Oleh: Sulaiman Djaya, apresiator Seni-Budaya
Bila lazimnya perayaan HUT RI diselenggarakan dengan upacara, karnaval atau hiburan rakyat yang meriah, Agustusan ke-79 dimaknakan secara substantif oleh para pekerja seni tradisional di Banten dengan menyuguhkan pertunjukan teater rakyat kepada khalayak yang hadir dengan antusias. Bertempat di Gedung KPRI, Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang, Banten, Sanggar Ubrug Giri Muda Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang, Banten menyelenggarakan Pentas Kolaborasi antara dua kesenian daerah Indonesia, yaitu seni Lenong (Jakarta) dan seni Ubrug (Banten) yang disebut dengan “NONGBRUG” pada tanggal 17 Agustus 2024, di HUT RI yang ke-79 di mana para petinggi Negara merayakannya di Istana Merdeka Jakarta dan IKN di Kalimantan Timur.
Pementasan “NONGBRUG” atau pentas kolaborasi seni Lenong dan Seni Ubrug merupakan konsep pertunjukan yang “mengawinkan” atau ‘memadukan’ secara kreatif dua budaya yang berbeda: kebudayaan yang diwakili oleh seni Lenong Betawi dari Jakarta dan Seni Ubrug (Sunda) dari Banten. Dua kebudayaan ini dipadu-padankan dalam bentuk pertunjukan kolaboratif yang penuh humor sehingga mampu memberikan kenyamanan dan hiburan bagi para penonton yang menyimak mereka dengan gembira dan pulang mendapatkan apa yang ingin mereka inginkan: refleksi hidup.
Selain humor, unsur tarian dan musik (karawitan) yang menarik menjadikan pertunjukan semakin menjadi lebih unik dan terasa sisi warisan seni budaya tradisional dan unsur kreatif kekontemporerannya. Ditambah tema yang disuguhkan pertunjukan pun mengangkat dan mengkomunikasikan isu-isu kekinian di masyarakat kita seperti tentang saling curiga, saling hujat dan saling membanggakan diri seiring dengan sedang ramainya perhelatan kontestasi Pilkada tahun 2024.
Bila kita bepergian kita akan melihat maraknya baligo-baligo yang terpampang di tempat-tempat umum yang seakan sedang menggambarkan orang-orang yang sedang “bersilat dan bersiasat” mengambil simpati dan hati masyarakat. Hanya dalam realitas di kalangan para pendukung, ada rasa saling curiga satu sama lain, yang pada akhirnya rentan menjadi gesekan dan konflik jika tidak dimediasi dengan sikap-sikap yang bijak.
Kegiatan pementasan ‘NONGBRUG’ itu terselenggara berkat dukungan program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah VIII. Adapun tujuan diselenggarakan pementasan itu sebagai bagian dari proses kreatifitas dari Sanggar Ubrug Giri Muda Cikeusal Kabupaten Serang, Banten selain sebagai perwujudan dari pemeliharaan, perawatan dan pelestarian seni Ubrug dan Seni Lenong agar tetap mampu bertahan di era semakin kuatnya gempuran budaya asing yang mempengaruhi pola pikir masyarakat kita,” kata Abah Undi, ketua Sanggar Ubrug Giri Muda Cikeusal Kabupaten Serang, Banten.
Secara keseluruhan, sejumlah apresiator dari pihak resmi pemerintah cukup puas: “Pertunjukannya menarik, kreatif dan edukatif. Kami berharap kreatifitas ini dapat menjadi inspirasi dari seniman lainnya agar lebih produktif lagi ke depannya. BPK Wilayah VIII tentu terus mendukung kreatifitas para pelaku seni dan budaya dalam proses pemajuan kebudayaan secara berkelanjutan,” ujar pak Rico sebagai perwakilan dari BPK wilayah VIII yang juga turut hadir diacara tersebut. Pertunjukan ini juga mengundang seniman Lenong Betawi yang sudah sangat ternama yaitu Bang Kimung si Jago Muda dari Sanggar Lenong Pusaka Joglo Jakarta.
Pertunjukan NONGBRUG itu setidaknya telah menghadirkan refleksi ringan menyentuh bagi kita di era digital saat ini.
Konon, era kita saat ini adalah zaman post-truth, orang lebih terpesona tampilan ketimbang isi. Tak mempercayai para ahli dan pakar, semisal yang diratapi Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise. Kemajuan teknologi informasi ternyata juga memperbesar kejahilan, terbunuhnya kritisisme, meluasnya ketumpulan dan kemalasan berpikir. Era digital memang melahirkan miliaran bunga, namun kebanyakan bunga busuk. Dari mulai pikiran iseng para blogger, buzzer, teori konspirasi hingga bisnis berita palsu. Di ruang-ruang mayantara itu, kebanyakan pengguna internet atau netizens, tak berminat menguji informasi atau berdiskusi secara sehat. Mereka lebih senang mengumbar ejekan, bullying dan caci-maki.
Memang, kemajuan teknologi informasi berdampak positif melebur jarak dan menyingkat waktu bagi hal-hal positif, tapi manfaat yang sama juga kemudian digunakan untuk menyebarkan perilaku kekerasan hingga menyebarkan ideologi ekstrim. Gerakan dan tindakan intoleran berdalih demokrasi, hingga kelakuan sejumlah elit membajak semua platform demi ambisi pribadi dan menyebarkan friksi dengan menggunakan kecanggihan teknologi informasi. Pertunjukan itu menegur kita agar tetap menjadi manusia merdeka bermartabat dengan mengedepankan welas asih dan cinta. (*)