JAKARTA – Sepuluh orang terduga mafia tanah asal Kota Serang, Banten, ditangkap Polres Metro Jakarta Pusat. Para tersangka yang ditahan ini di antaranya adalah mantan kepala desa dan camat.
Mereka adalah Marhum sebagai kepala Desa Bendung, Rudiyan sebagai petugas ukur BPN Kota Serang, dan Iwan Darmawan sebagai PPATS Camat Kasemen.
Kemudian, ada juga Sobri sebagai staf PPAT Kecamatan Kasemen, Saikhu Amrullah, staf desa yang bertugas mengetik akta. Juga Juanda, Husni, Sahid, Abdul Khalik, dan Halwani sebagai staf desa Bendung.
“Tersangka ini (Marhum) adalah eks Kades (Kepala Desa), dan eks Camat dibantu dengan staf-stafnya, berikut dengan staf dari BPN,” kata Wakapolres Metro Jakpus AKBP Setyo Koes Heriyanto dalam jumpa pers di Polres Metro Jakarta Pusat, Rabu (29/12/2021).
Lokasi tanah yang diperjualbelikan secara ilegal berada di Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Kasus bermula ketika korban bernama Hendra Hidajat berniat membeli tanah di Desa Bendung untuk dijadikan perumahan.
Kemudian, salah satu tersangka Marhum yang menjabat sebagai kepala desa mendatangi kantor korban di Kompleks Perkantoran Majapahit, Jakarta Pusat. Marhum, menurut Setyo, memerintahkan anak buahnya untuk membuat AJB dengan mengutip data, padahal tanahnya tidak ada.
“Karena tersangka tidak memiliki tanah yang akan dijual kepada pelapor, selanjutnya tersangka memerintahkan staf Desa Bendung untuk membuat AJB dengan mengutip data-data yang ada di DHKP PBB,” kata Setyo.
Menurut Setyo, para tersangka sudah menjadi mafia tanah sejak 2012. Marhum sendiri sudah menjabat sebagai kades sejak 1998 sampai 2017.
Modus Pemalsuan Akta Tanah
Berdasarkan hasil penyelidikan, Setyo mengatakan modus mereka dengan memalsukan akta tanah. Setyo menyebut para pelaku sudah membuat akta jual-beli (AJB) sebanyak 36 buah dengan total tanah seluas 11 ribu hektare.
“Tersangka ini menjanjikan atau membuat akta jual beli sebanyak 36 akta jual beli. Dengan yang sudah diukur oleh pejabat, mengukur dari BPN seluas 11 ribu hektare,” jelasnya.
Setyo mengungkapkan aksi penipuan mereka diketahui ketika korban curiga pada tingkah laku mereka. Sebab, mereka setiap kali korban meminta menunjukkan lokasi tanah, mereka selalu menolak.
“Ternyata tanah yang terdapat dalam sertifikat itu adalah milik warga desa,” katanya.
Akibat perbuatan ke-10 tersangka itu, korban mengalami kerugian hingga Rp 670 juta. Para tersangka dijerat dengan Pasal 378 KUHP, 266 KUHP, 264 KUHP, 263 KUHP, jo 56 KUHP dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara.
(Red)