Politik Anggaran Pendidikan di Banten: Antara Prestasi dan Frustasi
Oleh: Bef Abda Pala Wijaya
“aku mengulang kesedihan yang sama, air mata yang itu-itu saja..” itu secuil petikan puisi Cindil G Maryanto yang menggambarkan betapa pedih luka dan air mata yang sama akibat kecerobohan yang dilakukan secara berulang. Sudah pernah menangis terluka di tempat yang sama tetapi masih diulangi kembali. Seperti itulah kisah dari pimpinan ke pimpinan Dinas Pendidikan dan kebudayaan (dindikbud) Provinsi Banten nampak masih berkutat pada luka yang sama. Luka akibat politik anggaran, pengadaan barang dan jasa sektor pendidikan yang diselingi perilaku-perilaku korup.
Berbilang tahun Dindikbud Pemprov Banten sudah mulai langganan perilaku fraud, setidaknya bisa dihitung sejak 2017 dari pengadaan tanah di Tangerang. Meskipun pada tahun-tahun sebelumnya juga ada perilaku fraud di lini yang sama, ya belanja modal pengadaan barang dan jasa.
Saya lebih memilih menggunakan diksi ”fraud” daripada diksi popular yang digunakan untuk menjeratnya: koruptif. Penggunaan diksi fraud ini menimbang adanya pola perilaku yang terjadi secara nyaris berulang, dengan gejala yang sama dan pada ceruk kelemahan systematic yang sama. Bayangkan saja semenjak 2017 hingga beberapa bulan lalu, media masa massa tiada bosan membanjiri berita-berita kasus korupsi terkait Dindikbud Pemprov Banten. Jika berhitung dari 2017, artinya selama lima tahun, alokasi anggaran yang sangat besar digelontorkan tanpa system anti fraud alias system pengamanan anggaran yang memadai.
Potensi Fraud Bikin Frustasi
Belajar pada belasan tahun silam, kasus 2010, telah muncul pola fraud pada pengadaan alat peraga dan software yang merugikan keuangan negara sampai miliaran rupiah. Satu pola fraud sudah terungkap saat itu, tinggal dibaca bagaimana system harus dijalankan kembali dengan menambal lubang agar tidak menjadi luka di kemudian hari. Namun, baru-baru ini pola fraud yang cenderung sama sedang mencuat di media massa. Sebut saja soal pengadaan lahan dan USB (2017), UNBK (2018), dan pengadaan di tahun 2021 ini mengindikasikan perilaku fraud yang terus berulang.
Memang sih dindik ini pos menggiurkan, menggugah selera pelaku fraud karena dinas biasa disiram dana triliunan rupiah per tahun. Semua pihak tahu bahwa lembaga ini sanggup mengusulkan dana besar, program-program besar, belanja besar-besaran meskipun minus program anti fraud di setiap project. Dengan dana triliunan rupiah per tahun, dindikbud adalah pos basah penuh akrobat politik anggaran, minim pengawasan. Pengawasan akan diserahkan pada instansi lain secara kelembagaan, seperti inspektorat, BPKP, BPK dan sejenisnya secara rutin. Karena pengawasannya standar maka susah mengendus perilaku fraud yang sistematis, banyak layeringnya. Bukankah standar pelaksanaan setiap program selalu berbasis pada format prosedur standar minimum: yakni tidak menyimpangi aturan pengadaan barang dan jasa.
Kata “ tidak menyimpangi” menjadi batas acuan kerja, sementara, secara praktik telah membuktikan bahwa selalu berulang siasat untuk menyimpangi program-program belanja besar dindikbud. Targetnya sederhana yakni memberikan keuntungan pada pihak tertentu yang berkait langsung dengan pekerjaan belanja/pengadaan barang dan jasa, menaikkan harga beli, mengurangi spek, mengubah standar produk. Ah.. ada satu lagi yang bisa dimainkan sebagai fraud yakni mengalokasikan anggaran tertentu dengan motif interest, siapa paling dekat dengan pucuk pimpinan maka ia yang akan banyak peluang menikmati aliran kebijakan.
Tentu saja perilaku itu absah jika kedekatan dan interest justru digunakan sebagai instrumen untuk memastikan ketepatan anggaran, karena target telah dikenali secara detail. Bolehlah disebut semacam personal guarantee. Namun akan membuka potensi fraud jika kedekatan itu berujung menguntungkan pihak tertentu atas nama kewenangan kepala dinas. Ini potensial terjadi dalam hal penempatan personil, jabatan, porsi anggaran, system seleksi.
Bukankah saat ini pucuk pimpinan dindikbud juga sedang dihadapkan pada pemberitaan soal penempatan personel kepala sekolah. Tahun 2021 ada kisah sengkarut sampai ditangani kejaksaan terkait pengadaan alat praktik dan peraga siswa, 8 paket, dengan 8 sekolah penerima yang sumber dana dari DAK untuk SMK dan SMA. Demikian juga untuk TIK sebanyak 9 paket yang terindikasi bermasalah. Kedua kegiatan yang bernilai 17 Miliaran (SMK) dan sekitar Rp 22 M (SMA) itu digabungkan tanpa melihat spesifikasi masing-masing kegiatan. Ini menandakan problem kepatuhan hukum demi menyiasati pembatasan peserta lelang. Di tahun 2022 ada kisah conflict of interest pengalokasi penerima anggaran. Produk kebijakan disinyalir masih sama menampakkan rendahnya kepatuhan hukum. Misalnya saja munculnya SK Penetapan DAK yang tidak diparaf terlebih dahulu pejabat yang semestinya dan diterbitkan melalui otoritas pucuk pimpinan. Tentu saja kebijakan 2022 ini bakal bertubrukan dengan Pergub No 33/2020 tentang Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan Pemprov Banten. Kisah-kisah ini menandakan praktik anti fraud belum berjalan sehingga ujung agenda ini berpotensi fraud systematic.
Prestasi yang Perlu dikembangkan.
Lalu apakah buruk semua kinerja Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemprov Banten? Tentu saja tidak. Serapan anggaran yang tepat sasaran masih lebih dominan. Anggaran yang dibelanjakan secara normal dengan parameter yang sehat terlihat lebih besar dibandingkan jumlah dana yang terbelit fraud. Sebut saja kisah pemberian honor plus tambahan dana kesejahteraan bagi tenaga kependidikan dan guru di sekolah negeri – swasta di Banten yang berkisar 22 ribu orang menelan dana hingga Rp 280 Miliaran, telah diselesaikan secara apik, tanpa indikasi fraud. Itu prestasi dan kinerja yang menggembirakan. Harus diakui, tahun ini, keberhasilan alokasi kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan menyelamatkan muka dindikbud dari coreng-moreng fraud yang bertubi.
Keberhasilan ini cukup unik lantaran kinerja prestatif ada di level medium managing, sedangkan perilaku fraud yang bikin frustasi justru terjadi di level pucuk-pucuk manajemen. Kisah UNBK, pengadaan tanah, USB semuanya membelit pucuk pimpinan. Pun soal conflict interest dan problem penempatan SDM yang tidak sesuai latar- kinerja justru terjadi dari level manajemen atas. Keunikan ini sekaligus meresahkan, sebab, seperti pameo mengatakan ”ikan busuk dari kepala”. Manakala problem fraud muncul dari top manajemen maka seberapa kuat personil tingkat medium, kepala-kepala seksi mampu bertahan dengan kinerja ideal yang prestatif ? Mereka akan tunduk tiada berdaya pada “perintah atasan” dan presure sejenisnya.
Kinerja positif dengan pemberitaan yang kalah massive dibandingkan pemberitaan kasus-kasus di seputar Dindikbud Pemprov Banten perlu segera dilapis dengan langkah membangun SDM pendidikan yang kuat. Setidaknya jika kepala ikan mulai membusuk, pemilik kolam harus sigap bertindak agar terawat kolam ekosistem pendidikan Banten.
Gubernur sebagai pucuk pimpinan tertinggi telah menunaikan amanat konstitusi untuk memberi porsi besar bagi pendidikan dan telah pula menyemai ekosistem pendidikan yang sehat, tapi musti berani menghentikan belanja-belanja yang menyuburkan fraud, pendek kata ma(mp)u membersihkan kepala ikan yang busuk, agar kolam ekosistem pendidikan kembali sehat.
Siapa ekosistem pendidikan? Para guru yang menjadi ujung tombak tidak boleh menjadi korban fraud dari manajemen dindikbud. Jangan lagi Dindikbud Banten menyumbang kasus-kasus fraud ke meja hijau. Cukuplah fraud itu menyasar pada pengadaan–belanja terkait fisik, alat peraga pendidikan, yang semestinya dapat dilokalisir dengan meningkatkan kepatuhan legal di dindikbud pada setiap pelaksanaan agenda kegiatan belanja.
Selain itu, para guru patut diberi peningkatan untuk meng-upgrade diri sebagai pendidik. Terutama guru-guru yang setiap tahun diberi alokasi honor dan tambahan kesejahteraan, patut mendapat kesempatan untuk meningkatkan skill (up-skilling). Agar peserta didik yang berada di sekolah kewenangan provinsi mendapatkan kesempaan yang sama diajar oleh guru-guru berkapasitas high grade. Agar lembaga pendidikan yang sudah difasilitasi secara lebih dari memadai mulai memacu kualitas, tidak sekedar berebut pengadaan perangkat teknologi informasi komputer.
Memang penempaan guru high-grade itu juga musti diamankan dari ancaman fraud yang biasa bercokol di level top manajement. Penempaan atau re-skilling guru bisa mencakup semua guru di bawah naungan Dindikbud Banten. Pendidikan perlu melepaskan diri dari bias perilaku swasta-negeri. Saatnya berinvestasi pada peningkatan SDM dan jika memang perlu pengadaan perangkat fisik maka lakukan pemerataan dengan pemetaan kebutuhan menyeluruh yang akuntabel, bukan berdasar kedekatan pimpinan. SDM pendidik, adalah pengajar yang harus mencontohkan perilaku egalitier, tidak mengandalkan kemewahan perangkat tapi kualitas isi dan karya. Jika masih ada kebijakan yang membeda-bedakan, itu pertanda produk kebijakan konyol yang minus edukasi.
Mengingat angaran yang tinggi, kita dapat memulai menyelisik-kritis tentang postur anggaran Dindikbud Banten saat ini, bagaimana kecenderungan penyerapan anggarannya. Boleh saja mengklaim politik anggaran pendidikan adalah domain pemerintah daerah dan petinggi dinas, sehingga penyusunan dan penganggarannya tidak membuka partisipasi luas, dikapling rent seeker, para pencari untung. Tetapi perlu diingat kebijakan pendidikan adalah milik publik, Dindikbud Banten yang sehat bebas fraud dan prestatif adalah harapan ekosistem pendidikan.(*)
Penulis adalah Ketua LingkaR stUdi maSyarakat dan Hukum (RUSH), Jakarta, tinggal di Banten.