Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi
Dalam sambutan Riungmungpulung peringatan HUT Kota Cilegon ke 27, Walikota Cilegon menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan tidak diukur dengan pembangunan infrastruktur, tetapi dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada kesempatan lain Walikota menyatakan bahwa saat ini pembangunan bukan fokus pada fisik dan infrastruktur. Pernyataan Walikota seperti di atas, menarik untuk ditanggapi mengingat ada kaitannya dengan kebijakan pembangunan.
Pembangunan infrastruktur sejatinya termasuk urusan pemerintahan yang wajib dalam hal pelayanan dasar. Jika Walikota telah menyatakan seperti di atas, berarti telah memberikan gambaran nyata kepada masyarakat bahwa kebijakan pembangunan Kota Cilegon tak memperhatikan dan tak memprioritaskan pembangunan fisik dan infrastruktur.
Atas dasar itu, tulisan ini akan membahas pelaksanaan pembangunan fisik dan infrastruktur Kota Cilegon yang termasuk janji kampanye seperti Pembangunan 8 Youth Center, Pembangunan 43 Alun-alun Kelurahan serta pembangunan fisik dan infrastruktur secara umum.
Masalah janji Pembangunan 8 Youth Center dan 43 Alun-alun Kelurahan, sebetulnya sudah pernah dibahas dalam tulisan opini saya di media berita ini dengan judul “Tiga Tahun Kepemimpinan Walikota Cilegon, Janji Tinggal Janji”. Namun untuk me-review kembali tentang janji manis Walikota Cilegon saat kampanye kala itu, tak ada salahnya jika diulas seperlunya dalam tulisan ini disesuaikan dengan kondisi kekinian.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026 disebutkan adanya penyediaan fasilitas hobi di 8 Kecamatan yang masuk dalam program penyediaan Ruang Terbuka Publik (RTP) sebagai pengejawantahan dari janji kampanye pembangunan Youth Center di 8 Kecamatan. Dalam salah satu literatur, Youth Center diartikan sebagai tempat yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan remaja. Dengan demikian, Youth Center ini berkaitan dengan infrastruktur, wujudnya bisa gedung, bisa juga sebuah lapangan.
Tapi menjadi aneh ketika pada 6 Juni 2021 silam, diadakan launching pelaksanaan janji pembangunan Youth Center di Taman Layak Anak dengan nama Youth Center Genre. Genre tak lain singkatan dari Generasi Berencana, sebuah komunitas program nasional besutan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tujuan untuk menyiapkan kehidupan berkeluarga bagi para remaja dalam hal; Jenjang pendidikan yang terencana. Berkarir dalam pekerjaan yang terencana. Menikah dengan penuh perencanaan, dengan sasaran remaja yang berusia 10-24 tapi belum menikah atau mahasiswa yang belum menikah.
Keanehannya dimana?, ternyata Youth Center yang seharusnya berwujud fisik dan infrastruktur, malah dijadikan sebuah komunitas bernama Youth Center Genre. Jadi Youth Center Genre ini, hanyalah program tumpangan. Youth Center menumpangi Genre atau sebaliknya Youth Center ditumpangi Genre?. Alhasil jadilah program tumpang menumpang.
Istilah Youth Center dalam perencanaan program, disebut RTP. Walikota Cilegon baru pertama kali meresmikan RTP Kecamatan yakni di Kecamatan Cibeber. Peresmian RTP Cibeber ini menjadi sedikit obat kekecewaan masyarakat. Memang ini adalah bukti pelaksanaan janji politik soal Youth Center. Bukti yang menandaskan bahwa janji membangun 8 Youth Center hanya satu RTP yang bisa dibangun untuk melengkapi 4 RTP Kecamatan yang sudah dibangun saat periode kepemimpinan Walikota terdahulu. Ringkasnya, selama tiga tahun lebih kepemimpinan Helldy Agustian, Pembangunan 8 Youth Center hanya menjadi hiasan bibir belaka alias tidak terlaksana sesuai janji.
Sama halnya dengan Youth Center, janji politik Pembangunan 43 Alun-alun Kelurahan telah masuk RPJMD Kota Cilegon yakni penyediaan ruang publik yang representatif dan ramah difabel berupa penyediaan RTP di 43 Kelurahan. Tak ada bedanya dengan Youth Center yang wujudnya sama berupa RTP. Itulah yang sudah disepakati bersama dalam sebuah dokumen resmi, namun dalam pelaksanaannya janji ini justru menjadi bahan pertanyaan masyarakat mengingat pembangunan Alun-alun Kelurahan masih sebatas angan-angan sebagian masyarakat, pembangunannya baru dilaksanakan di beberapa tempat saja yakni di Kelurahan Sukmajaya, Tegalbunder, Masigit, Ciwedus, Bagendung dan Ketileng.
Dari sekian Alun-alun yang sudah dibangun, dilihat dari aspek kelayakan, ada yang tidak layak disebut Alun-alun, lebih layak disebut taman bermain anak. Bisa jadi hal ini betul-betul disadari Pemkot Cilegon sehingga namanyapun berubah menjadi taman seperti Taman Sukmajaya yang ada di samping Rumah Dinas Sekretaris Daerah yang belum rampung 100%.
Menanggapi berbagai kritik masyarakat terkait pembangunan 43 Alun-alun Kelurahan, Walikota Cilegon mengakui, bahkan meminta maaf karena pembangunan Alun-alun Kelurahan belum tuntas, alasannya karena durasi masa jabatan yang dikurangi akibat adanya Pilkada.
Bagi saya, alasan yang dikemukakan itu hanyalah sekadar apologi, atau pembelaan yang tidak ada relevansinya dengan masa jabatan. Mungkin masyarakat tidak butuh permintaan maaf, yang ditagih adalah janji dan pernyataan. Harus diingat bahwa semua yang dijanjikan akan direalisasi dalam kurun waktu 3 tahun, bukan selama menjabat Walikota. “Jika dalam kurun waktu 3 tahun tidak terealisasi, siap mengundurkan diri”, begitu bunyi pernyataan dan tulisan dalam Ikrar Komitmen Baja.
Dari fakta-fakta di atas, dapat dikatakan bahwa janji kampanye membangun 8 Youth Center dan 43 Kelurahan dalam kurun waktu 3 tahun, ternyata bohong belaka, masyarakat Cilegon kena prank soal janji itu. Terkait dengan pernyataan yang menyatakan “Jika dalam kurun waktu 3 tahun tidak terealisasi siap mengundurkan diri”, masyarakat meyakini Walikota terbukti tak ada keberanian untuk itu, termasuk saya meyakini. Walikota sudah terbukti mengkhianati pernyataannya sendiri dengan berbagai dalih dan argumen lantaran sudah melewati deadline 3 tahun, apalagi masa jabatan sudah tinggal menunggu waktu.
Adapun terkait pembangunan fisik dan infrastruktur secara umum, sebetulnya masyarakat sudah tahu bahwa pemerintah tidak memperhatikan pembangunan fisik dan infrastruktur atau dalam bahasa Walikota menyebutnya pembangunan bukan fokus pada fisik dan infrastruktur. Hal ini menjadi tak terbantahkan dengan minimnya anggaran fisik dan infrastruktur untuk pembangunan gedung, jalan, jembatan, irigasi dan lainnya dalam tiap APBD.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa terjadi demikian?. Jawabannya bisa jadi lantaran di samping tidak ada niat memprioritaskan pembangunan fisik dan infrastruktur, pemerintah merasa berat membagi anggaran untuk menyeimbangkan antara kebutuhan anggaran merealisasikan janji kampanye yang di dalamnya terdapat program ‘bagi-bagi uang’ seperti Beasiswa Full Sarjana, Honor RT RW, Dana Stimulan Masjid dan lainnya dengan kebutuhan fisik dan infrastruktur yang sebetulnya dibutuhkan masyarakat yang lebih luas. Mau tidak mau, anggaran pembangunan fisik dan infrastruktur menjadi korbannya. Tentang hal ini, tentu masih ingat betapa riuhnya protes masyarakat menyikapi adanya kondisi fisik dan infrastruktur jalan yang rusak parah atau meminjam istilah Mang Pram, ajur mukmuk. Ada yang melalui video, lomba mancing di kubangan jalan, lomba foto dengan latar jalan rusak, menanam pisang di tengah jalan hingga demonstrasi mahasiswa.
Adapun pelaksanaan pembangunan fisik dan infrastruktur utamanya masalah jalan, terdapat kecenderungan dilaksanakan setelah adanya protes masyarakat, atau dalam istilah sekarang, viral dulu baru dibangun. Jadi aspirasinya adalah aspirasi protes. Memang ada juga yang perencanaannya berdasarkan aspirasi masyarakat seperti melalui reses Anggota DPRD yang dimasukkan dalam pokok pikiran (Pokir) DPRD, namun untuk pelaksanaan pokir ini, anggarannya terbatas.
Yang patut disayangkan dalam pelaksanaan pembangunan fisik dan infrastruktur, seolah ada politik fobia terhadap hasil hasil pembangunan di masa lalu. Sering muncul pernyataan dan pertanyaan di berbagai panggung yang membanding-bandingkan kondisi masa lalu dengan saat ini. Inilah bukti soal politik fobia itu, saya menyebutnya sebagai patologi pembangunan.
Bukti nyata adanya fobia politik atau patologi pembangunan saat ini adalah soal Jalan Lingkar Selatan (JLS) dan proyek Jalan Lingkar Utara (JLU). Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah Kota Cilegon sekarang tidak mau menganggarkan perbaikan JLS walaupun kondisinya sudah rusak parah. Bahkan dengan dalih besarnya anggaran untuk perawatan, serta pemanfaatannya yang tidak digunakan masyarakat Cilegon, Walikota malah berniat untuk menyerahkan JLS kepada Pemerintah Pusat dengan opsi tukar guling dengan jalan nasional.
Sungguh tak dapat dimengerti. Logika pembangunan apa yang diterapkan oleh Walikota saat ini, jangankan membangun jalan baru untuk kepentingan masyarakat, merawat yang sudah ada saja tidak mau. Soal manfaat tidak digunakan oleh masyarakat Cilegon, tidak jelas parameternya. Padahal andaikan tidak ada JLS, dapat dibayangkan bagaimana kemacetan lalu lintas di pusat Kota Cilegon apalagi dalam kondisi tertentu seperti akhir pekan, hari libur, saat lebaran dan sebagainya.
Pemerintah Pusat saja mengakui betapa sangat strategisnya keberadaan JLS dalam rangka menopang kepentingan nasional di daerah. Makanya, ketika Pemerintah Kota Cilegon tidak mau memperbaiki JLS, sementara Pemerintah Pusat punya kepentingan di situ yakni pertaruhan nama baik negara soal pengaturan arus mudik lebaran, maka Pemerintah Pusat sendiri yang membangun (betonisasi ulang) JLS tidak melalui bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) tersebab APBD Cilegon tidak memprogramkan perbaikan JLS. Namun, ketika JLS sudah dibangun oleh Pemerintah Pusat, diaku oleh Pemerintah Kota Cilegon sebagai hasil pembangunan Cilegon, hasil inovasi pembangunan tanpa menggunakan APBD. Sama halnya dengan jalan kembar, jalan yang diperbaiki PUPR Pusat sesuai dengan kewenangannya, diaku pembangunannya oleh Walikota Cilegon dengan tanpa menggunakan APBD. Inilah yang namanya politik aku-aku, yang membangun Pemerintah Pusat, yang ngaku Pemerintah Daerah. Ironis dan tidak punya malu.
Fobia politik lainnya yakni soal proyek JLU. Jelas ini program yang digagas pemerintahan sebelumnya, tapi sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun RPJMD. Proyek JLU ini sebagian sudah di tahap pembebasan lahan, sebagian sudah perataan. Namun karena adanya sifat fobia di atas, oleh pemerintahan sekarang tidak terusik dan proyek akses jalan publik itu dibiarkan terbengkalai. Mungkin ada rasa khawatir, ada anggapan jika dibangun, legasi pembangunan akan jatuh pada pemerintahan yang lama. Padahal logika pembangunan tidak demikian, jika diprogramkan akan tercantum dalam APBD tahun berjalan.
Jadi, apapun pengakuan Walikota saat ini terkait pelaksanaan pembangunan infrastruktur Kota Cilegon, baik yang termasuk janji kampanye maupun infrastruktur pada umumnya, demikian adanya. Janji kampanye bidang infrastruktur tidak terealisasi sesuai janji, sedangkan dalam pembangunan infrastruktur secara umum, pemerintah abai dan tidak menjadikannya sebagai prioritas pembangunan walaupun itu dibutuhkan masyarakat. Iya kan?. (*)