Beranda Opini Pandemi Bau Bawang

Pandemi Bau Bawang

Ilustrasi - foto istimewa Tribunnews.com

Oleh : Ferliyadi Utama, Mahasiswa Unpam

“Setiap kata yang memuai di udara memiliki makna gramatikal tentunya sesuai fungsi pada kelas kata itu sendiri, seperti ‘Toleransi’ yang hanya sekedar katanya”

New Normal adalah proses induksi tentang penyimpulan suatu teori umum dari pembuktian fakta-fakta partikular dengan berbagai cara pembentukan, seperti hal baru yang sebelumnya belum ada atau kebiasaan yang tidak biasa. Pada abad 21 Libby Sartain menujuk Roger McNamee sebagai pencetus pertama istilah New Normal, dalam pengantar buku karangan John Putzier Weirdos in the Workplace: The New Normal—Thriving in the Age of the Individual (2004).

McNamee mengartikan new normal sebagai era baru dan saya setuju dengan McNamee, New Normal adalah saat seseorang bersedia mengikuti aturan main yang baru dalam jangka panjang. PSBB dan Omnibuslaw membuktikannya ketika wabah Covid-19 telah berkarakter sebagai pandemi dan merubahan cara berpikir, berperilaku, dan berelasi antar manusia di berbagai negara khusunya Indonesia.

Istilah New Normal secara resmi diketahui muncul dan digunakan di Indonesia pada tanggal 15 Mei 2020, di dalam surat edaran Mentri BUMN kepada seluruh Direktur Utama BUMN dalam rangka pembentukan gugus tugas penangangan Covid-19 dan menyusun protokol penanganan Covid-19. Karena terlalu Fokus kepada Covid19 yang telah berkarakter menjadi pandemi, kita lupa bahwa tanpa kita sadari kita sebagai manusia yang bertoleransi telah melakukan falsifikasi, falsifikasi disini bukan secara harfiah namun secara kiasan.

Falsifikasi secara harfiah adalah suatu pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang dikemukakan manusia sesuai dengan hasil observasi atau percobaan. Jadi, suatu ilmu yang dibuat manusia bisa 100% sama apabila dikonfrontasi dengan hasil pengamatan atau kenyataan yang ada. Falsifikasi secara kiasan lebih kepada menyalahkan sesuatu dengan berpedoman pada kata seharusnya, hingga arti toleransi pun memuai di udara seperti seekor kuda yang sedang belajar tertawa.

Baca Juga :  Etika Ketika Berbelanja pada Masa Pandemi

Masa Pandemi Covid19 ini telah merubah cara berelasi antar manusia secara cukup signifikan, untuk mempertahankan eksistensinya manusia melupakan toleransinya hingga menyalahkan atau mengharuskan sesamanya untuk menjalani hidup seperti dirinya dengan berpedoman pada kata seharusnya yang berstandar ganda menurut saya. Karena jika memang seharusnya seperti itu, apakah tidak bisa seperti ini?

Mari sejenak kita bicara tentang Eksistensi dan Toleransi, kedua kata tersebut adalah dua kata berbeda makna berakhiran vokalisasi i. Eksistensi adalah keberadaan, sedangkan Toleransi adalah bentuk menghargai.Keberadaan adalah sebuah kata berkata dasar Ada, maka seperti apa yang di katakan Martin Heidegger dalam Sein und Zeit (Wujud & Waktu) “Manusia bukanlah organisme yang bisa dikategorikan dalam pangkat ‘Manusia’,terdapat Ada di dalam Manusia (Ada merupakan kenyataan itu sendiri atau sebuah esensi mengenai keberadaan, layaknya roh yang tersembunyi di dalam realitas jadi kita tahu sebenarnya ada merupakan esensi sempurna keberadaan yang nyata)”.

Jadi hanya dengan hidup kita sudah mempertahankan eksistensi kita sebagai manusia dan dengan menjalani hidup sesuai prespektif pribadi bukankah kita telah menghargai keberadaan ? lalu jika kita bisa menghargai keberadaan kita kenapa kita tidak bisa menghargai perspektif dan keberadaan orang lain? Apakah kita sebagai manusia adalah makhluk yang egois? Kurasa tidak, sepertinya kita hanya butuh waktu lebih untuk memahami bahwa kepentingan ternyata adalah kata yang bersifat relatif.

Maka sejatinya dan bukan seharusnya (contoh) seseorang yang belajar di fakultas sastra tidak di haruskan menjadi seorang sastrawan yang haus akan eksistensi. Karena selama pertemuan dalam kegiatan belajar mengajar sebelum atau sesudah terjadi pandemi pun adalah “sudah baca buku apa minggu ini? bukan “Sudah menulis apa pekan ini?”
Seperti kata Pramoedya Ananta pada bait sederhananya dalam novel bumi manusia: “Adil sejak dalam pikiran, maupun dalam perbuatan”.

Baca Juga :  Perubahan Bisnis di Masa Pandemi Covid-19

Janganlah kita sebagai manusia menerapkan prinsip dan penilaian yang diskriminatif terhadap situasi karena itu sama saja dengan menelanjangi diri sendiri (mempertontonkan lebatnya jembut standar ganda tanpa rasa malu, telanjang tanpa selembar benang)
Sebab toleransi adalah kecurigaan bahwa orang lain itu benar, maka seperti pasir di tanah itu Aku tak harus jadi penting karena eksistensi adalah sesuatu yang Ada.

Dengan demikian penilaian adalah relatif maka jika fakultas sastra di nilai hanya mencetak analis dan kritikus yang mungkin hanya bisa membedah dan mencincang struktur sastra tanpa bisa mengembalikannya pun sejatinya tidak apa-apa, atau seseorang yang belajar sastra tidak ingin menjadi seorang penulis pun bukanlah suatu kegagalan bukan? sejatinya manusia belajar untuk mengetahui dan siapa saja bisa menjadi seorang penulis tetapi tidak semua orang ingin membuat tulisan yang mengedukasi.

Karena edukasi bersifat menyeluruh maka ketika seseorang mengedukasi dengan tulisan yang ia buat ia telah mendidik meskipun pada dasarnya ia bukanlah seorang pendidik dan itu berarti ia telah membentuk karakter dan pola pikir seseorang sebab setelah membaca kegiatan berikutnya adalah menyimpulkan. Maka daripada itu menulis adalah lah yang berat menurut saya, terlebih lagi di masa pandemi seperti ini dimana menulis menjelma menjadi suatu kewajiban karena dijadikan tolak ukur pembuktian dalam bidang pendidikan.

Mungkin saya tidak akan merasa bahwa menulis itu berat ketika misalnya tulisan yang akan saya tulis hanya akan dijadikan sebagai tugas untuk dinilai tanpa harus di publikasi ke media sosial, karena kebebasan berekspresi di media sosial kerap di gunakan kepada hal-hal yang bersifat negatif dan propaganda. Meida sosial pun cenderung hanya menampilkan sisi positif menulis,seperti dampak positif menulis opini dan sangat sedikit artikel yang membahas tentang dampak negatif menulis opini yang ternyata menyebabkan ketergantungan bermedia yang berdampak pada kehidupan sosial serta mengganggu kesehatan mental dan jasmani.

Baca Juga :  Pentingnya Tenaga Pendidik yang Sesuai Dengan Bidangnya

Pembodohan dan penipuan diri sendiri demi eksistensi untuk menuai pujian dan keuntungan pribadi bukankan sudah termasuk perbuatan tidak terpuji apalagi mengharuskan dan mewajibkan atas dasar penilaian semu yang katanya obyektif namun nyatanya subjektif, bukankah itu sudah melanggar hak asasi dan menerapkan standar ganda tanpa di sadari atau memang hanya sedang pura-pura tidak mengerti (seperti drama penguasa di Indonesia).

Negeri ini bau bawang, Kesetaraan dan Keadilan memang masih hanya sebatas barang dagang dalam slogan untuk meraih kemenangan dan Pandemi ini pun di jadikan sebagai alat promosi untuk memuaskan hasrat dan ambisi pribadi. Saya lebih suka menyeruput kopi seraya menyaksikan anime onepiece di sore hari, karena saya hanyalah manusia biasa yang biasa saja tidak berwawasan tinggi dan tidak memiliki kemampuan menciptakan narasi dengan ilmu berbahasa alias retorika yang mumpuni karena saya masih mempelajari bidang studi ini. Dan saya berharap untuk para bapak dan ibu dosen khususnya di fakultas sastra untuk bisa lebih bertoleransi dan memahami arti dari sebuah kutipan biksu Tom Sam Cong: “nama adalah kosong”.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News