Oleh : Eka Ugi Sutikno I Ketua Kubah Budaya dan menjadi anggota Kabe Gulbleg. Mengajar di FKIP Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Tangerang.
Di artikel kuliner yang berjudul ‘Asal-usul Nama Odading, Berawal dari Celetukan Orang Belanda’ (Wijaya, 2020), makanan tidak hanya disajikan sebagai asupan saja melainkan terdapat asal-usul mengapa nama itu melekat. Dengan begitu, jurnalisme kuliner tidak hanya membicarakan soal rasa saja, akan tetapi ia juga membicarakan mengenai sejarah. Ditambah lagi, hal ini memiliki konteks kiwari yang viral media sosial, khususnya di akhir bulan September 2020. Sehingga makanan ini patut untuk diberitakan kepada masyarakat. Di dalam tulisan ini saya akan membicarakan mengenai bagaimana menulis berita kuliner atas apa yang saya baca dan tonton.
Artikel bertajuk “Asal-usul Nama Odading, Berawal dari Celetukan Orang Belanda” karya Yana Gabriella Wijaya dalam Kompas.com menyebutkan bahwa Odading adalah roti goreng dari Bandung berbentuk kotak menggelembung.
Roti goreng ini menjadi viral beberapa waktu belakangan. Berawal dari video seorang penjual odading yang menjajakan roti gorengnya dengan cara tak biasa.
Selain rasanya dan teksturnya yang unik, sejarah dan adal usul nama odading juga tak kalah menarik.
Asal-usul nama odading tertera dalam buku “9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing” (2003) karya Alif Danya Munsyi yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.
Dahulu ada kue goreng tak bernama yang terbuat dari adonan terigu campur gula. Suatu ketika seorang anak kecil Belanda merengek kepada ibunya minta dibelikan kue tak bernama itu.
Rengekan sang anak membuat ibunya penasaran dengan bentuk kudapan itu. Kemudian ia panggil seorang ujang penjual kue.
Orang Belanda itu menyuruh si penjual kue keliling untuk membuka daun pisang penutup kue di nyiru. Begitu melihat roti goreng itu, sang ibu berkata dengan heran, “O, dat ding?” yang artinya “O, benda itu?”.
Terdengar lucu dan unik, si penjual kue akhirnya menceritakan kepada ibu dan orang-orang di kampungnya. Ia mengatakan bahwa kue tak bernama itu disebut odading.
Kata yang spontan dari orang Belanda itu akhirnya membuat roti goreng ini disebut odading hingga sekarang.
Oleh masyarakat Sunda, nama odading dianggap enak untuk didengar dan sedikit lucu. Sehingga, nama odading terus dipakai oleh para pedagang kue jenis tersebut.
Seperti apa rasa odading?
Executive Chef GH Universal Hotel Bandung sekaligus Ketua Indonesian Chef Association Jawa Barat, Anton Kuswendi menjelaskan bahwa odading memiliki tekstur yang lembut di dalam dan garing di luar.
“Odading ini adonannya memang seperti roti, tapi orang sering kali memasukkan baking soda ke dalamnya supaya teksturnya ada seratnya dan bagian dalamnya sedikit lembab,” papar Anton dilansir dari Kompas.com, pada Selasa (15/9/2020).
Odading memiliki tekstur empuk dan rasa yang sedikit manis. Kudapan ini biasanya disantap dengan teh manis hangat untuk camilan di sore hari.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ada jajanan yang nyaris sama persis bentuknya. Namanya bolang-baling, tekstur dan bentuk rotinya sama persis.
Namun yang membedakan adalah taburan. Terdapat wijen dan gula pada permukaan bolang-baling. Sehingga teksturnya lebih garing dan renyah berkat gula pasir yang telah digoreng garing (Wijaya, 2020).
Dengan membaca artikel di atas, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan oleh penulis kuliner, yakni asal-usul, makanan itu sendiri, dan makanan di Jawa Timur yang mirip odading. Senada dengan Nurmalia bahwa untuk menulis makanan adalah dengan 1) menulis tentang makanan itu sendiri dan 2) cerita di baliknya (Nurmalia, 2020). Dengan gaya seperti ini, tidak hanya menambah wawasan pembaca, tulisan pun akan menjadi fokus.
Menulis Tentang Makanan Itu Sendiri
Di bagian ini penulis kuliner harus membicarakan mengenai rasa, aroma, tekstur, dan bahan. Siniauer menambahkan bahwa kata-kata untuk mendeskripsikan – bukan hanya rasanya – melainkan seluruh perasaan yang jurnalis dapatkan dari suatu hidangan atau bahan. Tentunya hal ini meliputi the texture of it, the looks, the smell and the emotion (Siniauer, 2015, 2016). Keempat hal ini memang menjadi hal dasar untuk membicarakan mengenai kuliner dan tampak profesional. Ketika berada di ranah rasa, terdapat hal utama yaitu manis (untuk gudeg Yogya), pahit (untuk jamu sambiloto), asin (untuk ikan asin), dan pedas (untuk seblak). Artikel di atas pun memiliki konten rasa bahwa odading memiliki ‘rasa yang sedikit manis’. Apabila beberapa sudah sensitif, maka tingkatan selanjutnya adalah dengan membedakan rasa seperti rasa nasi Padang yang ada di Padang dan nasi Padang yang ada di Jawa Tengah. Masyarakat Jawa Tengah tidak suka dengan makanan pedas seperti halnya rakyat Minang. Dan yang terjadi adalah masakan Padang yang terlampau berminyak dan sedikit pedas.
Setelah mencicipi makanan, indera penciuman memiliki peran seperti menghirup aroma rempah yang terkandung setelah komposisi makanan dicampur. Tampaknya artikel di atas tidak memiliki contoh untuk mengenal aroma. Nurmalia memberikan rujukan bahwa aroma merupakan segala sesuatu yang terhirup oleh hidung. Ketika jurnalis menyicip untuk mengenal rasa makanan, sebaiknya ia juga melakukan penciuman terhadap aroma bahan makanan tersebut (Nurmalia, 2020). Dengan demikian, penulis akan membutuhkan bahan buku mengenai jurnalisme kuliner atau food journalism.
Kemudian merasakan bagaimana tektur dari makanan ketika mengunyah. Tentunya ini berdasarkan atas tingkat kepadatan makanan. Sehingga penulis ini akan mulai menilai apakah makanan ini renyah, empuk, lembut, padat, atau encer. Odading di atas memiliki tekstur yang ‘lembut’ dan ‘empuk’. Maka, apabila melihat dari bentuk dan teksturnya, ini akan mengingatkan pembaca kepada bantal. Dan yang terakhir adalah bahan. Artikel di atas memperlihatkan adanya bahan-bahan yang mirip dengan roti dan campuran baking soda.
Cerita di Balik Makanan
Bagaimana penulis mengetahui cerita di balik makanan? Tentunya, ia harus melakukan riset, wawancara, dan observasi. Ketiga hal ini membutuhkan kerja yang konsisten, karena riset di sini dapat dilakukan melalui studi pustaka hingga mengunjungi museum. Artikel di atas riset yang dilakukan melalui studi pustaka, yakni dengan membaca buku “9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing” (2003) karya Alif Danya Munsyi (Munsyi, 2003) nama samaran Remy Sylado. Tidak hanya itu penulis menonton video viral mengenai odading di media sosial.
Kemudian wawancara yang dilakukan adalah dengan melakukan berdiskusi bersama narasumber ahli. Ia Anton Kuswendi yang kebetulan menjadi Executive Chef GH Universal Hotel Bandung sekaligus Ketua Indonesian Chef Association Jawa Barat. Ini memperlihatkan bahwa menulis jurnalisme kuliner tidak semerta-merta soal remeh temeh, melainkan harus melakukan interviu dengan ahlinya. Yang terakhir adalah observasi ke lapangan dengan melihat bagaimana melihat perkembangan odading itu viral di dunia maya.
Daftar Pustaka
– Munsyi, A. D. (2003). 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Y. Hamiyati (ed.); Pertama). Gramedia.
– https://books.google.co.id/books?id=1wkl03ijMeIC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false
– Nurmalia, E. (2020, September 16). Berita: Menulis Makanan: Tips Storytelling Kuliner ala Tempo. Tempo Institute.
– https://tempo-institute.org/berita/menulis-makanan/
– Siniauer, P. (2015, October 16). How To Be A Food Journalist: Curiosity, Adjectives And Cronuts – European Journalism Observatory – EJO. EJO (European Journalism Observatory).
How To Be A Food Journalist: Curiosity, Adjectives And Cronuts
– Siniauer, P. (2016). Writing About Food A Guide to Good Food Journalism.
– http://www.pauliinasiniauer.com/a-guide-to-food-journalism/
– Wijaya, Y. G. (2020, September 20). Asal-usul Nama Odading, Berawal dari Celetukan Orang Belanda. Kompas.Com.
https://www.kompas.com/food/read/2020/09/20/162635575/asal-usul-nama-odading-berawal-dari-celetukan-orang-belanda?page=all#page2