PEMILU dan Pilkada serentak tahun 2024 telah mendekati proses tahapan, satu persatu tahapan sesuai undang undang pemilu dan pilkada telah dilaksanakan. Meskipun berdasar keterangan unsur dan pihak terkait, belum ada kejelasan mengenai waktu pelaksanaan pemilu dan pilkada ini. Hal tersebut baru akan diumumkan di 2022 mendatang.
Gegap gempita proses pemilu dan pilkada serentak 2024 ini, muncul tak gentar diantara wabah Covid-19 yang sedang kita perangi bersama. Di tahun krisis sebelumnya pilkada di beberapa daerah tetap berlangsung. Dengan demikian, tahapan tidak dapat ditunda karena amanah undang undang harus dijalankan. Seperti dalam waktu dekat, sedang berlangsungnya pemilihan komisioner KPU RI dan Bawaslu RI. Sudah seharusnya kita kawal bersama sejauh mana hasilnya nanti , hal ini menjadi harapan bahwa perempuan mampu mengisi ruang ruang strategis tersebut melampaui kuota 30 persen. Di tahun 2019 saja, meningkatnya anggota parlemen perempuan meskipun secara presentase masih stagnan yaitu di angka 20,5 persen (berdasar data KPU RI) itu dapat terupayakan melalui sistim zipper yang diterapkan oleh partai. Sehingga banyak sekali caleg perempuan yang menempati nomor urut strategis. Maka, banyak caleg perempuan berada di nomor urut 1 pada pemilu 2019 lalu. Tentu angka 20,5 persen tersebut masih jauh dari apa yang diperjuangkan.
Pilkada 2024, yang sedang hangat saat ini menjadi perbincangan salah satunya adalah terkait kandidasi. Kandidasi merupakan hal paling fundamental bagi partai, karena momentum ini menjadi wajah paling depan untuk partai. Bagaimanapun, dari pemilu hingga pemilihan kepala daerah nantinya partai sebagai salah satu peserta pemilu harus menyiapkan kandidat dalam kontestasi nanti. Tentunya, kandidat yang mampu menjadi daya tarik bagi masyarakat, memilik kapabilitas dan dapat dihitung atau akuntabel. Dalam hal ini, Banten menjadi salah satu bagian dari peserta pilkada yang mulai “diterawang” perihal kandidasi ini. Terlebih dari sekian banyak nama yang mencuat kepermukaan, setelah sebelumnya muncul di beberapa media diantaranya ada nama – nama perempuan yang diperhitungkan. Yaitu, Airin Rachmy Diani selaku Walikota Tangsel periode 2015 – 2020 yang merupakan periode kedua demikian juga dengan Iti Via Jayabaya selaku Bupati Lebak periode 2019 – 2024 yang terakhir berdasar survey yang ada dibeberapa media munculnya nama Rahayu Saraswati, yang merupakan calon walikota Tangsel tahun 2020 namun gagal, juga Saras (panggilan akrabnya) merupakan keponakan dari politisi kawakan Prabowo Subianto. Tentu ini menjadi sangat menarik apabila kita melihat track politik mereka, yang mana mereka sudah malang melintang di dunia perpolitikan.
Jika dilihat dari sisi kesetaraan gender, tentu munculnya nama perempuan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi perpolitikan Banten. Karena, seperti kita ketahui juga bahwa dari setiap perhelatan atau kontestasi politik pilkada Banten tidak pernah absen dari kandidat perempuan. Bahkan di Tangsel tahun 2020 kemarin, ingin saya garis bawahi Putri Wakil Presiden, Nurajizah Maruf ikut menjadi salah satu kandidat calon walikota Tangsel meskipun pada akhirnya gagal terpilih. Akan tetapi, point of centre-nya adalah bahwa keterwakilan perempuan dalam kancah pilkada ini kian menarik.
Kita sebagai perempuan patut berbangga atas prestasi yang diraih menunjukkan adanya keberanian dan kemampuan politik untuk memimpin. Ini menunjukkan bahwa tentu masih ada secercah harapan pada titik garis perjuangan perempuan. Mengingat di Banten ini, berdasar pada data P2TP2A bahwa ditengah situasi Covid-19 terhitung dari tahun 2020 hingga 2021 tren angka kekerasan pada perempuan dan anak sebanyak 239 kasus. Ini membuktikan bahwa pekerjaan daripada perempuan yang berada di garis perjuangan masih sangat panjang. Kasus tersebut juga hanya salah satu persoalan dari sekian banyak daftar panjang permasalahan yang berdampak di Banten. Seperti kita lihat dengan hal tersebut, itu menandakan belum adanya gender equality sesuai dengan yang diharapkan.
Namun terlepas dari itu semua, tetap saja kemunculan nama-nama perempuan dalam kontestasi pilkada Banten ini harus kita lihat lebih dalam secara latar belakang dan silsilah keluarga atau kekerabatannya. Nama perempuan yang muncul dalam kontestasi pilkada Banten masih memilik keterkaitan dengan para penguasa pendahulu, para pimpinan daerah terdahulu dan bahkan para pejabat petinggi negara. Artinya, bahwa perpolitikan Banten masih dikendalikan oleh sekelompok elit di tengah masyarakat yang memiliki kekuasaan atau dengan kata lain kita sebut Oligarki.
Menurut Winters, oligarki selalu berdasar pada beberapa faktor, yaitu Hak politik, jabatan resmi, kekuatan mobilisasi dan kekuatan pemaksaan atau dengan kata lain intervensi. Di Indonesia, Banten khususnya. Gubernur, Bupati dan Walikota satu sama lainnya memiliki hubungan kekerabatan dan silsilah yang bahkan mungkin bagi seluruh warga Banten sudah bukan lagi rahasia dan menjadi hal yang biasa. Seperti Airin yang merupakan adik ipar dari Ratu Atut, lalu ada Iti Via yang merupakan anak dari mantan Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya, dari contoh Banten ini, bisa disebutkan bahwa oligarki di tanah jawara berkembang pesat tidak terkendali. Tentu, ini menjadi tumbuh suburnya dinasti politik karena bagaimanapun oligarki melalui dinasti politik merupakan jalan mudah dengan adanya faktor patronase. Faktor patronase menjadi utama dalam hal mewariskan kekuasaan.
Dinasti politik ini seringkali menjadi momok atau bayang bayang bagi perempuan yang ikut andil dalam dunia perpolitikan. Mengapa demikian? Ya karena dinasti politik yang terbangun berdasarkan hubungan kekerabatan tadi, menjadi seperti privillege atau tiket VIP untuk tidak ikut berjubel dalam antrian ketika melenggang di dunia politik. Perempuan dengan label bagian dari “dinasti politik” mampu mendapat golden ticket dengan mudah.
Dinasti politik juga menjadikan kualitas gender yang bias, karena harus kita akui bahwa mulai dari pemilu, di tataran pusat hingga daerah sampai pada pilkada tentunya menjadi seolah menunjukan bahwa yang berhak andil dalam kontestasi ini adalah siapa dia perempuan yang dekat dengan tubuh oligarki tadi, siapa dia yang memiliki uang atau dekat dengan relasi kekuasaan dan serta siapa dibalik layarnya atau patronnya, atau bahkan mungkin saja, perempuan yang merupakan bagian dari keluarga pesantren dan memiliki keterkaitan dengan ulama besar. Bahkan kondisi saat ini, karena oligarki semakin mengakar maka dinasti politik semakin banyak kita temui di setiap tubuh kekuasaan.
Tentu yang kita harapkan di sini adalah solusi, yang mana tidak hanya solusi secara politik tapi solusi tentang pembangunan bagaimana caranya dalam setiap perhelatan mampu menambah indeks perempuan yang aktif dan turut andil dalam dunia perpolitikan di Banten tanpa adanya “dinasti politik” yang melatar belakanginya. Jika hal ini memang serius, sudah semestinya partai sebagai ujung tombak kaderisasi menjadikan concern mencetak dan memberi ruang atau fasilitas bagi perempuan yang memang kompeten, berkualitas tanpa memiliki relasi kekuasaan atau kekuatan serta hubungan kekerabatan dengan para pejabat tinggi negara. Fasilitas yang dimaksud tentunya, akses dan hak yang sama dalam kiprah politik yang mampu dimiliki setiap kader perempuan potensial. Sehingga harapan harapan dapat tercapai dan persoalan bangsa ini terjawab sehingga demokrasi menjadi jalan kebaikan bersama. Ini penting, karena mewujudkan harapan ini tidak hanya sebatas pada ruang pemenuhan frasa pada regulasi saja. Akan tetapi juga kesadaran bersama akan pentingnya kemajuan.
Lalu kira kira, siapa perempuan yang layak untuk menahkodai Banten ini? Kemajuan ada di tangan kita bersama, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah mengawal penuh proses tahapan pilkada ini agar dapat berjalan dengan baik dan sejalan dengan apa yang dicita-citakan.
Semoga hak politik yang diperjuangkan mampu dimiliki setiap perempuan di muka bumi ini yang sudah mendedikasikan kiprahnya di dunia politik.
Tulisan ini didedikasikan dalam menyambut Hari Ibu. Selamat hari Ibu, semoga seluruh perempuan di Indonesia mampu berdaya. (*)
Cici Cartika
Aktivis Muda NU
Tangerang Selatan, 11 Desember 2021