Oleh : Ikhlas Rahmatika Zulfa S.Pd, Anggota Forum Lingkar Studi Perempuan
Kamis tanggal 20 Agustus 2020 bertepatan dengan 2 Muharram 1442 Hijriah merupakan waktu yang telah terjadwal bagi penayangan film dokumenter Jejak Khilafah Di Nusantara (JKDN). Sebuah film karya anak negeri yang menampilkan rekam jejak sejarah mengenai hubungan Khilafah sebagai kekuasaan Islam pada masa itu dengan berbagai kerajaan Islam di Nusantara.
Berdurasi selama dua jam, film ini telah berhasil menyedot sebanyak kurang lebih 250 ribu penonton yang sebelumnya telah memesan tiket. Dalam awal scene dijelaskan bahwa film ini adalah visualisasi dari riset sejarah yang dilakukan oleh Nicko Pandawa sang script writter, yang menuangkan penelitiannya selama menjalani pendidikan akademis. Bahkan, hasil risetnya diklaim dapat dipertanggungjawabkan, baik secara akademik maupun ilmiah.
Film dokumenter ini menayangkan visualisasi sejarah Islam di Nusantara dengan cara yang apik. Jika selama ini ada yang berpendapat bahwa mempelajari sejarah menjadi sesuatu yang membosankan, maka melalui film ini kita diajak mencerna sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan.
Menyelami setiap manuskrip sejarah, dan disuguhi dengan berbagai bukti peninggalannya. Narasi yang menggugah serta aransemen yang mendukung seolah menggiring penonton untuk larut dalam berbagai peristiwa sejarah yang saling berkaitan.
Sumber otentik penggalian sejarah yang ditampilkan berupa pustaka dan juga peninggalannya, kembali dikuatkan dengan pernyataan beberapa ahli sejarah Islam yang bersedia diwawancarai dan memberikan semacam penguatan terhadap film tersebut.
Secara konten, film ini menyingkap jejak Islam di Nusantara yang ternyata sangat berkaitan dengan kekuasaan Islam pada masa silam. Sebagai agama terbesar di dunia, tak ada yang memungkiri bahwasanya Islam pernah berjasa dalam membangun peradaban dunia. Selama kurang lebih 13 abad lamanya kekuasaan islam menyebar hingga 2/3 dunia. Adalah Andalusia, wilayah ujung Eropa hingga Nusantara menjadi wilayah persebaran kekuasaan Islam saat itu. Bahkan, di Nusantara sendiri, Islam menjadi bagian dari bentukan sejarah yang memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini hingga berhasil meraih kemerdekaan.
Namun siapa dinyana, film yang memberikan wawasan dan juga khazanah keilmuan ini mendapatkan banned dari beberapa pihak yang menganggap adanya penggiringan opini kepada ide ide yang akan menjadikan perpecahan di NKRI. Tak hanya sekali dua kali, banned dilakukan bahkan hingga empat kali , selama jadwal pemutaran film tersebut. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar bagi negeri yang selama ini meneriakkan demokrasi.
Gaung demokrasi yang menjanjikan kebebasan berpendapat, serta menampung aspirasi semua golongan akan diragukan saat banned secara sepihak dilakukan. Padahal sejatinya, film JKDN ini memuat secara objektif rekonstruksi peristiwa sejarah yang saling berkaitan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kondisi yang jauh berbeda, saat film bertema kebebasan dan pornografi tidak mengalami pemblokiran. Padahal sejatinya pornografi adalah yang akan merusak generasi. Polemik seputar demokrasi pun makin meruncing, saat penguasa cenderung “berat sebelah”. Ada semacam antipati terhadap hal hal berbau Islam, namun sangat “welcome” kepada hal hal berbau barat. Respon demokrasi pun terlihat jelas saat pelecehan terhadap Islam dan Rasulullah SAW. Terbukti dari sekian banyak pelecehan terhadap Islam yang terjadi, hanya sebagian kecil yang mendapat tindakan hukum. Sebaliknya, klaim melecehkan akan sangat mudah ditindak jika terkait penguasa dan pengusaha.
Pertanyaan besar mengenai demokrasi sejatinya bisa terjawab dengan mudah saat kita menilik asal mula lahirnya demokrasi. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, demokrasi lahir dari rahim sistem sekuler. Kompromisasi ajaran agama dan kehidupan telah membidani lahirnya ajaran ini. Adalah montesqiue seorang pemikir asal Perancis yang mencetuskan sistem ini sebagai alternatif bagi terlaksananya sebuah pemerintahan yang bebas dari kungkungan agama (gereja) pada abad ke 18 Masehi.
Latar belakang tersebut mewajarkan perlakuan demokrasi yang cenderung tak memihak kepada islam dan kaum muslimin. Situasi ini akan terus terpelihara selama kapitalisme sekuler -sebagai-naungan demokrasi diterapkan dalam kehidupan. Tentunya sebagai umat islam, ini menjadi preseden yang kurang baik, karena perlahan namun pasti demokrasi akan mengebiri satu persatu ajaran islam di bumi pertiwi.
Begitulah hakikat demokrasi yang menjauhkan umat islam dari ajaran agamanya. Hal tersebut merupakan kesalahan fatal yang dapat menjadikan umat islam mengalami kemunduran. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits berbunyi:
Sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu dua perkara, salah satunya adalah Kitabullah (Al-Qur’an) yang merupakan tali Allah ‘Azza wa Jalla. Barang siapa yang mengikutinya maka ia berada di atas hidayah dan barang siapa yang meninggalkannya berarti ia dalam kesesatan (kemunduran).” (HR. Muslim)
(***)