Beranda Opini Rantai Gizi Buruk, Lemahnya Pangan Banten

Rantai Gizi Buruk, Lemahnya Pangan Banten

Foto ilustrasi - istimewa binis.com

Oleh Alya Fadhilah 

Kasus gizi buruk penyebab stunting di Banten capai angka 30%. Survei yang dilakukan oleh Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2024 mencatat Kabupaten Lebak menduduki singgasana angka stunting tertinggi di Banten dengan angka 35,5%. Lantas, memangnya mengapa kalau stunting?

Anak yang mengalami kekurangan gizi, konsumsi yang tidak berkualitas akan menimbulkan gizi buruk yang berdampak serius pada tumbuh kembang dan kesehatan seorang anak, hingga dewasa nanti. Perekonomian menjadi isu fundamental mengapa stunting bisa terjadi, lantaran pendapatan yang tidak sesuai dengan pengeluaran menyebabkan sulitnya akses terhadap pangan yang berkualitas, serta tidak tercapainya fasilitas kesehatan saat anak jatuh sakit.

Perekonomian yang kurang juga membuat banyak masyarakat terpaksa tinggal di daerah yang tidak layak, bukan hanya dari segi bangunan namun juga akses terhadap sanitasi. Sanitasi yang buruk dapat menggangu kesehatan seseorang, karena pada dasarnya air dibutuhkan dalam segala kegiatan rumah tangga seperti minum, mencuci, hingga mandi.

Virgojati selaku PJ Sekda Banten menyebutkan 240.402 keluarga yang tidak memiliki jamban, sehingga terpaksa dolbon atau buang hajat sembarangan. Tentu hal ini menjadi cabang masalah baru: warga tidak mampu membangun jamban karena miskin. Tentu fenomena ini masih terjadi di Banten, salah satunya di Kasemen.

Saluran irigasi yang digunakan untuk mengairi persawahan ini digunakan oleh warga setempat untuk melakukan kegiatan rumah tangga, hingga buang hajat. Air yang terus mengalir di satu irigasi tersebut terus digunakan berulang oleh setiap rumah, mungkin air bekas cuci pakaian, cuci piring, bahkan tidak jarang banyak anak-anak yang mandi bersama atau berenang di irigasi tersebut. Padahal, tidak jarang orang yang membuang sampah di hulu irigasi, hanya saja tertahan jeruji besi di bawah jembatan.

Kualitas air yang buruk—tentu karena tercampur oleh sampah dan limbah lainnya digunakan kembali menjadi salah satu akar permasalahan gizi buruk di Banten. Belum lagi akses membeli pangan yang berkualitas yang sulit karena pendapatan tidak cukup semakin menyulitkan.

Lalu bagaimana jika pola ini terus berulang hingga 2045? Janganlah berbicara tentang Indonesia Emas. Bahkan Walikota Kota Serang pun terkejut fenomena dolbon ini masih ada, padahal Serang merupakan teritorial beliau, kok kaget.

Jika pola ini terus berulang, maka boleh jadi angka stunting akan semakin tinggi. Sama seperti tahun 2024 naik menjadi 24% yang sebelumnya berada diangka 21%, dan Banten menjadi Provinsi penyumbang anak stunting tertinggi di Indonesia.

Sebab, jika pola ini terus terulang maka pertumbuhan anak kembali jadi korban, hal ini akan mempengaruhi otak dan fisik yang tidak maksimal. Sehingga, ketika dewasa nanti tidak memiliki ketangguhan secara otak dan fisik untuk bersaing demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Karena kualitas pangan—juga sanitasi tidak tercukupi dengan baik.

Ketahanan pangan dalam pila konsumsi yang lemah akan berdampak pada banyak hal, salah satunya adalah rantai kemiskinan yang tidak akan putus. Jika rantai kemiskinan tidak putus, maka angka gizi buruk akan terus meningkat dan menciptakan SDM yang rendah. (*)

Penulis mahasiswa Ilmu Komunikasi Untirta.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News