JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba melakukan ‘manuver’ yang membuat beberapa kalangan terkejut menjelang akhir tahun. Presiden yang kini memasuki periode kedua masa jabatannya itu mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Jokowi mengemukakan, perppu tersebut sebagai jawaban mengisi kekosongan hukum untuk urusan investor di dalam dan luar negeri.
“Karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum yang dalam persepsi investor baik dalam maupun luar (negeri),” kata Jokowi pada Jumat (30/12/2022) lalu.
Ia kemudian menyebut, Perekonomian Indonesia pada 2023 itu bakal sangat tergantung pada investasi serta kekuatan ekspor. Lantaran itu, Jokowi memutuskan untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja untuk memastikan adanya payung hukum.
Tak hanya itu, ia menekankan saat ini Indonesia dalam posisi waspada akan ketidakpastian global pada tahun baru ini. Apalagi sudah ada 14 negara yang menjadi pasien IMF. Pun tak menutup kemungkinan masih ada negara lainnya yang mengantre menjadi pasien lembaga keuangan tersebut.
“Itu yang menyebabkan kita mengeluarkan perppu karena itu untuk memberikan kepastian hukum,” tuturnya.
Pernyataan Jokowi tersebut dikuatkan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyatakan ada alasan mendesak di balik terbitnya Perppu Cipta Kerja tersebut.
“Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi,” kata Menko Airlangga dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Ia beralasan, kondisi mendesak tersebut karena perekonomian global akan menghadapi resesi dan ancaman peningkatan inflasi serta ancaman stagflasi.
“Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat real, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraine-Rusia dan konflik lain juga belum selesai dan pemerintah juga menghadapi tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan dan perubahan iklim,” katanya.
Airlangga mengatakan, diterbitkannya Perppu juga sebagai bentuk kepastian hukum dari Undang-undang Cipta Kerja. Menurutnya putusan MK, terkait UU Ciptaker sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri di mana mereka hampir seluruhnya masih menunggu keberlanjutan dari UU Ciptaker.
Pelecehan Terhadap MK
Meski begitu, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyebut langkah yang dilakukan Jokowi sebagai bentuk pelecehan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
“Dengan mengambil jalan pintas menerbitkan Perppu, Presiden seolah menjawab sisi kebutuhan cepat, tetapi melecehkan dan tidak melaksanakan putusan MK,” kata Denny dalam keterangan tertulisnya Sabtu (31/12/2022).
Ia mengemukakan, jika nantinya akan disetujui DPR menjadi undang-undang, namun tidak ada pelibatan publik di dalamnya.
“Karena Perppu meskipun nantinya disetujui DPR menjadi undang-undang, pasti tidak melibatkan partisipasi publik sama sekali,”
Sebelumnya, MK sendiri menyatakan Undang-Undang Ciptaker inkonstitusional secara bersyarat, setelah digugat kalangan masyarakat sipil.
Dalam putusannya, MK menyatakan secara formal UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 karena belum ada standar baku pembuatan Omnibus Law. Selain itu juga, tidak adanya partisipasi publik yang bermakna dalam pembuatannya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati justru mempertanyakan latar belakang Jokowi menerbitkan Perppu Ciptaker. Menurut Kurniasih, alasan Jokowi menerbitkan Perppu Ciptaker karena kondisi ekonomi global yang tidak konsisten patut dipertanyakan.
Bahkan, ia menyinggung pernyataan Jokowi saat perhelatan G20 di Bali beberapa waktu lalu.
“Jika soal capaian Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi diantara negara G20. Tapi jika jadi alasan penerbitan Perppu seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform. Jadi kegentingan apa yang membuat Perppu ini hadir?” kata dia lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (31/12/2022).
Di sisi lain, penerbitan Perppu itu juga menghilangkan fungsi DPR untuk melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
“Pembentukan UU Cipta Kerja yang dibahas dengan DPR meski Fraksi PKS tegas menolak dinyatakan cacat formil oleh MK karena prosedurnya bermasalah. Sekarang pemerintah justru mengeluarkan Perppu yang menghilangkan fungsi legislasi DPR sama sekali,” ujarnya.
Tak hanya dari PKS, Partai Demokrat juga menilai pemerintah tak patuh hukum karena tidak sesuai dengan putusan MK.
Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Jansen Sitindaon dalam keterangannya, Sabtu (31/12/2022) juga menyoroti alasan mendesak di balik penerbitan Perppu tersebut.
Sebab, hal tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan Jokowi mengenai situasi ekonomi belakangan ini.
“(Jokowi) dalam banyak kesempatan menyatakan keadaan kita baik-baik saja, ini tentu bertolak belakang dengan syarat-syarat keluarnya Perppu,” jelas Jansen.
“DPR harusnya menolak Perppu ini. Jika pun tidak, kami Partai Demokrat melalui fraksi di DPR akan menolak,” sebut Jansen.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira justru memiliki pandangan lain. Ia menilai kondisi mendesak yang disebut Jokowi bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023.
“Pertama, kondisi darurat dalam Perppu UU Cipta Kerja bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen cenderung tinggi,” kata Bhima kepada Suara.com, Minggu (1/1/2022).
Ia mengemukakan, kalau ekonomi masih tumbuh positif, kenapa pemerintah menerbitkan Perppu ini? Sementara alasan kedua soal terbitnya Perppu Cipta Kerja justru menciptakan ketidakpastian kebijakan.
“Masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi, investor bisa ragu kalau aturan berubah-ubah,” katanya.
“Padahal investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Idealnya pada saat pembuatan produk regulasi apalagi UU harus disiapkan secara matang. Kalau terburu buru ya jadi masalah,” katanya.
Ketiga, ia menilai tidak ada jaminan setelah Perppu terbit, investasi bisa meningkat karena sejauh ini banyak aturan turunan cipta kerja sudah berjalan tapi jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi.
Sementara itu, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai jika ada pembahasan ulang maka akan terjadi politisasi.
“Ini tahun politik. Akan terjadi politisasi jika dilakukan pembahasan ulang,” kata Said Iqbal dikutip Minggu (1/1/2023).
Ia juga mengemukakan, tak menutup kemungkinan akan terjadi kejar tayang dan banyak permasalahan lain seperti ketika pembahasan Omnibus Law di awal.
“Oleh karena itu, Perppu adalah jalan yang terbaik,” tegas Said Iqbal.
Terkait dengan isi Perppu, Said Iqbal mengaku belum tahu isinya. Meski begitu, pihaknya belum bisa menentukan sikap akan menerima atau menolak terhadap Perppu tersebut.
Saiq Iqbal mengemukakan, sebelum Perppu keluar, sempat membahas bersama tim Kadin untuk mengusulkan revisi terhadap klaster ketenagakerjaan agar ada win-win solution.
Bahkan, bersama Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea sudah menghadap Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan revisi atau perbaikan, khusunya klaster ketenagakerjaan.
Ia mengemukakan, saat bertemu dengan Tim Kadin, telah tercapai beberapa kesepakatan. Seperti upah minimum, yang intinya dikembalikan ke UU 13 Tahun 2003, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi dan pertumbuhan ekonomi, serta mempertimbangkan survei kebutuhan hidup layak. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur.
“Upah minimum sektoral dalam usulan kami juga masih ada. Seperti UMSP untuk provinsi dan UMSK untuk kabupaten/kota. Tetapi berbeda dengan UU 13, di mana upah minimum sektoral diputuskan di tingkat nasional. Bukan diputuskan di tingkat daerah,” katanya.
Selain itu, usulan berikutnya terkait outsourcing. Jika di dalam UU Cipta Kerja, outsourcing dibebaskan di semua jenis pekerjaan, maka usulannya sama dengan UU 13/2023, yakni tetap harus ada pembatasan.
Sementara terkait dengan pasal karyawan kontrak di dalam UU Cipta Kerja yang tidak dibatasi periode kontraknya, meski di dalam PP ada batasan paling lama 5 tahun, diusulkan harus ada batasan periode kontrak.
“Usulan kami kembali ke UU No 13 Tahun 2003, bahwa karyawan kontrak masa kontraknya maksimal 5 tahun dengan periode kontraknya dibatasi 5 kali,” ujarnya.
Selain masalah upah minimum, outsourcing, dan karyawan kontrak, hal lain yang juga diusulkan dikembalikan ke UU 13 Tahun 2003 adalah pesangon, tetapi dengan modifikasi.
Untuk perhitungan pesangon tidak ada perubahan. Tetapi dasar upah yang digunakan sebagai perhitungan pesangon adalah empat kali PTKP.
“Dengan demikian untuk mereka yang upahnya lebih besar dari empat PTKP, maka upahnya dihitung maksimal 4 PTKP,” jelas Said Iqbal.
Selain itu, pengusaha boleh memilih asuransi pesangon dengan mendaftarkan buruhnya ke pengelola asuransi pesangon yang dalam hal ini bisa dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Terkait dengan iurannya berapa, bisa didiskusikan lebih lanjut, tetapi harus dipastikan manfaatnya sama dengan undang-undang dan semua iuran dibayar oleh pengusaha.
Sedangkan terkait PHK, jam kerja, lembur, sanksi, dan hak upah buruh perempuan pada saat cuti haid dan melahirkan semuanya dikembalikan ke UU No 13 Tahun 2023.
“Itulah isi Perppu yang kami usulkan setelah berdiskusi dengan Tin Kadin yang membidangi ketenagakerjaan,” urai Said Iqbal.
Sekali lagi, Said Iqbal mengaku belum mengetahui isi Perppu yang sudah dikeluarkan. Lantaran itu, ia masih akan mempelajarinya untuk menyatakan menerima atau menolak Perppu Cipta Kerja tersebut.
“Bagaimana sikap kami terhadap Perppu tersebut? Akan kami pelajari dulu, apakah akan ada aksi penolakan atau kami terima,” katanya. (Red)