 Januari 1946. Disebutkan dalam laporan itu bahwa tentara Belanda yang sudah menduduki Parung, Bogor akan bergerak ke Lengkong guna melucuti pasukan Jepang yang bermarkas di wilayah tersebut.
“Pak Singgih berpikir jika Lengkong dikuasai Belanda maka jalan terbuka bagi mereka untuk menyerang kedudukan Resimen IV di Tangerang…”ujar Marzoeki Soelaiman, salah satu eks kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) yang dikutip dari historia.id.
Singgih sudah beberapa kali meminta Kapten Abbe, komandan tentara Jepang di Lengkong, untuk menyerahkan seluruh senjata kompinya. Namun selalu saat diminta, Abbe berkelit bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata-senjata itu tanpa sepengetahuan pihak Sekutu. Maka ditugaskanlah Mayor Daan Mogot (Wakil Direktur AMT) untuk memimpin operasi pelucutan tersebut.
Daan Mogot dipilih karena dia kenal secara pribadi dengan Kapten Abbe. Untuk merencanakan aksi pelucutan senjata tersebut, Resimen IV Tangerang berunding bersama kantor penghubung tentara di Jakarta. Dalam perundingan itu, Mayor Wibowo dari Akademi Militer Tangerang mengusulkan agar operasi ke Lengkong menyertakan serdadu Inggris yang sudah keluar dari kesatuannya dan berpihak kepada Indonesia. Hal tersebut dilakukan agar operasi berjalan dengan damai, yaitu dengan berpura-pura menyatakan bahwa pelucutan senjata serdadu Jepang sudah memperoleh izin dari pihak Sekutu. Usulan pun diterima dan tanggal 25 Januari 1946, operasi ke Lengkong dimulai.
Setelah usulan dari Mayor Wibowo diterima, operasi ke Lengkong dimulai tanggal Jumat, 25 Januari 1946 dengan melibatkan tiga perwira, dua pleton taruna dari Akmil Tangerang yang dipimpin Mayor Daan Mogot, dan empat mantan tentara Inggris.
Mereka berangkat mulai pukul 14.000.Tiga truk bermuatan puluhan kadet bergerak dari halaman gedung AMT. Ketiga truk itu diiringi dua jip berisi delapan pembelot India eks tentara Inggris , Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo Moekiman (Kantor Penghubung TKR), Letnan Satu Soebianto (Polisi Tentara Resimen IV) dan Letnan Satu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV). Kehadiran eks tentara Inggris yang dilengkapi seragam resmi mereka merupakan bagian dari tipu muslihat pihak TKR agar pihak Jepang percaya bahwa upaya pelucutan tersebut dilakukan sepengetahuan pihak Sekutu.
Dua jam lamanya mereka menempuh perjalanan dari pusat kota Tangerang. Setelah memarkir kendaraan-kendaraan di simpang empat, sekira 400 meter dari markas tentara Jepang yang dikelilingi pohon-pohon karet, mereka semua turun lantas memasuki halaman markas dengan berjalan kaki tanpa memberlakukan formasi tempur.
Mayor Daan Mogot didamping seorang penerjemah, Mayor Wibowo dan seorang serdadu India langsung masuk ke markas. Di sana mereka terlibat dalam suatu perundingan yang alot dan sedikit panas dengan Kapten Abbe beserta jajarannya. Sementara para pimpinan berunding, para kadet dengan dipimpin oleh Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo, bergerak ke barak-barak para prajurit Jepang. Mereka melucuti sekaligus mengangkut senjata-senjata dan mengumpulkannya di tengah lapangan.
Setelah terkumpul dua tumpuk senjata, seorang kadet kemudian diperintahkan untuk memanggil masuk truk. Baru saja truk bergerak ke arah halaman markas, dor! Tetiba terdengar suara tembakan dari arah markas, disusul teriakan komando dari seorang perwira Jepang.
Gegara tembakan inilah, segala sesuatunya menjadi berbalik tidak menguntungkan buat rombongan para kadet dan tentara India.
Para prajurit Jepang sontak balik menyerbu. Mereka yang tadinya sudah pasrah seolah menemukan kembali kekuatannya dan bergerak secara beringas. Para kadet yang hanya bersenjatakan senapan kuno buatan Italia Mannlicher Carcano kaliber 38, tentunya menjadi tak berdaya. Alih-alih bisa mengimbangi, mereka yang sebagian besar masih awam soal penggunaan senjata menjadi bulan-bulanan para prajurit Jepang yang disebut-sebut baru saja pulang dari palagan Pasifik.
Akibatnya, para kadet banyak yang langsung terkena tembakan: bergelimpangan di lapangan dan sela-sela pohon karet. Senja itu, Lengkong menjadi berdarah.
Mendengar suara baku tembak, Mayor Daan Mogot segera keluar untuk menghentikan serangan. Namun, peringatan Mayor Daan Mogot tidak dihiraukan. Para serdadu Jepang terus menembaki para taruna Indonesia. Bahkan, Mayor Daan Mogot juga menjadi korban.
Selama baku tembak sedang berlangsung, sebagian tentara Indonesia berhasil melarikan diri dan sebagiannya lagi ditawan oleh pihak Jepang. Tanggal 26 Januari, Resimen IV menghubungi kantor penghubung di Jakarta. Keesokan harinya, disepakati bahwa Jepang akan membebaskan tawanan dari pihak Indonesia. Selain itu, para korban yang sudah dikubur seadanya juga akan kembali dimakamkan secara layak.
Pertempuran Lengkong menjadi satu dari rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang Masa Revolusi Fisik sejak tahun 1945 hingga 1949. Dalam Pertempuran Lengkong terdapat 37 orang Indonesia yang menjadi korban. Selain Mayor Daan Mogot, Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo juga turut menjadi korban. Semua korban yang gugur dalam Pertempuran Lengkong dikebumikan kembali tanggal 29 Januari 1946 di kompleks Markas Resimen IV, sekarang Taman Makam Pahlawan Taruna di Tangerang Selatan. Untuk mengenang peristiwa dan para pahlawan yang gugur dalam pertempuran Lengkong, setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer. (Qizink/dari berbagai sumber)