SETIAP tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Tema Hari Bahasa Ibu Internasional 2022 yakni ‘Menggunakan Teknologi Untuk Pembelajaran Multibahasa: Tantangan dan Peluang.” Tema ini bermaksud untuk mengangkat peran teknologi dalam memajukan pendidikan multibahasa serta mendukung pengembangan pengajaran yang berkualitas.
PBB menilai, saat ini peran teknologi kian dibutuhkan. Hal itu karena teknologi mempunyai potensi untuk mengatasi beberapa tantangan di bidang pendidikan.
Teknologi juga dipercaya bisa mempercepat upaya untuk menjamin kesempatan belajar yang adil dan setara. Pendidikan multibahasa yang awalnya menggunakan bahasa ibu merupakan kunci dari inklusi pendidikan.
Terlebih, sejak pandemi COVID-19 banyak sekolah yang ditutup sementara. Oleh sebabnya, beberapa negara menggunakan teknologi guna menjaga kesinambungan pembelajaran. Namun di sisi lain, banyak pula pelajar yang tidak memiliki peralatan yang dibutuhkan. Misalnya akses internet, konten pembelajaran hingga dukungan dari sesama.
Sejalan dengan tema Hari Bahasa Ibu Internasional 2022, adanya pembelajaran jarak jauh tidak mencerminkan keberagaman bahasa. Hal ini menjadi tantangan bagaimana cara bahasa ibu dapat dipertahankan di
Sejarah
Inisiatif Hari Bahasa Ibu Internasional pertama kali diumumkan oleh UNESCO pada 17 November 1999 yang secara resmi diakui oleh Majelis Umum PBB. Gagasan awal untuk merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional adalah inisiatif dari Bangladesh.
Resolusi bahasa internasional ini disarankan oleh Rafiqul Islam, seorang Bangli yang tinggal di Vancouver, Kanada. Ia menulis surat kepada Kofi Annan pada tanggal 9 Januari 1998, memintanya untuk mengambil langkah untuk menyelamatkan bahasa dunia dari kepunahan dengan mendeklarasikan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day).
Akhirnya dipilihlah tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional karena pada tanggal tersebut, Bangladesh mengalami pembunuhan di tahun 1952 dalam memperjuangkan bahasa Bangli di Dhaka.
Majelis Umum PBB meminta negara-negara anggotanya untuk mempromosikan semua bahasa yang digunakan oleh orang-orang di dunia pada tanggal 16 Mei 2009. Sebelumnya pada tahun 2008 Mejelis Umum menyatakan 2008 sebagai Tahun Bahasa Internasional untuk mempromosikan persatuan dalam keanekaragaman dan pemahaman internasional melalui multibahasa dan multikulturalisme.
Dilansir Liputan6.com, Rabu (20/2/2019) dari website UNESCO, Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay dalam pesannya mengatakan, “Bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi. Tapi ini adalah kondisi kemanusiaan kita. Nilai-nilai kita, keyakinan dan identitas kita tertanam di dalamnya”.
Keanekaragaman Bahasa Semakin Terancam Bahkan di Indonesia
Berdasarkan dari UNESCO, banyak keanekaragaman bahasa semakin terancam karena makin banyaknya bahasa yang hilang. Setiap dua minggu, sebuah bahasa lenyap. Dengan hilangnya bahasa, secara langsung juga berdampak pada hilangnya warisan budaya pula.
“Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga. Sejumlah besar legenda, puisi dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah,” dikutip dari UNESCO.
Di Indonesia pun tercatat tujuh bahasa daerah punah di kepulauan Maluku. Walaupun Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah dan budaya serta menjadi negara kedua yang memiliki bahasa daerah terbanyak setelah Papua Nugini, ancaman punahnya bahasa daerah juga dihadapi negara ini.
Tujuh bahasa yang punah tersebut antara lain bahasa Kayeli, Palumata, Moksela, hukumina, Piru, Loun, bahasa di Maluku Tengah dan Pulau Ambon. Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Asrif mengatakan, di Maluku ketujuh bahasa tersebut sudah tak ada lagi. (Red)