Beranda Opini Sastra, Medsos, Agama

Sastra, Medsos, Agama

Ilustrasi (shutterstock)

Oleh: Sulaiman Djaya, pemerhati budaya di Kubah Budaya

Ketika diminta jadi pembicara dalam acara Bunga Rampai Sastra Cinta Damai yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten di Le Dian Hotel 9 November 2017, saya saat itu berbagi terkait pengalaman pribadi, dalam kaitannya dengan forum diskusi hari itu. Saat itu inti bahasan yang sesungguhnya adalah fenomena terorisme dan bagaimana ‘mencegah’ merebaknya terorisme di dalam masyarakat, tetapi saya memulainya dari soal media sosial hingga teologi, sebelum saya mengkomparasikan dan mengkoherensikannya dengan fungsi sastra dalam rangka melahirkan kecerdasan bagi masyarakat, menggalakkan budaya intelek dan literer, substansi dari sastra itu sendiri.

Haruslah diakui hari ini, soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas orang-orang di media sosial di mana media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial.

Yang kedua, dan ini juga tak kalah peliknya, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang bernas. Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih hasutan, propaganda, atau hoax.

Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di fesbuk, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya saya juga hendak mengatakan bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang sah untuk mempraktikkan kekerasan. Inilah yang saya sebut teologi devian.

Di era digital dan zaman android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang menghabiskan waktu keseharian mereka untuk berselancar di media sosial: facebook, instagram, twitter dan yang sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda ‘teologi devian’ disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror dan pelaku praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Karena itulah, tak diragukan lagi, di zaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan internet kita saat ini, para penyair dan para sastrawan, kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui karya-karya mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan teknologi internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘teologi devian’.

‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran teologi devian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Imam Ali bin Abi Thalib, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).

Khazanah sastra menyediakan dirinya mengajak orang untuk berempati, berwelas-asih, toleran, dan berpikir terbuka, karena ia mengajak kita untuk mengakrabi dan menemui kehidupan itu sendiri secara intim, adil, tidak langsung menghakimi, melainkan merayu kita untuk berdialog dan berdiskusi. Karena laku dan fungsinya yang demikian itulah, sastra mengajarkan kita tanpa harus menggurui untuk tidak mudah terjerembab dalam ‘dogma’ yang membunuh intelek dan nurani manusia. Terkait hal ini, haruslah diakui, ada masalah ketika indoktrinasi dogmatis yang membunuh intelek juga ternyata ‘mengatasnamakan diri’ sebagai sastra, semisal karya-karya dan pernak-pernik budaya pop yang mencamtumkan diri dengan label ‘Islami’, yang secara estetik dan artistik acapkali tak memenuhi ‘syarat’ untuk disebut karya sastra, yang malah sama saja melakukan pola dan laku teologi devian.

Penting untuk dipahami dan dimengerti, karya sastra menjadi unik karena merayakan konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik sastra itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori, personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya? Bukankah sastra menjadi unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya objektivitas? Dan karena sifat dan lakunya yang demikian itulah, sastra mengajarkan sikap terbuka dan mempraktikkan polah dan laku yang toleran bagi para pembacanya.

Juga sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sastra yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada kegagalan etos dan watak sastra itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial. Sastra menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi kata, memaksimalkan konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak hanya menciptakan kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam hal ini, fungsi bahasa bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan. Sastra menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan karena kelihaiannya untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan menyebutnya sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks sastra menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia, suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen) oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.

Sementara pada tingkatan yang lebih ekstrem, Jacques Derrida menyebutnya sebagai disseminasi, penyebaran keragaman penerimaan (pembacaan), penafsiran, dan pemaknaan, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan moral, tetapi oleh kemungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri. Dengan demikian citra dalam sastra selalu bersifat simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks. Laku dan polah simbolik sastra itulah yang memungkinkan sastra bersifat universal, menjadi perekat keragaman, bahasa bersama dalam perbedaan: MENJADI BAHASA PERDAMAIAN ummat manusia.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News