Beranda Opini Mengukur Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

Mengukur Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

Sayifullah, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Follow WhatsApp Channel BantenNews.co.id untuk Berita Terkini

Oleh : Sayifullah, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Ekonomi yang Resilient dan Kontributor Pertumbuhan

Awal Mei 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia triwulan I-2023. Hasil rilis BPS menyebutkan ekonomi Indonesia tumbuh positif sebesar 5,03 persen (y-o-y). Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2023 tumbuh sedikit lebih tinggi dibanding triwulan I-2022 (5,02 pesen). Di tengah perlambatan ekonomi global, ekonomi Indonesia terlihat resilient dan masih dapat tumbuh dengan baik. PPKM yang telah berakhir dan stabilitas daya beli domestik yang terjaga telah menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I-2023.

Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2023 menurut lapangan usaha terutama bersumber dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor transportasi & pergudangan, dan sektor informasi & komunikasi. Melihat laju pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha, laju pertumbuhan sektor transportasi & pergudangan, sektor akomodasi & makanan minuman dan sektor jasa lainnya adalah tiga lapangan usaha dengan laju pertumbuhan tertinggi. Laju pertumbuhan yang tinggi pada tiga lapangan usaha tersebut didorong meningkatnya mobilitas dan kunjungan wisatawan serta terselenggaranya agenda nasional dan internasional di dalam negeri. Sektor pertanian dan sektor konstruksi juga tumbuh, tetapi relatif rendah tumbuhnya.

Komponen pengeluaran rumah tangga masih dominan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi menurut pengeluaran agregat. Sementara itu Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terlihat terus menurun mulai triwulan I-2022 (1,33 persen), triwulan IV-2022 (1,09 persen) dan triwulan I-2023 (0,68 persen). Berbeda dengan PMTB, net ekspor Indonesia tumbuh pesat di triwulan I-2023 (2,10 persen) bila dibandingkan dengan triwulan I-2022 (0,07 persen), termasuk bila melihat pertumbuhannya di triwulan IV-2022 (2,17 persen). Hal ini sejalan dengan surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$ 12,19 miliar pada triwulan I-2023, naik lebih tinggi dari triwulan I-2022 (US$ 9,33 miliar).

Baca Juga :  Peningkatan Permintaan Listrik Pascapandemi Harus Diantisipasi

Mengukur Kualitas Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2023 perlu mendapat apresiasi sebab meskipun berada di tengah isu perlambatan ekonomi global dan prediksi pesimistik, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5 persen. Tetapi pencapaian kondisi ekonomi pada satu sisi tentunya perlu juga disandingkan dengan indikator lain sebagai pembanding untuk mengukur kualitas pertumbuhan ekonomi. Indikator lain sebagai pembanding tersebut diantaranya adalah penciptaan lapangan pekerjaan, penurunan ketimpangan distribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan dan peningkatan produktivitas.

Sampai dengan Februari 2023 jumlah angkatan kerja di Indonesia tercatat sebanyak 146,62 juta orang termasuk tambahan angkatan kerja baru sebanyak 2,61 juta orang (Februari 2022-Februari 2023). Selama periode Februari 2022-Februari 2023 terjadi penyerapan tenaga kerja sebanyak 3,02 juta orang. Sementara itu pengangguran berkurang sebanyak 0,41 juta orang dari 8,4 juta orang (Februari 2022) menjadi 7,99 juta orang (Februari 2023).

Keadaan ketenagakerjaan di Indonesia selama pandemi dan post pandemi Covid-19 terlihat mengalami pergeseran, khususnya melihat proporsi pekerja formal dan informal. Proporsi pekerja informal terus meningkat bahkan lebih dari 60 persen di Februari 2023. Sementara itu proporsi pekerja formal terus turun dari 43,36 (Februari 2020) sampai dengan 39,88 persen (Februari 2023). Keadaan ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah penduduk bekerja selama 2020-2023 banyak terserap di sektor informal dibanding sektor formal.

Sektor informal umumnya memiliki karakteristik yaitu jumlah unit usahanya banyak dan berskala kecil dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal. Motivasi pekerja sektor informal umumnya adalah memperoleh pendapatan yang cukup untuk mempertahankan hidup saja.

Distribusi pendapatan berdasarkan ukuran rasio gini pada September-2022 sebesar 0,381. Angka ini lebih rendah dari rasio gini Maret 2022 yakni 0,384. Pada awal masa pandemi Covid-19 (Maret 2020) sampai dengan September 2022, ketimpangan distribusi pendapatan Indonesia relatif rendah. Tetapi bila dilihat secara spasial, ketimpangan distribusi pendapatan di perkotaan terus meningkat (0,402) dibandingkan dengan di perdesaan (0,313).

Baca Juga :  Pemprov Pastikan Inflasi di Banten Masih Terkendali

Jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2022 sebanyak 26,36 juta jiwa, meningkat 0,20 juta jiwa dibanding Maret 2022 (BPS, 16-01-2023). Selama masa pandemi Covid-19 tahun 2020 angka kemiskinan naik signifikan mencapai 27,55 juta jiwa (September 2020) dari sebelumnya sebanyak 24,78 juta jiwa (September 2019). Selama masa pemulihan ekonomi dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang kembali meningkat, angka kemiskinan mulai turun kembali tetapi masih berada di atas sebelum masa pandemi Covid-19.

Pertumbuhan ekonomi yang baik seharusnya dapat menyediakan kecukupan pendapatan bagi masyarakatnya guna kecukupan konsumsi primernya atau konsumsi pangan. Gambaran tentang apakah masyarakat tercukupi atau tidak tercukupi konsumsi pangannya dapat dilihat pada angka Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan. Angka prevalensi ini juga dapat digunakan untuk melihat keadaan kemiskinan berdasarkan konsumsi pangannya yaitu konsumsi untuk memenuhi energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif dan sehat.

Prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Indonesia tahun 2020 sebesar 8,34 persen. Maknanya ada 8,34 persen dari populasi penduduk Indonesia mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan. Angka prevalensi ini meningkat menjadi 8,49 persen pada tahun 2021, bahkan angka ini telah mencapai dua digit yaitu sebesar 10,21 persen pada tahun 2022. Sebelum Pandemi Covid-19, Prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Indonesia adalah sebesar 7,92 persen (2019) dan 7,63 persen (2018).

Produktivitas tenaga kerja Indonesia yang diukur berdasarkan nilai tambah produksi barang dan jasa per tenaga kerja per tahun, angkanya meningkat dalam dua tahun terakhir. Seiring membaiknya kondisi ekonomi dari dampak Covid-19, produktivitas tenaga Indonesia naik dari sebesar 84,85 juta di tahun 2021 menjadi sebesar 86,55 juta pada tahun 2022.

Efisiensi investasi output Indonesia menunjukkan trend kurang menggembirakan sebagaimana terlihat pada angka ICOR Indonesia pada gambar di bawah. Investasi Indonesia semakin tidak efisien sebab diperlukan investasi lebih banyak untuk menghasilkan tingkat ouput tertentu. Selama periode 2012-2022 angka ICOR Indonesia berada di atas 6. Maknanya bahwa untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dibutuhkan tambahan investasi sebesar 6 persen. Persoalan regulasi, ketenagakerjaan dan perizinan adalah sekian dari banyak faktor penyebab belum efisiennya investasi di Indonesia.

Baca Juga :  Melihat China Sebagai Ladang Saham

Pertumbuhan Ekonomi, Necessary Condition Kesejahteraan

Ekonomi Indonesia sekarang telah masuk triwulan II-2023 yang biasanya akan mengalami tren siklikal positif bagi pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi di triwulan sebelumnya diharapkan bisa menjadi modal akselerasi untuk tumbuh lebih tinggi pada tiga triwulan ke depan. Beberapa catatan pembanding penting bagi improvement struktur dan kualitas pertumbuhan ekonomi selanjutnya, sebab pertumbuhan ekonomi adalah necessary condition menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Semoga. (***)

 

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News