Beranda Opini Pemberantasan Gratifikasi Untuk Pemerintahan yang Bersih

Pemberantasan Gratifikasi Untuk Pemerintahan yang Bersih

Ilustrasi - foto istimewa merdeka.com

Oleh : Qisma Khasnaul Khirza

Pemberantasan gratifikasi merupakan langkah penting dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Praktik gratifikasi adalah akar dan penyebab utama dari tindakan korupsi. Gratifikasi merupakan praktik pemberian atau penerimaan sesuatu baik berupa uang, barang, maupun bentuk lainnya yang diterima oleh pejabat atau pegawai negeri yang dapat merugikan masyarakat dan negara.

Berdasarkan penjelasan Pasal 12B Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi adalah “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Dari penjelasan Pasal 12B Ayat 1 UU No.20 Tahun 2001 gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau salah. Namun, gratifikasi sering kali diberikan dengan tujuan tertentu, seperti mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara penyalahgunaan jabatan atau wewenang dalam mempengaruhi mengambil keputusan.

Berdasarkan laporan KPK lebih dari 3 ribu laporan kasus gratifikasi tahun 2024 di Indonesia, laporan tertinggi pada bulan Mei 2024 sebanyak 539 laporan. Upaya pemberantasan gratifikasi terus dilakukan pemerintah, melalui berbagai lembaga terkait seperti KPK, berupaya menciptakan sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Beberapa langkah mengatasi gratifikasi yang telah dilakukan antara lain:

Penguatan regulasi: pemerintah terus berupaya menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan gratifikasi, guna memberikan landasan hukum yang kuat dalam upaya pencegahan dan penindakan.

Sosialisasi dan edukasi: Para pejabat negara terus diberikan pemahaman mengenai bahaya gratifikasi dan pentingnya menolak segala bentuk pemberian yang dapat mengarah pada korupsi.

Peningkatan pengawasan: Pengawasan terhadap pejabat negara diperketat, seperti laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang mana setiap pejabat negara diharuskan untuk melaporkan harta kekayaan mereka secara berkala bertujuan untuk mengidentifikasi dan memantau kekayaan pejabat untuk mencegah adanya penyimpangan atau penambahan kekayaan yang tidak wajar.

Penegakan hukum: Aparat penegak hukum akan menindak tegas setiap pelanggaran yang ditemukan. Sanksi bagi para pelaku gratifikasi dijelaskan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, orang yang menerima gratifikasi dapat dipidana dengan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dengan denda tidak lebih dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan tidak lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pemerintah memiliki peranan yang cukup besar untuk membasmi praktik suap yang terus merajalela dan dinormalisasikan ini, penegak hukum dapat memberi sanksi atau hukuman yang berat untuk para pelaku agar jera, lemahnya hukum di Indonesia membuat pelaku cenderung terlihat tidak takut dengan konsekuensi yang berlaku. Untuk mengatasi gratifikasi, pemerintah, lembaga penegak hukum, masyarakat, dan media massa harus bekerja sama mencegah agar gratifikasi tidak di normalisasikan dalam dunia politik Indonesia.

Semoga, pemerintah tidak lagi melanggar dan lebih sadar untuk mematuhi aturan dan etika tentang gratifikasi, serta melaporkan apabila melihat atau mengalami praktik gratifikasi, demi mewujudkan cita-cita pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi dapat tercapai. (Red)

Penulis mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Untirta.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News