Beranda Olahraga Sepakbola (Butuh) Imajinasi Kreatif

Sepakbola (Butuh) Imajinasi Kreatif

Foto istimewa detik.com

Sepakbola (Butuh) Imajinasi Kreatif
//Belajar Dari Kekalahan Jerman

Grup F di putaran Piala Dunia 2018 Rusia, bisa dibilang bakal jadi grup alot–jika bukan grup neraka. Ada Jerman, sang juara bertahan. Ada peserta langganan Piala Dunia, Meksiko (Amerika Latin), Swedia (Eropa), dan wakil kuat Asia (Korea Selatan). Jerman sebagai Juara bertahan, memang lebih dijagokan dibanding tiga kontestan lainnya, yang belum pernah menyandang juara.

Tim Panser punya modal segalanya. Dihuni sederet pemain elit di club-club Eropa. Bukan saja elit, juga pemain kunci di masing-masing clubnya. Sebut saja, Toni Kroos. Salah satu gelandang terbaik dunia, yang membawa Real Madrid memenangi Champione Leage.

Kroos tak sendiri di lapangan tengah, ia bersanding dengan Mesut Ozil. Mantan pemain Real Madrid, yang kini menjadi kreator lapangan tengah Arsenal, dan Julian Draxler (bermain untuk PSG). Di belakang mereka, ada jangkar tanggung Sami Khedira, yang juga sukses membawa Juventus scudetto seri A Italia.

Komposisi proposional yang menunjang juru gedor di barisan depan, Thomas Muller, Timo Werner, dan Mario Gomes. Striker-striker yang punya badan tegap, akurasi tendangan, dan heading tajam sebagai senjata mematikan penjaga gawang.

Lini belakang tak kalah lengkap. Semuanya terkenal kokoh; Jerome Boateng, Mats Hummel, Niklas Sule, Joshua Kimmich, dan Antonio Rudiger. Selain Antonio Rudiger yang bermain untuk Chelsea, semua bek Jerman bermain untuk Bayer Muchen. Itu modal penting kekompokan tim. Juga dengan palang pintu terakhir di bawah mistar gawang. Ada nama sekelas M Neuer. Penjaga gawang utama Munchen, yang punya pelapis tidak kalah hebat, Marc Andre ter Steger (Barcelona FC) dan Kevin Trapp (PSG).

Komposisi ini sangat merata, bahkan proporsional sebagai kekuatan tim. Raksasa dari benua biru, yang tetap difavoritkan juara. Sejarah mencatat, mereka sudah langganan jadi finalis di laga pamungkas Piala Dunia. Torehannya, sudah empat kali juara.

Meksiko juga punya pemain yang merata di semua lini. Banyak yang merumput di club-club eropa. Tapi, jika dibandingkan Jerman, akan jelas beda kasta. Anak asuh Juan Carlos Osorio hanya mengisi club-club papan tengah. Di antaranya, Javier Hernandez atau Chicarito (West Ham United sebelumnya Manchester United), Miguel Layun (Sevilla), Hirving Lo­zano (PSV Eindho­ven), Raul Jimenez, Hector Herrera (Benfica), Jesus ­Corona dan Diego Reyes (Porto).

Catatan itu, jelas menujukan anak asuh Joachim Loew, lebih bersinar ketimbang skuat Meksiko. Pemainnya juga familiar di turnamen besar–Champione Leage–Hampir 90 persen ikut memperkuat gelaran Piala Eropa 2016 di Perancis, dan Piala Dunia 2014.

Namun, itu tak menjamin Jerman akan tetap superior. Buktinya, pertandingan pertama yang digelar di Stadion Luzhniki, Maskow, Minggu (17/6/2018), tim Jerman keok dari skuat tim Meksiko.

Banyak yang kaget. Bisa jadi tidak dibayangkan sebelumnya. Terlebih, tim Panser mendominasi permain. 60 persen penguasaan bola, 25 percobaan mencetak gol, dan sembilan on target.

Apa pun itu, kekalahan sudah jadi kenyataan pahit, yang harus diterima Jerman. Kekalahan yang tercatat sebagai sejarah buruk, sejak keikutsertaannya pada 1982–tidak pernah kalah di fase grup–. Dan, hasil manis bagi Meksiko. Setelah 11 kali pertemuan, yang terakhir menang atas Jerman pada laga persahabatan, Juni 1985 silam.

Selain pemain yang standar, Meksiko juga tak memiliki tradisi juara. Selama 16 kali ikut serta, Negara asal Amerika latin ini hanya bisa mencapai babak perempat final dua kali, 1870 dan 1986 saat menjadi tuan rumah (yang kalah dengan Argentina).

Tapi, itulah kejutan di atas lapangan. Bola itu bundar. Bukan sekadar soal angka matematika. Apalagi prediksi hitungan di atas kertas. Dan, bagi warga negara dunia ketiga, ini cukup menyenangkan. Tak selamanya negara adidaya selalu superior di depan negara dunia ketiga. Sepakbola bisa jadi ajang pembuktian. Mengukir prestasi di sisi yang lain (karya nyata). Semoga Tim Nasional Indonesia, bisa segera berlaga di pentas akbar sepak bola empat tahunan ini.

Lantas mengapa Jerman kalah?? Benarkah ini soal peruntungan semata? Jika orang Jerman anggap demikian, ini sungguh naif. Pasalnya, Jerman terkenal sebagai negara maju (rasional). Yang ada, Jerman justeru terlalu rasional dan kaku dalam permainan. Tim ini lebih mengutamakan presisi dibanding imajinasi. Bahkan, seringkali hanya menyerang dari sisi kanan pertahanan Meksiko. Kecuali, di lima menit jelang bubaran dengan masuknya Julian Brandt. Pemain muda (22) yang merumput di Leverkusen. Memang hampir jadi gol, jika tembakannya tak membentur mistar gawang.

Mungkin Jerman juga terlampau hati-hati. Menjaga kewibawaan sebagai juara bertahan sekaligus favorit kembali juara. Bisa juga faktor kepemimpinan. Pensiunnya Philip Lahm, praktis tak ada pemain yang dituakan (menjadi komando). Ini berbeda saat empat tahun silam, Lahm masih menjadi komando motivasi skuat Jerman yang relatif muda.

Saat Jerman dalam kebuntuan, Meksiko bermain lepas. Berlari ke segala arah tanpa kenal lelah. Meksiko dengan negaranya yang relatif lebih miskin, bermain pantang menyerah. Ia tak ciut nyali meladeni permainan kolektif Jerman. Meksiko juga tak larut pemain-pemain Jerman yang lebih diartiskan dan banyak tersorot kamera.

Pasukan Los Tricolores cukup rapatkan barisan, mengontrol arah bola yang dimainkan pemain-pemain Jerman. Tetap memainkan bola dari ke kaki, lalu mengkombinasikan umpan lambung ke jantung pertahanan. Serangan dari mana saja,–melihat celah–pertahanan longgar. Sebagaimana Chicarito berlari dari tengah, lalu mengirim ke sisi kiri tepat Hirving Lanzano berlari tanpa pengawalan. Efektif dan gol. Gol semata wayang pada menit 35, yang sekaligus membungkam superioritas Jerman.

Kemiskinan, dan pengangguran adakalaya memang menjadi pelecut semangat. Ia seperti magic yang membawa pada perasaan sama menuju satu cita-cita. Imajinasi bagi pekerja keras menemukan mimpinya. Karena bukan dongeng, sepakbola menjamin orang-orang Meksiko (Amerika Latin) naik kelas.

Imajinasi itu juga terbayangkan pada sosok Santiago Munes. Pria kelahiran Meksiko dalam film Goal “Living the Dream”, yang diperankan Kuno Becker. Dari sepakbola, Munes menemukan daya juang hidupnya. Tak cuma urusan ekonomi, Munes juga sukses merumput sebagai pesepakbola profesional di New Chastle. Lalu di Real Madrid bersama maestro, Iker Casilas, David Becham, Zinedine Zidane, Ronaldo, dan Raul Gonzales.

Kerja keras nyatanya tergambar tak hanya dalam sepakbola. Selain telenta sepakbola, Meksiko dan Amerika Latin lainnya) juga banyak penulis begenre realis magis. Karya sastra yang menyuguhkan imajinasi liar dan menggairahkan. Sebagaimana sepakbola Meksiko, dan negara latin kebanyakan.

Mugkinkah imajinasi Munes menjadi gairah juang bagi Rafael Miques cs? Bisa jadi. Tapi yang pasti, penulis lebih menanti Evan Dimas atau Egy Maulana Vikri cs, bisa tampil di Piala Dunia. Semoga!

*Ken Supriyono (Jurnalis Radar Banten/Pegiat Komunitas BantenFuture)*

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News