SERANG – Wafatnya Azyumardi Azra membawa pilu bagi kalangan muslim Indonesia. Azyumardi merupakan tokoh intelektual sekaligus akademisi yang dihormati di semua kalangan.
Akademisi yang bernaung di UIN Syarif Hidayatullah itu menghembuskan napas terakhirnya di umur 67 tahun di salah satu rumah sakit di Malaysia.
Sumbangsih berharga dari Azra yakni studi keislaman di nusantara yang komprehensif. Ia telah memberi perspektif yang kaya bagi keilmuan dalam studi keislaman.
Pemikiran Azra melengkapi literatur studi keislaman yang selama ini banyak diisi oleh orientalis atau para pelancong Eropa.
Buah pemikirannya yang mendalam dan lengkap mengenai studi keislaman menempatkan Azra dalam posisi intelektual terhormat. Ia kemudian mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris.
Dalam mengenang wafatnya Azyumardi Azra, Pokja Wartawan Kota Serang (PWKS) menggelar refleksi dan tahlil bersama untuk meneladani sosok Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025.
Pembina PWKS, Wahyudin mengaku beruntung karena bersentuhan dengan sosok dan pemikiran Azra. Dalam kacamatanya, Azra dinilai sebagai sosok yang berkharismatik berkat keilmuannya dalam integrasi keislaman.
Rekam jejaknya sebagai wartawan di Panji Masyarakat (Panjimas) asuhan Buya Hamka menjadikan sosok Azra disiplin dalam verifikasi fakta. Tradisi itu menjadi bekal berharga sosok Azra dalam dunia akademisi.
Ia mampu memverifikasi dan mengoreksi secara kritis teori-teori keislaman yang mapan dari Snock Hurgronje maupun Clifford Geertz.
“Dalam bukunya, Azra tidak ragu untuk mengoreksi teori dari penulis seperti Snouck maupun Geertz, terutama ketika menyoal entitas Islam dan tradisi masyarakatnya di nusantara,” kata Wahyudin saat merefleksikan keteladanan Azra, Kamis (22/9/2022).
Dalam karya-karyanya, Azra berpandangan bahwa entitas agama dan tradisi menimbulkan wajah islam yang baru di nusantara, khususnya Melayu Indonesia. Entitas islam tidak lenyap dalam tradisi namun berkelindan dan saling melengkapi. Model dakwah Wali Songo menjadi prototipe dakwah di nusantara.
Di sisi lain, Azra dalam ingatan Wahyudin selalu menjaga jarak dengan kekuasaan. Kritikannya murni untuk pembangunan dan kemajuan Bangsa.
Bahkan saat menjadi Ketua Dewan Pers pun, banyak karya akademik untuk kemajuan jurnalis. Hal itu yang membawa wajah baru dalam pers.
“Pak Azra bisa mengambil jarak objektif tanpa memiliki agenda bargaining dengan kekuasaan. Ini kita bisa belajar selain ketokohannya, integritasnya sudah teruji,” ujarnya.
Ia menerangkan, kehilangan sosok cendekiawan sangat sulit tergantikan, berbeda dengan kehilangan seorang pejabat yang banyak gantinya.
Ia berharap, ada generasi penerus yang dapat menggantikan keintelektualan dari Azyumardi Azra.
“Kalau kata nabi, meninggalnya seorang alim (ilmuwan) merupakan suatu musibah yang besar. Presiden ada gantinya, walikota banyak gantinya, tapi kalau cendekiawan sulit tergantikan,” paparnya.
Di tempat yang sama, Ketua PWKS, Fauzan Dardiri berujar, kegiatan Kamis Mengaji menjadi agenda rutin yang digagas untuk meningkatkan khazanah keilmuan di bidang keagamaan. Ia berharap, doa-doa yang dipanjatkan dapat sampai pada mendiang Azyumardi Azra sebagai bentuk balas jasa atas pengandiannya terhadap negara dan Bangsa.
“Doa ini sebagai bentuk terima kasih kita kepada guru besar Bangsa, semoga pengabdiannya dibalas di surga,” tutupnya.
(Dhe/Red)