MISBACH Yusa Biran adalah sutradara film, penulis skenario film, drama, cerpen, kolumnis, sastrawan, serta pelopor dokumentasi film Indonesia asal Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Misbach Yusa Biran lahir di Rangkasbitung pad 11 September 1933. Ia merupakan anak dari pasangan Ayun Sabiran yang berdarah Minangkabau dan Yumenah asli Banten. Ayahnya yang berasal dari Dangung-dangung, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, merupakan seorang Digulis yang kemudian menjadi pemilik studio foto. Nama Misbach diberikan oleh ayahnya, yang mengambil nama dari tokoh pergerakan Haji Misbach. Sedangkan Yusa Biran, ditambahkan oleh Misbach ketika ia dewasa, yang merupakan nama pena ayahnya, “Jose Beron”.
Dalam Horison No. 1 Tahun 1997 Motinggo Busye menyatakan bahwa apabila Djamaluddin Malik (alm. ayah Camelia Malik) muncul di Senen, Djamaluddin Malik selalu mentraktir para seniman Senen itu dengan makan-makan di Restoran Merapi. Kesempatan itu sering dimanfaatkan mereka untuk makan enak; biasanya selain pesan nasi dan sate padang, mereka juga memesan bir. Hanya ada dua sastrawan yang tidak minum bir, yaitu Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan.
Misbach pertama kali menikah dengan Eleanora Nikijuluw (Nora) tanggal 12 Maret 1964. Perkawinannya bersama Nora tidak berlangsung lama dan mereka bercerai bulan Desember 1964. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Januari 1969, Misbach Yusa Biran menikah dengan Nany Wijaya (artis film) dan resepsinya diadakan di Gedung Wanita, Jakarta, tanggal 18 Januari 1969 dan mereka dikaruniai 6 orang anak yaitu Nina Kartika, Tita Fitrah Soraya, Cahya Kamila, Firdausi, Farry Hanief, dan Sukma Ayu.
Misbach meninggal dunia pada 11 April 2012 di Tangerang Selatan, Banten.
Karir di Perfilman
Misbach mulai menyutradarai sandiwara ketika masih duduk di bangku sekolah pada awal tahun 1950-an. Di samping itu, ia juga menulis resensi film dan karya sastra. Setelah lulus sekolah ia memilih film sebagai jalan hidupnya. Tahun 1954-1956, ia bekerja di Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pimpinan Usmar Ismail, berawal sebagai pencatat skrip, kemudian menjadi asisten sutradara dan anggota Sidang Pengarang. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Perfilman H. Usmar Ismail Jakarta, anggota Dewan Film Nasional, dan Ketua Umum Karyawan Film dan Televisi (1987-1991).
Kegiatan di bidang film dimulai ketika dia menjadi pencatat skrip untuk film Puteri dari Medan (1954) yang disutradarai D. Djajakusuma. Setahun kemudian ia menjadi pembantu sutradara bagi Usmar Ismail untuk menggarap Tamu Agung (1955). Tahun 1955, Misbach menulis skenario pertama dari cerpen Sjumandjaja Kerontjong Kemajoran yang kemudian oleh Persari diangkat menjadi film berjudul Saodah. Dia banyak bekerja sama dengan sutradara Wim Umboh sebagai co-sutradara dan penulis cerita/skenario, seperti dalam Istana Jang Hilang (1960), Djumpa Diperdjalanan (1961), Bintang Ketjil (1963), Matjan Kemajoran (1965), …Dan Bunga-Bunga Berguguran (1970), dan Biarlah Kupergi (1971).
Selama tahun 1957-1960, Misbach membuat film pendek dan dokumenter, serta menyutradarai beberapa film layar lebar pada kurun waktu 1960-1972. Salah satunya berjudul Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967) yang menerima penghargaan untuk sutradara terbaik dalam ajang “Pekan Apresiasi Film Nasional”.Ia juga mendapat penghargaan skenario terbaik, untuk film Menjusuri Djedjak Berdarah di ajang yang sama. Film lainnya yang ia tulis skenarionya adalah Ayahku (1987). Film yang penyutradaraannya ditangani Agus Elias ini dinominasikan sebagai film dengan skenario terbaik dalam ajang “Festival Film Indonesia”. Karyanya yang lain, Karena Dia (1979) juga dinominasikan sebagai film dengan skenario terbaik dalam “Festival Film Indonesia” pada tahun 1980.
Kepiawaiannya dalam perfilman dibuktikan lewat berbagai prestasi dalam menyutradarai filmnya, seperti (1) “Saodah”, (2) “Satu Budjang Lima Dara”, (3) “Bing Slamet Merantau” (4) “Istana jang Hilang”, (5) “Bintang Ketjil”, (6) “Panggilan Nabi Ibrahim”, (7) “Matjan Kemajoran”, (8) “Langkah di Persimpangan”, (9) “Romansa”, (10) “Samiun dan Dasima”, (11) “Hanja Satu Djalan”, (12) “Bandung Lautan Api”, (13) “Naga Merah”, (14) “Lingkaran Setan”, (15) “Pesta Musik La Bana”, (16) “Holiday in Bali”, (17) “Di Balik Tjahaja Gemerlapan”, (18) “Menyusuri Djedjak Berdarah”, (19) “Operasi X” (20) “Krakatau”, (21) “Tenggelamnja Kapal van der Wijk”, dan (21) “Honey, Money & DF”.
Pada tahun 1971, Misbach sempat memutuskan untuk tidak menyutradarai film karena ia menolak untuk mendukung industri perfilman yang saat itu semarak dengan produksi film berbau kekerasan dan pornografi. Pada masa itu ia hanya menulis skenario, yakni Romansa (1970), Samiun dan Dasima (1970), Bandung Lautan Api (1974), Krakatau (1976), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1977).
Pengarsipan Film
Kontribusi Misbach yang terbesar untuk perfilman nasional adalah dengan berdirinya Sinematek Indonesia pada tahun 1975. Lembaga itu berusaha mendokumentasikan film nasional secara independen. Ia memimpin Sinematek Indonesia hingga tahun 2001. Sosoknya bahkan menjadi identik dengan lembaga tersebut.
Kecintaan dan pengetahuannya pada film membawa Misbach ke dunia pengarsipan film.
“Saya katakan kepada Asrul (Sani) saya mau bikin dokumentasi arsip film. Kata Asrul itu bagus sekali, tapi itu akan susah katanya. Tapi saya berkeras mau bikin,” katanya dikutip dari Antara.
Misbach lantas membuat proposal pembentukan lembaga arsip film dan menyampaikannya ke Gubernur DKI Jakarta pada masa itu, Ali Sadikin.
Ia cukup yakin usulnya bakal diterima karena menurut dia Ali Sadikin adalah orang berpikiran revolusioner dan sudah membangun Taman Ismail Marzuki, Institut Kesenian Jakarta dan Gedung Kesenian Jakarta.
Usulnya benar disetujui, Sinematek Indonesia pun terbentuk dan diresmikan pada 20 Oktober 1975.
Semua hal tentang film pun dikumpulkan dan disimpan di ruang penyimpanan Sinematek, ruang dingin dengan rak-rak dan kardus-kardus, perpustakaan, serta kamar kecil berisi macam-macam dokumentasi dan materi publikasi film.
Ribuan koleksi film cerita dan dokumenter, skenario, aneka materi publikasi, buku, dan arsip-arsip tokoh penting film tersimpan di sana.
“Dulu kan ada izin produksi. Setiap bikin film harus minta izin, dan memberikan dua skenario, nah satunya saya ambil, jadi lengkap. Sekarang karena nggak ada izin ya susah dapat skenarionya, kadang dikasih kadang nggak. Salah sekali sebenarnya penulis skenario nggak menyerahkan karena di sini kan diabadikan karyanya. Tapi ya itu, kesadaran untuk mengabadikan itu kurang,” tambah dia.
Namun sayang usaha Misbach tak dilanjutkan. Setelah dia berhenti mengurus Sinematek pada 2001, koleksi lembaga pengarsipan film pertama dan terbesar di Asia Tenggara itu tak banyak bertambah. Usaha penambahan koleksi hampir tak ada.
Karir Penulisan
Selain menulis cerita/skenario film, Misbach juga aktif di dunia jurnalistik. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Minggu Abadi (1958-1959), Purnama (1962-1963), dan Redaktur Duta Masjarakat (1965-1966), Abad Muslimin (1966), Gelanggang (1967).
Karya-karya sastranya antara lain berjudul Bung Besar (Drama, 1958, menerima Hadiah Kedua Sayembara Penulisan Naskah Drama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun yang sama), Setengah Djam Mendjelang Maut (Drama, 1968), Menjusuri Djedjak Berdarah (Novel, 1969), Keajaiban di Pasar Senen (Kumpulan Cerpen, 1971), Oh, Film (Kumpulan Cerpen, 1973). Kedua kumpulan cerpen ini disatukan di bawah judul Keajaiban di Pasar Senen dan dicetak ulang pada tahun 1996.
Selain berpengetahuan luas, Misbach juga banyak menulis buku tentang perfilman. Misbach meluncurkan buku berjudul “Teknik Menulis Skenario Film Cerita” pada 30 Januari 2007.
Menurut A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II, Jakarta, (1989), Misbach adalah penulis cerita pendek dari gaya yang sudah dikenal di Indonesia sejak zaman Suman Hs., tetapi ia memadukannya dengan pendekatan modern yang melimpah dengan kejenakaan.
Penghargaan
Pada tahun 1993 Misbach menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI.
Di usianya yang mencapai 78 tahun, Misbach yang mendapat penghargaan khusus dari Forum Film Bandung atas dedikasi dan kontribusinya di dunia film, masih terus berkarya melalui skenario yang ditulisnya. Baginya, film adalah alat utama perjuangannya, sebagai media ekspresi kesenian dan intelektual. Yang paling penting menurutnya, film adalah alat dakwah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, khususnya kualitas bangsa Indonesia.
Pada tahun 2010, Misbach meraih penghargaan status Fellows dari Asosiasi Arsip Audiovisual Asia Tenggara-Pasifik (Southeast Asia-Pacific Audiovisual Archive Association, SEAPAVAA) di Bangkok, Thailand. Program penghargaan SEAPAVAA ini ditujukan sebagai bentuk pengakuan bagi para individu luar biasa atas kontribusi sangat penting melalui berbagai cara di bidang arsip audiovisual, dan atas kepemimpinan mereka dalam komunitas profesional pengarsipan. Namun khusus untuk Misbach, SEAPAVAA menyatakan bahwa sosoknya merupakan inspirasi bagi komunitas arsip film di Asia dan Pasifik. Pendiri Sinematek Indonesia ini adalah orang pertama yang menerima Lifetime Achievement Award SEAPAVAA pada tahun 1997. (Ink/Red)