Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi
Tahun baru, harapan baru. Begitulah ungkapan yang biasa disampaikan masyarakat dalam menyambut momen pergantian tahun. Berbagai perayaan kadang hadir juga di kalangan masyarakat tertentu sebagai ungkapan kegembiraan menyambut harapan baru itu. Tapi itu tidak berlaku bagi pegawai honorer dan juga sebagian ASN yang bekerja di Pemkot Cilegon serta para pengusaha yang mengerjakan proyek dari Pemkot Cilegon.
Bagi honorer di Pemkot Cilegon seperti Guru Madrasah, Guru PAUD, Guru Honorer, Linmas, Kader Posyandu, datangnya tahun baru 2025 saat ini justru menjadi derita yang memilukan. Demikian halnya dengan sebagian ASN di Pemkot Cilegon, para penanggung jawab kegiatan seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hanya bisa menggigit jari, pejabat yang menalangi uang BBM untuk kendaraan dinasnya hanya bisa mengeluh, kebanyakan dari mereka hanya bisa mengeluarkan umpatan yang tersembunyi.
Derita para Guru Madrasah, Guru Ngaji, Guru PAUD, Guru Honorer, Linmas, Kader Posyandu lantaran honor mereka untuk Triwulan IV Tahun 2024 lalu tak bisa dibayarkan oleh Pemkot Cilegon. Demikian pula bagi sebagian ASN dan pejabat Pemkot Cilegon, honor-honor sebagai penanggung jawab kegiatan dan uang BBM kendaraan dinas sama dan sebangun, tak bisa dibayar. Biang keladinya, APBD 2024 mengalami defisit.
Adapun para pengusaha atau pihak ketiga, alih-alih akan menerima pembayaran untuk melunasi pembiayaan proyek dari perbankan atau mitra kerja termasuk untuk bersenang-senang menikmati keuntungan proyek, malah jadi buntung lantaran gagal bayar. Alasannya sami mawon, defisit APBD 2024 yang membawa banyak malapetaka. Jangan tanya apa penyebab APBD 2024 mengalami defisit, yang pasti adalah Pemkot Cilegon telah gagal melaksanakan tugasnya dalam pengelolaan pemerintahan dan anggaran.
Hal ini jelas menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat Cilegon. Sejak berdirinya Kota Cilegon pada 26 tahun silam, baru pertama kalinya kas daerah mengalami defisit anggaran yang dampaknya kemana-mana hingga meninggalkan beban utang ratusan miliar rupiah dan hilangnya honor-honor yang merupakan hak dari mereka yang jadi korban dari yang namanya defisit itu.
Derita yang dialami oleh Guru Madrasah, Guru Ngaji, Guru PAUD, Guru Honorer, Linmas, Kader Posyandu, nampaknya yang paling mendapat perhatian publik di Cilegon. Menjadi wajar ketika masyarakat kemudian protes secara bergelombang. Aliansi Masyarakat, Ormas, Mahasiswa silih berganti mengadakan aksi demonstrasi di depan Kantor Walikota Cilegon sebagai bentuk simpati terhadap para guru yang jadi korban kebijakan Pemkot Cilegon. Sayangnya, dari sekian kali adanya demonstrasi itu, tak sekalipun Walikota Cilegon, Helldy Agustian yang baru saja mengalami kekalahan dalam Pilkada pada 27 November lalu itu menemui para pendemo.
Tangis dan jeritan para guru pecah dalam demonstrasi yang sudah menyebar ke seluruh pelosok negeri lantaran menjadi pemberitaan berbagai stasiun TV nasional dan pemberitaan media mainstream lainnya. Termasuk melalui media sosial yang mengalahkan pemberitaan soal penghargaan yang diterima sang Walikota, nampaknya tidak bisa menggugah hati nurani seorang pimpinan daerah terhadap aspirasi mereka yang menuntut haknya.
Yang membuat resah para guru dan honorer lainnya adalah tentang kepastian soal pembayaran honor itu mengingat uang yang tidak seberapa bagi ukuran orang yang berkemampuan, tapi sangat berharga bagi mereka sebagai penopang hidup dan kehidupan.
Dampaknya sangat terasa, ada yang bingung bayar utang di warung, ada yang bingung bayar kuliah dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya banyak di antara mereka yang kemudian menempuh jalan pintas melalui pinjaman online alias pinjol.
Jawaban dari para pejabat Pemkot pun bikin para guru tak puas. “Intinya, Pemerintah Kota Cilegon tetap berkomitmen untuk menyelesaikan honor-honor yang belum terbayarkan. Semoga ada regulasi yang secara legal berdasarkan hukum dapat membayarkannya,” demikian kata Rahmatullah, Kepala Bagian Kesra Setda Kota Cilegon.
Jawaban itu tentu saja hanya sebatas “ngeneng-ngenengi” atau sekadar kamuflase agar situasi bisa diredam dan tidak menimbulkan kemarahan publik. Namun dengan mengacu soal regulasi yang ada (berdasarkan hukum), tak ada aturan yang membolehkan untuk itu, artinya honor itu akan hangus ditelan kebijakan yang tidak populis dari pimpinan daerah.
Andai saja pimpinan daerah punya kebijakan yang populis tidak akan terjadi hal yang demikian. Pemkot sudah punya “terawangan” sebelumnya tentang akan terjadinya defisit yang imbasnya akan berpengaruh terhadap pembiayaan termasuk honor-honor para guru itu. Seharusnya, dalam refocusing program, bisa melihat mana yang berimbas langsung dengan masyarakat secara personality dan tidak bisa dilaksanakan tahun anggaran berikutnya, mana yang imbasnya secara langsung maupun tidak langsung dirasakan, tapi masih bisa dilaksanakan tahun berikutnya.
Infrastruktur misalnya. Di sinilah letak masalahnya, Pemkot justru lebih banyak melaksanakan kegiatan yang bernuansa pencitraan, kegiatan yang ingin mendapat pujian tapi tak berkorelasi dengan kepentingan masyarakat. Selain itu, Pemkot memaksakan agar proyek-proyek infrastruktur harus dilaksanakan, padahal kondisi APBD sedang tidak baik-baik saja, ada apa?.
Alangkahnya populisnya jika kebijakan kala itu lebih memprioritaskan pembayaran honor-honor lantaran cuan itu adalah hak yang harus diterima mereka mengingat mereka sudah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan regulasi yang ada dan honor itu akan hangus jika tidak dibayarkan tersebab tidak bisa dibayar melalui APBD tahun 2025.
Atas dasar itu, saat ini Pemkot Cilegon sedang mangalami situasi yang membingungkan seperti halnya makan buah Simalakama, “dimakan sakit perut, tidak dimakan sakit kepala”. Ya beginilah jadinya jika kebijakannya tak populis. Namun yang paling mendasar dari aspek regulasi terhadap tidak dibayarnya honor-honor di atas adalah bagi Pemkot Cilegon laksana sedang dalam frasa maju kena, mundur kena. Sementara para guru tetap menuntut, haknya bisa diterima, honornya bisa dibayar. Itu saja. (*)