Oleh : Moch. Nasir SH,
Pegiat Literasi
Cilegon memang menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun, bukan hanya bagi penduduk Cilegon, orang dari luar pun banyak yang datang ke Cilegon untuk mengadu nasib, mencari pekerjaan sebagai tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi.
Ketika ada perhelatan Pilkada Cilegon tahun 2020 lalu, masalah ketenagakerjaan ini ditangkap oleh pasangan Helldy Agustian-Sanuji Pentamerta sebagai salah satu janji kampanye, yakni janji 25.000 Penyerapan Tenaga Kerja.
Bisa jadi masyarakat tergiur dengan janji itu dan tertarik untuk memilih pasangan Helldy-Sanuji. Warga Cilegon mempunyai persepsi bahwa warga yang belum bekerja bisa terserap (dipekerjakan) dalam berbagai sektor lapangan kerja. Alhasil, Helldy-Sanuji pun terpilih sebagai pasangan Walikota dan Wakil Walikota untuk periode 2021-2026 meskipun dalam pelaksanaannya diamputasi oleh aturan Pilkada serentak sehingga Jabatan Walikota hanya sampai 2024.
Janji adalah utang, begitu kata pepatah. Dalam kontek pelaksanaan pemerintahan, janji itu masuk dalam RPJMD sebagai bentuk program yang harus dilaksanakan. Adapun nama programnya yakni Program Kartu Cilegon Sejahtera (KCS) yang salah satunya adalah Penyerapan Tenaga Kerja. Program KCS itu kemudian ditindaklanjuti dengan adanya Peraturan Walikota (Perwal) Cilegon Nomor 11 Tahun 2021. Dalam Perwal ini, Penyerapan Tenaga Kerja diimplementasikan dalam bentuk Pelatihan Kerja dan Pemagangan.
Menurut saya, hal ini merupakan sebuah bentuk penyimpangan dari konsep penyerapan tenaga kerja itu sendiri, sebab pengertian penyerapan tenaga kerja secara umum adalah seberapa banyak dari jumlah penduduk bisa terserap sebagai tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi. Jadi, jika Walikota Cilegon punya program Penyerapan Tenaga Kerja 25.000 orang, berarti akan ada 25.000 warga Cilegon yang terserap di berbagai lapangan kerja, atau dalam bahasa sehari-hari, akan ada 25.000 orang yang mendapatkan pekerjaan alias masuk bekerja atas upaya Walikota Cilegon melalui program itu.
Perubahan bentuk dalam mengimplementasikan Penyerapan Tenaga Kerja menjadi Pelatihan Kerja dan Pemagangan merupakan salah kaprah dan sesuatu yang aneh. Pelatihan kerja merupakan suatu proses edukatif dalam rangka mempersiapkan calon tenaga kerja, bahkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pelatihan kerja termasuk pendidikan Non Formal. Jika programnya menunjukkan kuantitas (25.000 penyerapan tenaga kerja), maka pertanyaannya adalah sudah seberapa banyak penduduk Cilegon yang sudah terserap sebagai tenaga kerja atas usaha Pemerintah Kota Cilegon?. Jikapun Penyerapan Tenaga Kerja diubah bentuk menjadi pelatihan dan pemagangan, berarti akan ada 25.000 orang yang akan dididik pelatihan kerja atau magang.
Jika dibagi rata-rata per tahun anggaran (APBD), maka bisa diasumsikan bahwa Pemkot akan melaksanakan pelatihan atau pemagangan terhadap rata-rata 7.142 orang per tahun lantaran jabatan Walikota hanya 3,5 tahun karena aturan Pilkada Serentak. Dalam kenyataannya, hingga saat ini masih banyak elemen masyarakat yang mempertanyakan janji itu dengan berbagai ekspresi. Ada yang mengadakan aksi demonstrasi, ada pula yang membuat pernyataan melalui media, ada yang “ngegrudel” saat ngobrol di warung kopi dan lainnya.
Di antara elemen masyarakat ormas yang giat menyuarakan masalah ini adalah Persatuan Masyarakat Asli Gusuran (PMAG). PMAG giat mengkampanyekan soal “Darurat Pengangguran”, bahkan PMAG membuat gebrakan nyata yakni menghimpun para pelamar kerja untuk dikoordinasikan dengan pihak industri agar diterima menjadi tenaga kerja. Yang dapat kita tangkap dari gejolak di atas adalah, penyerapan tenaga kerja ternyata masih menjadi problem di kalangan masyarakat Cilegon.
Lantas bagaimana sesungguhnya realisasinya hingga saat ini, apakah sudah ada 7.000 orang yang lulus pelatihan kerja?. Fakta yang ada justru membuktikan bahwa dalam kurun waktu satu tahun kepemimpinan Walikota Helldy Agustian, jangankan 7.000 orang lulus pelatihan, 1.000 orang pun belum tercapai. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang pejabat Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Cilegon dalam sebuah FGD oleh salah satu media massa tahun lalu yang menyatakan bahwa hingga bulan Mei 2022, baru ada 300 orang yang lulus dari pelatihan kerja.
Kemudian data yang lain dari Disnaker sebagaimana disampaikan Plt Kepala Disnaker Panca N Widodo, sampai September 2022, sudah ada 1.800 orang yang terserap sebagai tenaga kerja dengan komposisi berdasarkan penempatan kerja 1.449, sisanya 400 orang magang. Masih menurutnya lagi dalam salah satu pemberitaan, Penyerapan Tenaga Kerja itu dipengaruhi oleh banyaknya proyek konstruksi yang sudah mulai berjalan seperti PLTU 9-10, PT Lotte Chemical Indonesia dan sebagainya. Sayangnya tidak ada data yang menunjukkan, apakah status kerja atas penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.442 orang berdasarkan penempatan kerja tersebut merupakan pekerja atau karyawan tetap di perusahaan, atau sekadar pekerja proyek musiman di perusahaan yang sedang dibangun.
Namun apapun itu, kita dapat menerjemahkan bahwa penyerapan tenaga kerja selama kurun waktu 2 tahun sebagaimana diuraikan di atas sebagai berikut. Berdasarkan data yang ada, jika diambil rata-rata per tahun, dalam satu tahun hanya terserap sebanyak 900 orang dari yang seharusnya 7.000 orang, itupun masih termasuk pemagangan. Dengan kata lain, asumsi Pemkot Cilegon yang akan menuntaskan 25.000 penyerapan atau pelatihan tenaga kerja tersebut, maka membutuhkan waktu kepemimpinan selama 27 tahun, padahal Helldy Agustian menyatakan jika dalam waktu 3 tahun tidak terealisasi, maka siap mundur.
Jika kita melihat realitas di atas, rasanya tak mungkin dalam rentang waktu hingga tahun 2024 akan terlaksana atau terealisasi 25.000 Penyerapan Tenaga Kerja sebagaimana yang sudah diprogramkan atau dijanjikan. Hal mustahil bisa dilakukan dengan sisa waktu periode kepemimpinan Helldy Agustian yang hanya sampai tahun 2024.
Lantas apakah Walikota dan Wakil Walikota akan mundur jika tidak bisa terealisasi dalam kurun waktu 3 tahun seperti yang dijanjikan?. Saya yakin seyakin-yakinnya, tak akan ada keberanian untuk itu karena masih bisa beralibi dengan sejuta alasan. (*)