SERANG – Pengamat Lembaga Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul mengaku setuju dengan sikap tegas Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) yang konsisten dengan hasil penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) se-Provinsi Banten tahun 2022. Dirinya menilai, penetapan UMP dan UMK sudah melalui pembahasan yang melibatkan berbagai pihak, pertimbangan kondisi ekonomi di tengah pandemi Covid-19 dan tentu saja perundang-undangan yang berlaku.
“Pertama, saya kira penetapan UMK Kabupaten/Kota se-Provinsi Banten sudah diputuskan dengan mempertimbangkan kehati-hatian. Sebab, banyak hal yang perlu dipertimbangkan, sehingga pada akhirnya disepakati perwakilan (Dewan Pengupahan),” ujar Adib, Selasa (7/12/2021).
Adib mengatakan, penetapan UMK dipastikan mempertimbangkan setidaknya dua kepentingan, yaitu kepentingan pekerja dan pengusaha dengan difasilitasi sejumlah stakeholder terkait. Dalam menetapkan UMK, Gubernur WH juga sudah mengacu pada kesepakatan yang difasilitasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten.
Selanjutnya, penetapan UMK dipastikan mempertimbangkan kondisi perekonomian Provinsi Banten dan Nasional pada umumnya, di mana pandemi Covid-19 sangat berdampak terhadap pertumbuhan perekonomian. Meski begitu, pertimbangan tersebut jangan sampai serta merta mengabaikan apa yang menjadi hak buruh.
“Covid-19 memang menjadi alasan mengapa kenaikan UMK tidak sebesar beberapa tahun lalu, tetapi tidak serta merta tidak mentaati apa yang harus menjadi hak buruh. Dalam tataran global, alasan atau pertimbangan penetapan UMK tak jauh dari masalah dampak Covid-19,” katanya.
Lepas dari itu, Adib menilai, kenaikan UMK di Provinsi Banten cukup bagus. “Kalau kita ambil data, besaran kenaikan UMK di Provinsi Banten nomor dua terbesar setelah Jawa Barat. Lagi pula, pembahasan UMK sudah ada perwakilan buruh. Sudah melalui musyawarah. Kenaikan yang sudah disepakati, merupakan keputusan yang harus ditaati,” katanya.
Adib juga mengatakan bahwa Pemerintah perlu mempertimbangkan iklim investasi. Jangan sampai investor memindahkan usahanya ke daerah lain.
“Itu juga penting menjadi pertimbangan, di Jawa Tengah tidak bergejolak. Jika akhirnya investasi berpindah maka bisa menimbulkan PR bersama lagi, yaitu masalah pengangguran,” katanya.
Menanggapi tidak besarnya kenaikan UMK dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, Adib memahami bahwa perekonomian Provinsi Banten dan Indonesia pada umumnya mengalami kelesuan, sebagai dampak pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun tersebut.
“Lesunya perekonomian yang menyebabkan kenaikan UMP tidak besar. Kondisi itu harus dipahami bersama,” ucapnya.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD Banten, M Nawa Said Dimyati mengungkapkan, Gubernur itu secara hirarki pemerintahan adalah Wakil Pemerintah Pusat di daerah. Dimana, semua kebijakannya harus mengacu pada kebijakan Pemerintah Pusat, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan seluruh aturan turunannya.
“Pemerintah Pusat menganggap bahwa penetapan upah minimum adalah bagian dari proyek strategis nasional. Diharapkan, dengan penentuan upah minimum itu akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar pria yang akrab disapa Cak Nawa itu.
“Kenaikan UMP 0,56 persen yang ditetapkan oleh Gubernur Banten itu selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat,” sambungnya.
Dikatakan, dirinya sebagai anggota Fraksi Partai Demokrat berharap Pemerintah segera merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 sebagaimana perintah dari MK (Mahkamah Konstitusi). Revisi tersebut harus memuat aspirasi buruh, baik itu dalam kesejahteraan, perlindungan kesehatan dan perlindungan masa depan. (Mir/Red)