Oleh : Moch. Nasir SH,
Pegiat Literasi
Dalam beberapa hari ini, ramai pemberitaan soal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terkait dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Cilegon Tahun Anggaran 2023 yang disampaikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon ke BPK, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua BPK RI Perwakilan Provinsi Banten saat penyerahan LHP BPK Kepada Pemkot Cilegon beberapa waktu lalu. BPK telah memutuskan LKPD Kota Cilegon tahun 2023, mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dengan adanya opini WTP, berarti Pemkot Cilegon dalam pengelolaan keuangan daerah telah memenuhi kriteria yakni memenuhi standar akuntansi pemerintah atau dengan kata lain laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan (neraca), hasil usaha atau laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
LKPD merupakan bagian tak terpisahkan dari pertanggungjawaban Walikota Cilegon terhadap pelaksanaan APBD tahun 2023. Hasil dari LHP BPK itulah yang nanti disampaikan kepada DPRD Cilegon berbarengan dengan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2023 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda).
Harus dipahami bersama bahwa, meski dengan adanya opini WTP itu bukan berarti Pemkot Cilegon sudah bebas dari permasalahan sebagaimana telah disampaikan BPK dalam LHP atas LKPD tahun anggaran 2023 yang menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
Pada media online ini memberitakan tentang temuan BPK bahwa 18 proyek jalan tahun 2023 di Kota Cilegon bermasalah. Yakni adanya kekurangan volume pekerjaan, kekurangan tebal jalan, tidak tercapainya densitas aspal dan mutu beton yang terpasang dengan nilai kontrak ditemukan auditor BPK dalam pemeriksaan uji petiknya hingga berujung pada adanya temuan kelebihan pembayaran yang mengakibatkan kerugian keuangan daerah senilai total Rp967,9 juta atau mencapai Rp1 miliar.
Adanya temuan seperti di atas, satu sisi cukup memberikan nuansa keprihatinan lantaran ada kerugian keuangan daerah meskipun dalam rekomendasinya harus diselesaikan dalam 60 hari. Artinya pihak OPD harus mengembalikan kerugian keuangan daerah itu ke Kas Daerah.
Jika dilihat dari aspek pelaksanaan pembangunan khususnya dalam bidang infrastruktur, pada sisi yang lain memberikan bukti bahwa proses pengawasan pembangunan masih lemah padahal di situ ada perusahaan jasa konsultan yang bertanggung jawab agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan.
Namun persoalan menjadi ruwet lantaran tidak semua konsultan mengawasi secara simultan terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan, bahkan ada indikasi perusahaan konsultan dalam pengawasannya menyerahkan kepada orang tertentu sehingga dalam praktiknya bisa kongkalikong dengan pelaksana proyek dalam rangka memberikan pekerjaan untuk ikut menjadi subkontraktor.
Kinerja konsultan seperti di atas ditemukan juga dalam LHP BPK. Diakui oleh Kepala BPK RI Perwakilan Banten, Dede Sukarjo bahwa dalam pelaksanaan pembangunan APBD tahun 2023 tedapat 35 personel yang di satu sisi tidak boleh mengerjakan kegiatan yang sama sehingga pengawasannya tidak maksimal. Dan ada personel yang tidak melakukan pengawasan seperti yang diatur dalam Undang-undang.
Temuan BPK terhadap proyek infrastruktur di Kota Cilegon bukan hanya sekali ini saja. Dalam pelaksanaan APBD Tahun 2022 lalu terdapat temuan 17 paket proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) yang tidak sesuai dengan spesifikasi sehingga harus mengembalikan anggaran sebesar Rp1,2 miliar. Pengembalian anggaran ke Kas Daerah ini tentu saja tanggung jawab OPD terkait meskipun dalam pelaksanaannya pihak OPD-pun membebankan kepada pihak pelaksana atas kelebihan pembayaran yang diterimanya.
Dalam konteks pelaksanaan APBD 2023, pengembalian anggaran yang berpotensi merugikan keuangan daerah hampir Rp1 miliar sebagaimana disebutkan dalam LHP BPK yakni akibat adanya kekurangan volume pekerjaan, kekurangan tebal jalan, tidak tercapainya densitas aspal dan mutu beton yang terpasang dengan nilai kontrak.
Jika dari tahun ke tahun, proyek infrastruktur selalu saja ada temuan BPK terkait kualitas pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak, maka perlu dipertanyakan sebabnya mengapa pelaksana proyek melakukan itu, apakah saat proses tender ada sesuatu yang yang tidak wajar seperti pungutan tak resmi oleh pejabat tertentu. Jika jawabannya ada maka menjadi “wajar” — yang sebetulnya tak diperbolehkan –, pelaksana pekerjaan mengurangi kualitas pekerjaan untuk menutupi pengeluaran atau pungutan yang tak resmi tersebut. Namun jika tidak, maka wajar pula pihak pemerintah memberikan warning termasuk sanksi terhadap pelaksana proyek.
Lepas dari semua itu, ini adalah bukti bahwa kinerja Pemkot Cilegon dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur terkesan amburadul dan pengawasannya masih lemah. Namun demikian kita berharap pemerintah daerah atau Pemkot Cilegon bisa menyelesaikan dengan baik sesuai rekomendasi BPK yakni mengembalikan kelebihan bayar itu ke Kas Daerah dalam waktu 60 hari terhitung sejak penyerahan LHP BPK atas LKPD Pemkot Cilegon Tahun anggaran 2023 agar tidak menjadi permasalahan hukum yakni adanya kerugian negara.
Temuan lain dalam LHP BPK atas LKPD tahun anggaran 2023 Pemkot Cilegon adalah soal Pengelolaan Aset Daerah. Disebutkan bahwa ada 62 unit kendaraan yang dipakai pihak lain tapi perjanjiannya sudah habis. Ada juga 40 lebih kendaraan yang tidak diketahui keberadaannya. Terhadap temuan ini, terasa aneh tersebab tahun sebelumnya (LKPD Tahun 2022) juga ditemukan persolan yang sama. Lebih aneh lagi ketika Walikota Cilegon Helldy Agustian menanggapinya dengan mengatakan bahwa hal yang menjadi temuan oleh BPK RI tersebut itu tidak menjadi masalah berarti bagi Pemkot Cilegon, (BantenNews.co.id).
Anehnya dimana?, seharusnya jika temuan LKPD tahun anggaran 2022 lalu sudah dibereskan, tidak mungkin tahun ini ditemukan hal yang sama. Jika terhadap 62 unit kendaraan yang dipakai pihak lain tapi perjanjiannya sudah habis, bisa jadi memang ini hanya persoalan administrasi. Namun terhadap 40 lebih kendaraan yang tidak diketahui keberadaannya, bukan lagi persoalan administrasi, tetapi sudah raib alias sudah tidak ada. Raibnya kendaraan itu kemungkinannya sudah terjadi di tahun anggaran sebelum tahun 2023, sebab LHP BPK atas LKPD tahun 2022 lalu, BPK juga menemukan hal yang sama.
Jika betul demikian, tak ada kata lain bahwa sesungguhnya dalam pengelolaan aset daerah Pemkot Cilegon khususnya mengenai kendaraan dinas masih amburadul.
Yang jadi pertanyaan adalah, bukankah LHP BPK atas LKPD Pemkot Cilegon tahun 2022 direkomendasikan agar diselesaikan sesuai dengan aturan perundang-undangan. Rasionya, jika tahun 2023 muncul kembali temuan yang sama, berarti rekomendasi BPK dalam LHP tahun 2022 tidak diselesaikan. Kok bisa?.
Catatan : Tulisan ini bersumber dari pemberitaan media massa.