SERANG – Pengamat ekonomi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang Elvin Bastian menilai pengelolaan Bank Banten jangan sampai terjadi kesalahan manajemen. Jika itu terjadi, maka dana segar senilai Rp 1,551 triliun akan sia-sia.
Dikatakan Elvin, yang menjadi catatan dalam penambahan modal untuk Bank Banten ini adalah jangan sampai Rp1,5 triliun itu hanyut lagi tidak menjadi apa-apa, dengan alasan modal yang diberikan tidak sesuai dengan rekomendasi OJK sebesar Rp3 triliun. Hal ini harus benar-benar diperhatikan, agar direksi Bank Banten ini tidak lagi mengalami missmanagement atau salah urus.
“Jajaran direksi Bank Banten harus bisa memetakan skala prioritas penyehatan seperti Dana Pihak Ketiga (DPK), recovery aset yang potensial serta perbaikan image Bank Banten di masyarakat setelah adanya kasus saat ini. Itu yang penting dilakukan. Meskipun kalau saya lihat proses penyehatannya ini akan memakan waktu lebih dari satu tahun, tapi jika didukung oleh kinerja yang bagus dan juga dukungan dari seluruh stackholder, saya yakin bank ini akan sehat,” kata Elvin, Sabtu (25/7/2020).
Elvin menjelaskan, jika dibandingkan dengan kasus penggabungan beberapa bank menjadi Bank Mandiri pada tahun 1998 silam itu, hitungannya masih kecil. Bagaimana pada saat itu pemerintah menggelontorkan APBN-nya sekitar Rp256 triliun untuk menjaga stabilitas perbankan pada saat itu, namun hanya beberapa saja yang selamat.
“Kemudian muncul kasus utang di bawah Cassie (pengalihan hak tagih) Bank Bali oleh Djoko Tjandra dan sebagainya. Semua ini terjadi karena kesalahan dalam mapping persoalan fundamental yang dialami perbankan pada saat itu, dan hal ini jangan sampai terjadi pada Bank Banten,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Elvin, permasalahan tingginya biaya operasional pada laporan keuangan Bank Banten tahun anggaran 2019 menjadi penting dilakukan audit investigasi baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten melalui badan akuntan publik. Hal itu mengingat pada tahun yang berkenaan, Bank Banten juga mengalami peningkatan status menjadi Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) oleh OJK pada pertengahan Juni 2019. Namun disisi lain, jajaran direksi Bank Banten tidak melakukan efesiensi biaya operasional.
Terkait biaya operasional yang terus meningkat ini, menurut Elvin, OJK harus melakukan due diligency terhadap kinerja direksi Bank Banten, atau bisa juga Pemprov Banten selaku Pemilik Saham Pengendali Terakhir (PSPT), lewat akuntan publiknya yang ditunjuk.
“Harus didalami ini. Ketika laba menurun, bahkan minus, cost operasional ko masih tetap tinggi. Bila perlu dilakukan audit investigasi. Bener ga ini masalahnya di inefesiensi,” ujarnya.
Elvin menuturkan, dalam entitas bisnis, cost recovery atau harga pokok itu harus tertutup terlebih dahulu, baru kemudian bicara laba. Jika cost recovery belum bisa tertutupi, maka jangan terlebih dahulu berbicara laba. Yang harus dilakukan adalah evaluasi, salah satunya efesiensi biaya operasional.
“Bedah-bedahan bisnis harus dilakukan. Jangan melulu berkutat dalam hal politisnya, sementara permasalahan di bisnisnya tidak disentuh. Karena sebagai entitas bisnis, hal ini tentu harus menjadi perhatian serius,” ujarnya.
Peraih gelar Doktor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini melanjutkan, sebagai Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang seumur jagung dan sudah Tbk, wajar kemudian banyak tekanan politik, baik dari Pemda maupun DPRD. Hal itu sudah menjadi rahasia umum, dimana-mana juga terjadi. Akan tetapi, tambahnya, profesionalisme tetap harus diutamakan dalam menagemen usaha.
“Saya rasa para direksi juga paham prioritas penyelamatannya. Hal itu tentu akan mudah dilakukan, jika tidak ada interbensi dari pihak manapun. Menagemen bila perlu mundur jika ada tekanan politik. Harus profesional. Meskipun bisnis perbankan itu membutuhkan waktu puluhan tahun untuk benar-benar stabil dan bisa melakukan ekspansi usaha seperti BCA dan BNI,” jelasnya.(Mir/Red)