Oleh: Diki Dermawan, Mahasiswa, International Islamic University Malaysia
Tepat pada malam Minggu, 4 Januari 2024, Debat terakhir calon presiden dan wakil presiden RI berakhir. Kurang dari dua minggu Masyarakat Indonesia akan menentukan calon yang layak untuk memimpin Indonesia. Kendati debat calon presiden telah usai, perdebatan dan perselisihan di antara para pendukung paslon 01, 02, dan 03 masih berlangsung bahkan kian memanas.
Perselisihan 5 tahunan antar pendukung ini selalu menggelitik jika diperhatikan dengan seksama. Para pendukung ini kebanyakan bukan partisan. Mereka biasanya masyarakat umum yang tidak memiliki kepentingan apa pun. Namun, usaha-usaha untuk memenangkan paslon tertentu sangat militan. Mulai dari menggoreng setiap kesalahan kecil dari paslon lawan, memotong cuplikan video, sampai membuat tulisan-tulisan fitnah di sosial media.
Apa yang sebetulnya masyarakat secara umum ini perjuangkan? Mereka memperjuangkan calon presiden dan wakil presiden sebagai individu atau sebagai pemimpin. Pertama, jika seseorang memilih presiden dan wakilnya sebagai individu, artinya ia menyukai cawapres dari aspek-aspek personalnya, seperti citra, wajah, karakter, sifat, atau agama.
Kedua, mereka yang memilih cawapres sebagai pemimpin tidak hanya melihat aspek personalnya saja, namun juga pemikiran, ide dan gagasan, jam terbang, dan juga keburukan yang mereka miliki. Kelompok kedua ini lebih objektif, atau dikenal juga sebagai pemilih rasional atau rasional-emosional. Sedangkan kelompok pertama cenderung subjektif, atau disebut juga sebagai pemilih emosional.
Pemilih tipe rasional atau rasional-emosional ini cenderung menggunakan data dan fakta sebagai landasan memilih kandidat presiden yang layak dan atau disesuaikan dengan identitas si pemilih. Sedangkan pemilih emosional menggunakan emosi sebagai sumber utama menentukan pilihan. Emosi ini berupa identitas diri yang telah ia bawa sejak lahir saja, seperti kepercayaan, etnis, atau budaya .
Jika diperhatikan, pemilih emosional cukup banyak ditemukan di sosial media. Mereka menggunakan narasi identitas dan receh untuk menarik perhatian calon pemilih yang belum menentukan pilihan. Misalnya Anis dengan isu dukungan ulama-ulamanya, dan Ganjar yang muncul dalam tayangan azan, dan Prabowo dengan anti Tionghoa dan komunis pada periode lalu.
Ini semua memang disengaja dan dirancang oleh pendukung partisan ketiga kubu tersebut untuk menggaet para pemilih emosional dan meningkatkan elektabilitas mereka. Yang sangat miris adalah ketika banyak masyarakat kita dengan mudah terpengaruh hal tersebut. Dilansir dari Tempo.com, menurut Indo Survey dan Strategy tercatat penduduk Indonesia memilih calon presiden berdasarkan kesamaan identitas. Artinya, strategi politik identitas masih cukup efektif jika diterapkan di Indonesia.
Pemilih Rasional-Emosional
Sebetulnya, memilih pemimpin berdasarkan kesamaan identitas tidak sepenuhnya buruk. Sebab, manusia cenderung saling memahami jika mereka berada dalam satu identitas yang sama. Namun yang salah dari politik identitas ini adalah menjadikan itu satu-satunya indikator untuk memilih presiden.
Ini berbahaya karena menyebabkan seseorang dangkal berpikirnya. Kesamaan identitas seharusnya hanya menjadi satu dari sekian banyak indikator seseorang dalam memilih calon pemimpin negara. Sebab, banyak kriteria lain yang penting untuk diperhatikan. Pertama, pemimpin harus adil.
Kedua, pemikiran di balik kepalanya, seperti ideologi dan cara pandang ia mengenai alam ini. Ketiga, track record, apa saja prestasi yang calon pernah raih, berapa lama ia menjadi pemimpin, dan catatan kesalahan apa yang pernah ia lakukan di masa lalu. Keempat, kemampuan komunikasi yang baik. Kelima, paham tentang kenegaraan. Keenam, jujur kata-katanya dan tidak berbuat curang. Kedelapan, memiliki tubuh yang sehat.
Setidaknya kriteria-kriteria ini juga penting untuk diperhatikan. Karena, kesamaan identitas tidak menjamin apa pun. Semisal si calon beragama Islam, apakah semua orang Islam terjamin kejujurannya? Apakah ia terjamin tidak pernah berkata bohong? Apakah ia pintar? Bukan berarti banyak pemimpin muslim yang pintar, jujur, dan adil lalu menggeneralisasi semua orang Islam seperti mereka. Tentu itu pemikiran yang dangkal.
Penulis cenderung sepakat dengan tipe pemilih rasional-emosional. Bagaimanapun kesamaan identitas juga memiliki aspek positif, memiliki kepercayaan yang sama pada norma dan nilai tertentu mislanya. Hal ini juga penting sebagai landasan prinsip seseorang dalam menilai sesuatu baik dan buruk. Namun tidak cukup sampai di situ, berpikir kritis dan menganalisis kelemahan dan kekuatan paslon berdasarkan data dan fakta yang ada juga harus diutamakan. Sebab, Identitas hanyalah identitas tanpa adanya kredibilitas dan kualitas.
Oleh sebab itu, jika iklim politik di Indonesia masih dibanjiri dengan politik Identitas, artinya masyarakat Indonesia masih diisi oleh pemilih emosional yang mengabaikan pentingnya berpikir rasional dan memilih calon presiden dan wakil presiden sebagai individu, bukan sebagai pemimpin.
Selain itu, ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia serta civitas akademik masih memiliki PR besar dalam mengedukasi masyarakatnya agar dapat berpikir secara kritis serta mengedepankan data dan fakta dalam memilih calon presiden.
(***)