SERANG – Rencana Prabowo Subianto mundur dari Pilpres 2019 dinilai hanya gimik politik. Sebab ada risiko cukup besar jika Prabowo benar-benar batal jadi calon presiden.
Pernyataan Prabowo akan mundur disampaikan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Djoko Santoso. Prabowo dikatakan akan mundur jika kecurangan dalam pemilu tak bisa dihindari.
Ancaman mundur juga menjadi poin dalam pidato kebangsaan Prabowo, Senin 14 Januari, malam.
Adi Prayitno, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia tak yakin Prabowo benar-benar akan mundur. Menurutnya, Prabowo hanya ingin pemilu bersih.
“(Rencana Prabowo mundur) gimik politik. Itu tentu warning. Gertak sambal dari teman Prabowo bahwa KPU, Bawaslu jangan sampai berpihak, tidak netral,” kata Adi saat dihubungi wartawan, Selasa 15 Januari 2019.
Adi mengatakan, merawat kredibilitas KPU dan Bawaslu serta menciptakan pemilu yang bersih merupakan tanggung jawab bersama. Di era teknologi seperti saat ini, lanjut dia, semua orang bisa mengakses informasi.
“Arus informasi semakin bebas diakses, semua orang bisa mempletototi proses pemilu, saya kira netralitas KPU dan Bawaslu cukup telanjang ya untuk bisa dinilai. Beda dengan zaman dahulu,” tegas Adi.
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center Bawono Kumoro menilai sikap mundur dari kontestasi pemilihan presiden bertolakbelakang dengan latar belakang Prabowo sebagai mantan prajurit.
“Seorang mantan prajurit harus memiliki jiwa siap menang dan siap kalah bukan justru mundur. Itu (kalau mundur) kalah sebelum bertanding,” tegas Bawono.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melarang keras pasangan calon untuk mengundurkan diri. Pasal 236
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bakal pasangan calon dilarang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Jika masih bersikeras untuk mengundurkan diri maka sanksi pidana dan denda menanti pasangan calon bersangkutan sebagaimana ditegaskan Pasal 552 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 setiap calon Presiden atau Wakil Presiden dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp50 juta.
Pimpinan partai politik koalisi juga akan terkena sanksi pidana dan denda serupa.
Pasal 552 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan atau pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama akan dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp50 miliar. (You/Red)