Oleh: Habibah Auni, Mahasiswa S1 Program Studi Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada
Wabah corona, mendengar namanya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Memikirkannya saja membuat angin yang mulanya ramah, tiba-tiba menjadi angin dingin yang begitu mencekam tubuh. Pergantian saban hari, lantas membawa kekhawatiran, rasa was-was, hingga ketakutan berlebih. Selanjutnya terlintas dalam benak, “Apakah besok diriku akan baik-baik saja?”.
Tiap kepala mencoba menenangkan diri, menarik nafas dalam-dalam, hingga mengeluarkan sekuat-kuatnya. Sembari berpikir bahwa ini bakal baik-baik saja dan semua akan berlalu. Cukup mengikuti himbauan social distancing atau tidak keluar rumah dan kurang-kurangi bertemu orang, niscaya pasti aman. Pemikiran positif tersebut tidak berlangsung lama sampai terdengar kabar mengenai eskalasi pandemi corona di negeri ini.
Berdasarkan lansiran dari juru bicara pemerintah untuk penanganan corona Achmad Yulianto, hingga Rabu (18/03) terdapat 227 terinfeksi corona dan 9 orang meninggal. Jumlah ini terus meningkat hingga Minggu (22/03), menjadi 514 kasus positif corona dan 48 orang meninggal. Bersamaan dengan itu pula, Indonesia memiliki fatality rate sebesar 11,53%, nilai yang melampaui fatality rate global sebesar 3,4%. Laju pertumbuhan kasus corona ini pun jauh lebih cepat dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Kehadiran corona di tanah air, ibarat tumor yang siap untuk menyerang atau bahkan melumpuhkan segala anggota tubuh negara. Ia berubah menjadi bencana besar yang siap mencekeram siapa pun tanpa memandang bulu mata. Tentu saja, masyarakat merespon fenomena ini dengan marah dan menyalahkan pemimpin mereka. “Kok bisa-bisanya membiarkan tumor masuk ke dalam tubuh,” begitu pemikiran kolektif masyarakat yang terguncang.
Wajar jika melihat segenap masyarakat emosi akan hal ini. Mari menengok dan mengingat kembali, bagaimana euforia masyarakat atas polemik corona. Dari yang awalnya merasa aman, lantaran sudah ditenangkan oleh pihak otoritas. Berlanjut kepada keragu-keraguan masyarakat Indonesia dan dunia, yang diperkuat oleh peringatan WHO ke Indonesia. Hingga pada titik dimana kepercayaan mulai retak, karena wabah corona mulai menggurita di dalam negeri. Rasanya seperti roller coaster, emosi begitu diuji terus-terusan. Berhimpun perasaan kesal dikarenakan sudah kadung dininabobokan dari lama.
Lantas bagaimana jika emosi masyarakat atas kasus corona terus didengungkan? Diamplifikasi oleh pihak tertentu? Tentu saja emosi masyarakat akan selalu dipermainkan. Emosi yang hakikatnya milik seorang warga negara sebagai individu, menjadi alat yang dipermainkan orang lain. Sudah terperosok ke dalam lumpur, malah jatuh makin dalam lagi. Sungguh ironis.
Oleh buzzer politik masyarakat dibuai. Seorang yang disewa jasanya oleh aktor politik untuk memenangkan panggung politik. Lebih detailnya, mari kita menengok ke sebuah penelitian yang bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media karya Samantha Bradshaw dan Philip Howard. Di situ telah dijelaskan bahwa pemerintah dan parpol di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politik dan memecah belah publik dengan menyebarkan informasi.
Selanjutnya, disebutkan bahwa 87% negara menggunakan akun manusia, 80% memakai akun bot, 11% akun cyborg, dan 7% menggunakan akun yang diretas. Dan umumnya, buzzer memanfaatkan kekuatan tagar untuk memilah-milah topik di twitter. Setelahnya membentuk opini publik menaikkan jumlah tweet dari tagar yang dikampanyekan.
Dilanjutkan dengan mempolarisasi informasi sehingga publik memandang kebenaran hanya sebatas hitam dan putih. Doxa namanya, yang menurut Sandang (2013) adalah dunia keseharian, dalam hal ini diasumsikan sebagai ruang twitter, diterima begitu saja kebenarannya tanpa ada refleksi mengenai hakikatnya. Pada titik ekstremnya, akan membuat para penganut kebenaran atas “informasi twitter” menjadi pendukung fanatik yang buta, yang bisa saja membuat antar kubu saling berselisih.
Realitanya, fenomena buzzer memang terjadi di Indonesia. Ruang twitter dijadikan ajang untuk saling menyalahkan kubu. Melontarkan untuk memakzulkan salah satu kandidat politik. Menjagokan siapa aktor politik yang maha baik. Polemik corona seolah diturunkan derajatnya menjadi batu loncatan untuk jenjang karir politik berikutnya. Atau minimal mempertahankan tampuk kekuasaan. Padahal, momen bencana ini seharusnya dijadikan momen untuk berkonsolidasi atas nama kemanusiaan.
Mungkin mereka lupa, bahwa teknologi yang menjadi penunjang twitter merupakan dambaan para kaum teknofilia. Sekelompok orang yang mengamini teknologi sebagai obat mujarab atas permasalahan manusia. Sebagai alat yang memanusiakan manusia, atau kata Marcel (1962) adalah penjaga integritas, kebersamaan, dan spiritiualitas dari manusia.
Kendati demikian, sedikitnya fenomena buzzer atas kasus corona meningatkan kita kepada ketidaksesuaian penggunaan teknologi. Kerancuan yang mengantarkan kita ke pemahaman bahwa teknologi belum didemokratisasikan semaksimal mungkin. Yang menurut teori instrumentasi oleh Andrew Feenberg, teknologi seharusnya dikontekstualisasikan ke tengah masyarakat atas pertimbangan etis dan estetis. Bilamana aspek etis dilanggar, sudah barang tentu terdapat proses demokrasi yang dilanggar pula.
Sebab menurut Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Politik (La Politik), hakikat demokrasi sejatinya membuat warga negara untuk saling bekerja sama dalam mewujudkan negara yang paripurna dengan nilai kebaikan. Lebih lanjut, demokrasi seharusnya menghapus sekat di antara lapisan masyarakat sehingga mempermudah ruang diskusi dengan para pemimpin negara. Dengan demikian, opini publik yang terbentuk di antara keduanya akan menjadi nilai kebenaran yang mewakili gagasan masyarakat.
Oleh karena itu, seyogyanya sentimen antar kubu disudahi saja. Redam ego masing-masing dan mencoba memikirkan yang terbaik untuk Indonesia. Alih-alih terus mencekeram publik dengan perbuatan yang percuma, sudah saatnya aktor politik membuka mata dan mendengar jeritan masyarakat. Jadikan wabah corona sebagai “musuh bersama” yang harus segera diatasi, sebab akan tercipta konsolidasi di seluruh Indonesia.
Itu bisa terjadi jika pihak otoritas mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan keluhannya. Kritikan dari mereka jangan lah dianggap sebagai perbuatan menjatuhkan. Jika mereka berucap dengan emosi, cukup dipahami inti sarinya, ambil baiknya dan buang buruknya. Sebab, itu lah prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Maka, atas nama kemanusiaan dan Indonesia, mari kita rawat demokrasi kita sebaik mungkin!
(***)