SEBUAH bangunan kolonial yang berada di samping Alun-alun Barat Kota Serang menjadi saksi pertempuran hebat antara rakyat Banten bersama Badan Keamanan Rakyat (BKR) melawan pasukan Jepang. Gedung yang dikenal dengan nama ‘Gedung Juang tersebut pernah menjadi Markas Kempetai (satuan polisi militer Jepang).
Markas Kempetai ini pernah direbut pemuda yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) yaitu badan perjuangan di bawah Komite van Aksi di Menteng Raya 31, Jakarta yang berperan menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Organisasi pemuda ini dipimpin tokoh-tokoh muda seperti Adam Malik, Sukarni, M Nitimihardjo, dan lain-lain. Di Serang, API dipimpin Ali Amangku yang juga pemimpin Yugekitai (pasukan gerilya penjajah Jepang). Rencana perebutan markas Kempetai dilakukan di markas API di Kaujon Kalimati, Kota Serang. Hadir dalam pembahasan ini sejumlah pemimpin pasukan dari Ciomas, Pabuaran, Baros, Taktakan, Padarincang, Kramatwatu, Cilegon, dan Ciruas untuk membahas secara rinci rencana penyerangan.
Dalam rapat itu diputuskan penyerangan markas Kempetai akan dilakukan pada pagi buta hari Kamis, 10 Oktober 1945, tepatnya pukul 04.30.
Strategi penyerangan dilakukan dengan membagi empat sektor palagan (medan pertempuran). Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah memimpin sektor timur (samping kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat (samping kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan (belakang). Kode penyerangan adalah pemadaman aliran listrik di Kota Serang dan tembakan senjata oleh Iski.
Pada Rabu, 9 Oktober 1945, beberapa pejuang dari sejumlah daerah di Banten berdatangan ke markas BKR di Kota Serang untuk membantu rencana penyerangan.
Mereka semua berkumpul di asrama Sekolah Guru, yang sementara menjadi markas BKR (sekarang markas Korem 064 Maulana Yusuf).
Penampungan para pejuang disiapkan; massa dari daerah Pandeglang dan Lebak ditampung di Kampung Benggala. Dari daerah Cilegon, Merak, dan Anyer ditampung di Lontar dan Kaloran. Pejuang dari Tangerang ditampung di Pegantungan.
Ibu-ibu dan para remaja putri yang bertempat tinggal di kampung-kampung sekitar markas kempetai, spontan ikut menyibukkan diri bergotong-royong membantu dengan menyediakan makanan dan minuman bagi para pejuang.
Di lokasi-lokasi strategis dan yang dianggap aman di sekitar lokasi penyerbuan, mereka membuat beberapa dapur umum. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya pun tidak ketinggalan menyumbangkan bahan-bahan makanan ke dapur umum. Penduduk yang tinggal di sekitar markas kempetai diperintahkan untuk segera menyingkir dan mengosongkan rumahnya demi keselamatan mereka.
Sekitar pukul 4.30 pagi hari tanggal 10 Oktober 1945, seluruh pasukan telah siap di tempat yang direncanakan. Pasukan yang berada di sektor utara dipimpin oleh Iski menjadi barisan penyerang. Pasukan ini mengambil lokasi mulai dari perempatan Jalan Kantin (sekarang Jalan Juhdi) sampai ke halaman gedung kabupaten Serang. Pasukan ini terdiri dari anggota pilihan yang dipersenjatai dengan karaben Jepang, pistol dan granat tangan. Satu-satunya keiki kanju yang dimiliki oleh BKR, ditempatkan pada sektor ini dan dipegang oleh bekas budanco Juhdi, sebagai pendamping Iski. Sedangkan barisan-barisan pada ketiga sektor lainnya berfungsi sebagai barisan pengepung dan penghadang musuh. Sektor barat mulai dari halaman gedung karesidenan dan di sepanjang Kali Banten dipimpin oleh eks shodanco Nunung Bakri dengan membawahi pasukan rakyat. Sektor selatan di sekitar kampung Benggala, sepanjang sisi selatan alun-alun sampai ke batas Rumah Sakit Serang, dipimpin oleh eks shodanco Salim Nonong; sektor barat dan selatan ini terdiri dari massa rakyat yang kebanyakan bersenjatakan golok dan bambu runcing. Sedangkan barisan yang ada di sektor timur dipimpin oleh bekas syudancho Zainal Falah dengan anggotanya terdiri dari para pemuda eks bintara PETA, tetapi mereka pun hanya memiliki beberapa pucuk senjata api. Setelah terdengar suara adzan subuh dari beberapa masjid, dan disusul dengan pemadaman lampu-lampu di dalam kota, terdengar tembakan kode penyerangan oleh Iski, maka dimulailah penyerangan ke markas kempetai. Dengan pekikan takbir “Allahu Akbar”, para pejuang sebelah timur mulai menembaki markas kempetai sambil maju menyerang. Dari arah markas kempetai terdengar pula tembakan beruntun yang mengarah ke posisi penyerang, maka terjadilah tembak-menembak berbalasan antara dua kubu yang berlawanan, dalam suasana gelap di pagi buta.
Sampai pukul 6.30 WIB pertempuran berlangsung tanpa henti, dan pihak pejuang belum berhasil mendekati gedung sasaran; karena di sekitar markas kempetai itu dikelilingi lapangan terbuka sehingga apabila ada penyerang, dengan mudah tentara Jepang menembakinya baik yang berusaha menyeberangi jembatan atau yang merayap dari arah belakang gedung.
Karena pertahanan tentara Jepang yang begitu kuat, pejuang Banten mengalami kesulitan merebut markas Kempetai.
Sekira pukul 07.00, tersiar berita bahwa Nunung Bakri, pemimpin sektor barat dan Juhdi dari sektor selatan telah gugur. Mendengar berita gugurnya dua pemuda itu para pejuang semakin bergelora menyerang markas Kempetai dari jarak dekat, walau harus menebusnya dengan nyawa, di antaranya adalah Kudsi dan Thalib, pemuda dari laskar Ciomas.
Sampai sekitar pukul 10 pagi pertempuran belum mereda. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, para sesepuh BKR yakni KH Ahmad Khatib, KH Sam’un, H. Abdullah dan K.H. Djunaedi segera memanggil para pemimpin pejuang. Dinasehatkanlah kepada mereka bahwa berjihad yang dikehendaki Islam bukanlah berarti bunuh diri, tapi mati sahid dalam membela agama dan negara dengan strategi yang sewajarnya.
Oleh karena itu musuh cukup dikurung terus sampai kehabisan perbekalan, nanti baru diserbu. Mendengar nasehat itu, para pemimpin pejuang berjanji akan menuruti nasehat itu dan baru akan mengadakan penyerangan apabila dikomandokan oleh Ali Amangku sebagai Komandan Pertempuran.
Sampai menjelang sore, tembak-menembak tidak terdengar lagi dari kedua belah pihak, pasukan rakyat tetap berjaga-jaga dan mengepung markas kempetai. Dalam pada itu. K.H. Ahmad Khatib mengajak para pemimpin penyerangan itu untuk bersama-sama mengerjakan shalat berjamaah di Masjid Agung Serang. Sekitar pukul 20.00, tiba-tiba terdengar tembakan gencar dari markas kempetai yang diarahkan ke Kampung Benggala.
Setengah jam kemudian, tembakan pun berhenti, sehingga suasana menjadi hening sampai matahari terbit. Hal ini menimbulkan kecurigaan para pemuda, sehingga beberapa di antara mereka mengintip keadaan di dalam markas kempetai yang ternyata telah kosong, kecuali dua mayat tentara Jepang. Rupanya tembakan gencar yang dilakukan pada malam itu merupakan pengalih perhatian pasukan rakyat dari gerakan pasukan Jepang yang sebenarnya, yaitu meloloskan diri dengan menggunakan 4 buah truk
Dalam pertempuran ini, lima pejuang Banten gugur. Sementara dari pihak penjajah hanya dua orang. (Qizink/dari berbagai sumber)