Kabar baik bagi sivitas akademika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dan warga Banten. Kampus ini telah menambah jumlah guru besar atau profesor. Kali ini, akademisi yang diangkat menjadi guru besar berasal dari Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untirta atas nama Prof. Dr. H. Aceng Hasani, M.Pd.
Pria yang lahir di Menes, Pandeglang, Banten pada 20 Agustus 1967 ini menyandang guru besar bedasarkan Surat Keputusan Mendikburistek Nomor 26360/M/07/2023 dengan mendapatkan angka kredit sebesar 869,50; dalam bidang ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia.
Sebagai akademisi, Aceng telah menempuh perjalanan panjang dalam meraih gelar profesornya. Perjalanan itu dimulai di Pendidikan Sekolah Dasar, di SDN 2 Menes (lulus 1980), kemudian ke Pendidikan Menengah Pertama di SMPN 1 Menes (lulus 1983), Pendidikan Menengah Atas di SPG PGRI Pandeglang (lulus 1986), dan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia pada tahun 1991 di Untirta.
Ia melanjutkan Magister Pendidikan Bahasa pada tahun 2003 di Universitas Negeri Jakarta, dan Doktor Pendidikan Bahasa pada tahun 2011 di Universitas Negeri Jakarta. Pada rentang kesibukannya dalam meraih gelar akademik itu, ia juga terus aktif sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia baik program sarjana maupun magister, serta Program Studi Doktor Pendidikan di Untirta sejak tahun 1991. Aceng mengampu mata Kuliah Menulis, Penulisan Karya Ilmiah, Pembinaan Kompetensi Mengajar, Pengembangan Keilmuan Psikolinguistik, dan Semantik.
“Saya merasa bersyukur kepada Allah Swt., Guru Besar ini merupakan cita-cita para akademisi, sebab puncak pencapaian akademisi itu ditunjukkan dengan raihan profesor. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada semua elemen, semua unit yang telah membantu dalam menyiapkan guru besar saya. Tanpa bantuan Kepegawaian, tanpa bantuan teman-teman semua tidak akan berjalan lancar dan proses ini panjang sekali karena saya mengajukan ini pada tahun 2019,” ujarnya saat ditemui di ruangannya di Lantai 4, gedung Rektorat, kampus Untirta, Sindangsari, Kabupaten Serang, Selasa 13 Juni 2023.
Kembali pada perjuangan akademiknya, ia mengajar di Untirta tahun 1991 dalam kondisi kampus masih di naungan yayasan dan dosen dari Untirta pun banyak berasal dari IKIP Bandung (Sekarang UPI Bandung) dan meminta dirinya untuk tinggal di Untirta. “Belum terpikir ke karir pada saat itu karena prodi (program studi) saya pun masih merger ke Sekolah Tinggi Pendidikan dan Keguruan Galuh, Ciamis,” jelasnya.
Ia kemudain berpikir untuk mengubah ‘merger’ itu menjadi Untirta secara mandiri memiliki prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia kemudian bersama tim menyiapkan proposal pengajuan prodi Bahasa dan Sastra Indonesia dan berpikir bagaimana caranya agar masyarakat Banten percaya terhadap Untirta.
“Perjalanan yang panjang tetapi ada guru-guru senior dari IKIP Bandung, guru-guru saya yang mengajar di sini kemudian menitipkan dan memotivasi saya terus menerus agar Untirta memiliki Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia secara mandiri. Mereka di antaranya adalah Ketua Jurusan di IKIP Bandung saat itu Pak Alam Sutawijaya, Pak Sukandi, Pak Yoyo ada Pak Kosadi, ada Pak Syadeli, Pak Soleh, Iman Kusandar dan Pak Noto, dan Pak Kartiwa sebagai orang tua terus mendorong dan meminta kami bersama-sama di Untirta walaupun waktu itu satu SKS digaji tujuh ribu rupiah dan tiga SKS itu berarti 21 ribu, sementara kontrakan saya perbulan saat itu 20 ribu rupiah. Jadi uang mengajar itu lebih seribu,” kenangnya sembari tersenyum.
Kondisi itu, lanjut Aceng, kemudian membuatnya semakin berupaya keras agar para orangtua memasukkan anaknya ke Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta. Hal itu masih dianggap sulit karena pada saat bersamaan banyak mahasiswa yang mundur tak melanjutkan kuliah.
“Kita buka Pendidikan Bahasa dan Sastra di Untirta itu tahun 1986, dan pada tahun 1991 jumlah mahasiswa menurun. Maka ketika Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta berdiri secara mandiri dan punya kekuatan hukum, saya kemudian bekerja sama dengan berbagai pihak seperti dengan PGRI, Koperasi, Dinas Pendidikan, dan yang lainnya, maka Alhamdulillah tahun 1994 kita memiliki mahasiswa di berbagai daerah sehingga uang kuliah dari mahasiswa waktu itu surplus,” jelas Prof. Aceng.
Misi Profesor
Menurut Prof. Aceng, ada amanah yang harus terus ia jalankan ketika gelar profesor sudah direngkuhnya. Sebagai lulusan yang diajar oleh dosen-dosen yang mumpuni di bidangnya, ia ingin mencetak guru-guru Bahasa Indonesia yang memiliki kebanggaan dan keteladanan dalam memperjuangkan bahasa persatuan ini.
Aceng menyebutkan, Bahasa Indonesia memiliki tantangan sekaligus peluang yang hebat di tengah massifnya penggunaan artificial intelligence (AI) dalam keseharian. Guru Bahasa Indonesia tentu ditantang lebih lihai menghadapi fenomena ini. Jika dalam teori Noam Chomsky manusia sudah dibekali Tuhan dengan Language Acquisition Device (LAD), maka hari ini kemampuan berbahasa itu berdampingan dengan natural language processing (NLP).
“Guru Bahasa Indonesia selain harus bangga dengan bahsa daerah atau
Bahasa Ibu, cakap berbahasa Indonesia dan menguasai bahasa asing juga adaptif dan mampu mengelaborasi fenomena AI dalam pengembangan bahasa di era serba digital hari ini,” kata Aceng.
Pelajaran Bahasa Indonesia, lanjut Aceng, bukan sekadar mentranformasi empat kemampuan teknis berbahasa seperti menyimak, berbicara, membaca dan menulis saja. Pendidikan bahasa lebih dalam dan filosofis menanamkan nilai dan eksistensi kemanusiaan dalam bingkai bahasa.
Bahasa, lanjutnya, bagaimanapun punya isu penting dalam dinamika filsafat dalam menyoroti babak modernisme dan posmodernisme. “Melalui bahasa ini pemahaman manusia dimungkinkan. Tidak aneh jika ada adagium ‘Bahasa adalah Rumah Keberadaan’. Bahwa melalui bahasa lah pemahaman manusia terhadap dunia maupun eksistensi dirinya menjadi mungkin,” ujarnya.
Selain itu, nilai strategis dari pembelajaran Bahasa Indonesia bagi kehidupan berbangsa hari ini merupakan upaya berkelanjutan dalam menjahit persatuan dan kesatuan bangsa. “Kalau tidak ada Bahasa Indonesia, mungkin agak sulit Indoensia ini bersatu. Suatu kekuatan yang luar biasa Bahasa Indonesia dikuasai oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan ini adalah kebanggaan dan kita mengajarkannya pun bersemangat, semangat kebangsaaan yang memang harus ditularkan. Tentu soal-soal sentuhan kemanusiaan seperti kebanggan, rasa persatuan dan harga diri bangsa ini melampaui pencapaian AI dalam kehidupan sehari-hari,” imbuhnya.
Selebihnya, Prof. Aceng dalam hal keluarnya SK guru besar ini berharap keilmuannya semakin meningkat dan bisa bermanfaat dan memotivasi generasi muda agar lebih cepat menjadi guru besar seperti dirinya. “Karena Untirta punya target 20 persen, jadi kalau 20 persennya dari 837 jumlah dosen di Untirta berarti 160-an yang harusnya sudah menyandang guru besar dan saat ini belum kita capai. Jadi harus kita kejar terus target itu,” tutupnya. (Red)