CILEGON – Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas II Cilegon kembali melakukan tindakan karantina pemotongan hewan bersyarat satu ekor sapi perah jenis Frisien Holstein (FH) kelamin betina dikarenakan hasil pemerikaan Laboratorium positif CFT ditemukan penyakit Zoonosis Brucellosis sp, yang masih dalam masa karantina di instalasi karantina hewan.
BKP Kelas II Cilegon telah berhasil mencegah terjadinya serangan atau penularan Brucellosis ke Sumatera. Ini sangat penting dan strategik karena Sumatera adalah Wilayah Bebas Brucellosis.
Pemotongan bersyarat dihadiri dan disaksikan oleh petugas Karantina hewan, perwakilan pemilik sapi, polisi KSKP dan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bandung Barat, dan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Cilegon.
“Tindakan karantina pemotongan bersyarat dilakukan setelah dipastikan dengan beberapa tahap pengujian laboratorium. Pemeriksaan Rose Bengal Test/RBT dilakukan di Laboratorium Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon dengan hasil uji positif,” ujar Kepala BKP Kelas II Cilegon, Raden Nurcahyo Nugroho, Senin (18/3/2019).
“Selanjutnya dilakukan pengujian Complement Fixation Test (CFT) di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dan dinyatakan positif,” imbuhnya.
Dia menuturkan sebelumnya pada tanggal 10 Maret 2019 lalu petugas karantina hewan memeriksa sebanyak 9 ekor sapi perah jenis FH asal Bandung Barat yang hendak dikirim ke Medan.
Setelah pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik, petugas melakukan pengambilan sampel darah 100 persen untuk dilakukan pengujian Rose Bengal Test (RBT).
“Hasilnya dari 9 ekor sapi tersebut menunjukkan satu ekor positif RBT. Sementara 8 ekor dinyatakan negatif uji kemudian diberikan sertifikat kesehatan hewan, sedangkan satu ekor yang positif tetap dalam pengawasan petugas di Instalasi Karantina Hewan. Sampel darah satu ekor sapi positif uji RBT kemudian dikirim ke BBalitvet Bogor untuk dilakukan pengujian CFT lanjutan dan didapatkan hasil positif CFT,” paparnya.
Dia menjelaskan bahwa sapi FH sangat rentan tertular Brucellosis serta memiliki potensi menyebarkan Brucellosis secara cepat.
“Sapi dapat menjadi sumber penularan secara terus menerus dengan cara mengeluarkan kuman tanpa memperlihatkan tanda-tanda klinis atau sering disebut CARRIER dan sangat patogen baik bagi sapi lain maupun manusia,” terangnya.
“Penyakit ini dapat ditularkan ke manusia atau bersifat zoonosis. Pada hewan betina, penyakit ini dicirikan oleh aborsi dan retensi plasenta, sedangkan pada jantan dapat menyebabkan orchitis dan infeksi kelenjar asesorius. Brucellosis pada manusia dikenal sebagai undulant fever karena menyebabkan demam yang undulans atau naik-turun dan tidak berkesudahan,” tambahnya.
Dia menyatakan pemotongan bersyarat dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan berbagai faktor seperti kemungkinan tercemarnya lingkungan. Sehingga harus dicegah dan dihindari. Selain itu tempat pemotongan juga harus segera dibersihkan dan disucihamakan.
“Perlu diperhatikan adanya cairan exudat dan sarang-sarang nekrose pada organ-organ viseralnya, dalam keadaan demikian seluruh organ visceral limfoglandula dan tulang harus dimusnahkan sedangkan daging boleh dikonsumsi setelah dilakukan pelayuan dan dimasak. Badan Karantina Pertanian berkomitmen dan senantiasa siaga untuk memastikan komoditas hewan yang dilalulintaskan melalui tempat pemasukan dan tempat pengeluaran dilaporkan, memenuhi syarat dan terjamin kesehatannya,” ucapnya. (Man/Red)