Beranda Peristiwa Nestapa Keluarga Korban TPPO Awak Kapal Perikanan Asal Kota Serang

Nestapa Keluarga Korban TPPO Awak Kapal Perikanan Asal Kota Serang

Siti Aisyah saat memberikan keterangan kepada wartawan. (Audindra/bantennews)

SERANG – Cukup lama Siti Aisyah menunggu kabar dari adiknya yang sudah berbulan-bulan hilang tanpa kabar. Adiknya, Muhammad Suhendra merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang bekerja sebagai Awak Kapal Perikan (AKP).

Suhendra yang baru lulus SMK pada 2023 lalu, mendapatkan informasi adanya lowongan pekerjaan sebagai AKP Kapal Motor (KM) Sumber Rizqi dari suatu grup di sosial media Facebook. Syaratnya mudah, hanya modal KTP dan Kartu Keluarga (KK) ia dijanjikan gaji sebesar Rp3,5 juta serta kasbon Rp6 juta di awal masa kerja.

Suhendra yang memang belum pernah mendapatkan kerja sebelumnya kemudian tergiur. Sempat dilarang oleh keluarga, tapi Hendra—sapaan akrab Suherndra tetap ngotot untuk pergi karena lokasi kerja yang dijanjikan terhitung dekat, yakni di Jakarta.

“Dia (Hendra) jawab ‘di Jakarta lagian deket kalau ga betah gampang pulang, lagian ramean’ oh yaudah atuh,” kata Aisyah saat menceritakan awal mula adiknya bisa bekerja jadi AKP, Minggu (22/12/2024).

Pada 9 Juni 2024 sekitar jam 10.00 WIB, sepuluh orang termasuk Hendra kemudian dijemput oleh pihak KM Sumber Rizky menggunakan travel di dekat rumahnya di Kampung Ciloang, Desa Sumurpecung, Kecamatan Serang, Kota Serang.

Bukannya dibawa ke Jakarta, sepuluh orang tersebut malah dibawa ke Brebes, Jawa Tengah yang katanya akan jadi penampungan sementara. Mereka juga tidak disodorkan Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang seharusnya menjadi dasar para APK dalam menuntut hak-hak yang telah dijanjikan. Di sana mereka juga disambut oleh pria bernama Adam yang mengaku sebagai penanggungjawab selama di penampungan.

Di sana, Hendra masih rutin memberikan kabar kepada keluarga. Dari Brebes, mereka kemudian diantar lagi sampai ke Pekalongan. Di sana empat orang dari Ciwaru, Kota Serang memutuskan pulang. Sebelum diizinkan pulang, keempatnya dimintai uang sebesar Rp400 ribu sebagai uang ganti ongkos penjemputan.

“Anak-anak lain bawa uang jadi mereka bayar sedangkan adik saya ga bawa uang, dikasih uang juga gamau katanya gausah ada buat jajan mah karena diiming-imingi ada kasbon itu,” lanjut Siti.

Di sana Hendra bercerita ke keluarganya kalau dirinya bertemu APK lain bernama Dimas yang sudah tiga hari berada di penampungan. Dimas lalu menjual telepon genggamnya karena diminta Rp800 ribu jika ingin pulang. Baik Dimas atau pun Hendra dan kawannya, awalnya dijanjikan akan bekerja di Muara Angke, Jakarta. Para APK juga diberitahu bahwa mereka akan bekerja selama 7 bulan dengan gaji yang tidak sama seperti janji di awal.

Baca Juga :  Remaja di Serang Nekat Kabur dari Rumah

Namun, pada 14 Juni, Hendra memberi kabar kalau dirinya berada di Banyuwangi. Sejak saat itu, telepon genggam Hendra tidak dapat dihubungi oleh keluarga hingga saat ini. Keluarga yang khawatir kemudian mencoba mencari tolong dengan menghubungi LBH Pijar Harapan Rakyat.

Pihak keluarga juga bahkan sempat dihubungi oleh seseorang bernama Aris yang meminta uang tebusan agar Hendra bisa dipulangkan. Katanya, Hendra sakit dan bisa dipulangkan jika membayar uang sebesar Rp1,7 juta. Siti yang khawatir sempat setuju membayar tebusan tersebut dengan syarat Aris mau memperlihatkan keadaan Hendra dengan cara video call atau mengirim video terbaru.

Tapi, Aris malah sering berkelit dan beralasan posisi dirinya dan Hendra tidak di satu lokasi. Siti yang curiga ia akan ditipu kemudian menolak permintaan Aris bahkan hingga Aris menurunkan harga tebusan menjadi Rp850 ribu.

“Saya bilang akan ditransfer minta no rekening, saya ga bisa kalau transfer ke dana tapi dia maksa ke dana aja sampe bilang ‘ih susah keluarga Hendra mah ribet yaudah anaknya dibuang aja, ditelantarin aja di Makassar’ Saya bilang telepon aja vc tapi dia ga mau banyak alesannya entar low bat lah, dari situ aja keliatan mereka mau nipu kan,” ujar Siti.

Pada 27 Juli malam, Siti tiba-tiba dihubungi oleh Polsek Banyuwangi bahwa adiknya bersama tiga APK yang lain yaitu Indra Lesmana, Muhamad Diman, dan Muhammad Asep Hilmi meloncat dari kapal saat berada di area Laut Alas Purwo, Banyuwangi yang berjarak sekitar 90 kilometer dari daratan. Keesokannya juga, pria bernama Kris yang mengaku pihak perusahaan kapal datang ke rumah Siti dan mengatakan ada musibah yang terjadi.

Kris mengatakan kapal mereka tidak bisa berlayar karena ditangkap Polisi akibat empat orang melompat dari kapal. Ia lalu menjanjikan akan memberikan uang sebesar Rp5 juta kepada Siti tapi dengan syarat mau menandatangani berkas yang isinya menyatakan kejadian tersebut merupakan musibah dan keluarga tidak bisa menuntut. Siti langsung menolak permintaan tersebut dan memilih memikirkan jalan lain agar adiknya bisa ditemukan.

Baca Juga :  Sudah Dua Hari, Nelayan Asal Pagelaran Dinyatakan Hilang Saat Melaut

Hingga kini, Siti masih yakin kalau adiknya masih hidup. Entah di mana, tapi ia percaya adiknya akan kembali pulang. Dirinya juga berkomitmen untuk terus mencari keadilan atas hal yang menimpa adiknya dan korban lainnya.

“Harapan saya untuk kasus ini adalah anak-anak segera ditemukan, adik saya segera ketemu, dapet keadilan seadil adilnya mau ketemu selamat atau, ya pengennya selamat ya kaya dulu lagi biar bisa kumpul sama keluarga lagi,” harap Siti sambil menangis.

Salah satu korban selamat asal Kampung Ciloang, adalah Diki Hermawan. Ia dulu berangkat pada 9 Juni lalu bersama Hendra dan kawan-kawannya. Diki bercerita, selama jadi APK, pekerjaannya adalah mencari ikan dan cumi. Para APK, katanya bahkan tidak pernah digaji. Untuk makan pun mereka hanya mendapatkan sisa dari kapten kapal.

Diki berhasil meninggalkan kapal, setelah melaporkan kejadian melompatnya Hendra dan teman-temannya di tengah laut ke Polairud Banyuwangi. Ia bisa melapor saat kapal sedang menepi. Dari situ, Diki kemudian berhasil menghubungi adiknya yang selanjutnya menjemput dirinya di Banyuwangi.

“Penyiksaan ada, ditimpuk atau dilempar sama kaleng ikan gitu kalau kerjanya lelet,” tutur Diki.

Pendamping hukum keluarga korban dari LBH Pijar Harapan Rakyat, Rizal Hakiki mengatakan pihak pertama yang meminta bantuan hukum adalah keluarga Diki Hermawan. Dari situ akhirnya terungkap bahwa banyak korban lainnya.

LBH Pijar lalu bekerjasama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) untuk melacak kapal yang ditumpangi para korban. Dari situ akhirnya mereka dapat kabar dari Polairud kalau ada satu korban yaitu Diki, saat itu berada di Polsek Banyuwangi.

Kata Rizal, sebelum didampingi LBH Pijar, keluarga para korban sudah sempat membuat laporan ke Polresta Serang dan Polda Banten tapi ditolak. Mereka malah diarahkan melapor ke Polres Banyuwangi karena kondisi lokasi kejadiannya berada di sana.

Pada Juli setelah didampingi oleh LBH Pijar, keluarga korban kemudian melapor ke Mabes Polri terkait dugaan tindak pidana TPPO bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tapi Polri meminta agar korban langsung yang melaporkan.

Hasilnya, Polri memutuskan bahwa laporan tersebut tidak memenuhi unsur TPPO. Setelah didesak, penyidik hanya mengarahkan untuk membuat laporan pengaduan masyarakat (Lapdu) sampai para AKP yang hilang ditemukan.

Baca Juga :  Bocah yang Tenggelam di Kali Bonakarta Cilegon Ditemukan Meninggal di Pulau Pisang

“Akhirnya kita buat laporan pengaduan sifatnya yang bukan laporan Polisi. Kalau Lapdu mah gimana hati nurani dari Polisi aja ya bisa akhirnya berkasnya ditumpuk di meja aja yaudah dinanti-nanti,” kata Rizal.

Dari Polri, keluarga korban kemudian mencoba melaporkan hal tersebut ke Komnas HAM agar dapat rekomendasi pernyataan bahwa peristiwa tersebut merupakan peristiwa pelanggaran HAM dan terdapat dimensi TPPO. Tujuannya agar surat tersebut bisa menjadi lampiran untuk diberikan ke Polisi agar bisa menindaklanjuti laporan sebelumnya.

Sekitar bulan November akhirnya Komnas HAM menanggapi dan mengadakan zoom meeting bersama LBH dan keluarga korban. Di situ juga hadir Anis Hidayah selaku koordinator subkomisi pemajuan HAM. Tapi hingga kini, tidak ada tindak lanjut apapun lagi.

“Kita kan bingungnya, terus gue pribadi mampir ke BP2MI ternyata ga bisa dibantu karena statusnya bukan buruh migran,” ujarnya.

Dosen Pidana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Muhamad Romdoni mengatakan terkait TPPO sebetulnya sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Ada tiga unsur yang dalam aturan tersebut yakni pebuatan atau proses, cara, dan tujuan. Jika suatu tindak kejahatan sudah memenuhi ketiga unsur itu barulah bisa dinyatakan TPPO.

Ancamannya bagi pelaku TPPO yaitu pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda sampai Rp5 miliar. Namun, menurut Romdoni permasalahannya kadang berada di Aparat Penegak Hukum (APH) yang sulit menerapkannya di lapangan.

“Ada beberapa faktor yang membuat hal tersebut tidak sesuai semestinya mulai dari APH, sarana prasarana, dan faktor budaya hukum,” kata Romdoni.

Romdoni berpendapat terkait kasus Hendra, seharusnya Polisi sudah bisa langsung memutuskan bahwa kasus itu merupakan TPPO karena sudah memenuhi semua unsur.

“Namun apakah memang Polisi bisa untuk membuat ini menjadi sebuah TPPO itu balik lagi kepada political will-nya karena memang seperti yang saya bilang tadi. APH kita masih punya keterbatasan terkait pengetahuan dan lain sebagainya terkait TPPO,” pungkasnya.

Bahkan menurut Romdoni, jika memang Polisi masih tetap teguh bahwa kasus itu bukan TPPO, sehasrunya mereka bisa menggunakan ‘alternatif’ lain dengan beberapa Pasal di KUHP seperti Pasal 329, 378, dan 351.

Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News