SERANG – Sebelum mendirikan usaha atau berinvestasi, para pelaku usaha diwajibkan memahami soal perizinan prinsip yang harus ditempuh. Terdapat empat izin prinsip dipenuhi mulai dari kesesuaian tata ruang atau KKPR, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan dan gedung (PBG) dan persetujuan izin pemerintah atau perizinan usaha.
Salah satu izin prinsip yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) adalah persetujuan lingkungan atau dokumen lingkungan, di mana setiap kegiatan atau usaha yang berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan yang terdiri dari 3 jenis yaitu Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).
Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPLH Pasal 4, serta Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 4 Tahun 2021 tentang kegiatan atau usaha yang wajib AMDAL, UKL-UPL dan SPPL.
Kepala Bidang Perencanaan dan Penataan Lingkungan Hidup pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Serang, Ahmad Subchan mengatakan, sesuai Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 4 Tahun 2021, para pelaku kegiatan atau usaha yg berdampak terhadap lingkungan baik pemerintah maupun pengusaha atau swasta diwajibkan untuk menyusun dokumen lingkungan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh persetujuan lingkungan selanjutnya. Pada peraturan tersebut juga mengatur kewajiban penyusunan jenis dokumen lingkungan yang harus ditempuh oleh pelaku usaha atau pemerintah.
“Jadi mereka jika berkeinginan berusaha atau berinvestasi atau melakukan kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan di wilayah Kabupaten Serang, baik kegiatan pemerintah atau perusahaan perdagangan dan jasa menghasilkan dampak terhadap lingkungan, menghasilkan limbah atau dampak atau perubahan lingkungan ini wajib melakukan pengelolaan lingkungan yang pengkajiannya sesuai dengan ketentuan,” jelas Subchan.
“Sehingga setiap kegiatan atau usaha suatu perusahaan maupun yang dilakukan pemerintah wajib mendapat persetujuan lingkungan. Untuk kewenangannya tergantung, sesuai dengan izin usaha yg berbasis risiko yang ditertibkan oleh sistem otomatis atau OSS dalam ketentuan itu, tertera kewenangan yang akan memproses persetujuan lingkungan baik pemerintah pusat, provinsi atau pemerintah daerah,” tambah Subchan.
AMDAL, UKL-UPL dan SPPL merupakan dokumen mengenai kajian terkait dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan. Dokumen lingkungan ini digunakan sebagai syarat untuk pengambilan keputusan untuk perizinan usaha, atau baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda).
Dokumen jenis AMDAL adalah disusun dan diproses untuk kegiatan yang memiliki dampak risiko lingkungan yang tinggi. Dalam proses penyusunan dan pengkajiannya dilakukan tim pemeriksa AMDAL dengan melibatkan para pakar pada bidang pengelolaan lingkungan seperti di bidang biologi, soseskbud, planologi, kesehatan masyarakat serta lintas sektor OPD yg membidangi kegiatan atau usaha untuk memproses persetujuan lingkungan.
Untuk UKL – UPL diwajibkan untuk skala kegiatan yang menengah dan memiliki dampak risiko yang menengah terhadap lingkungan. Dokumen ini merupakan rangkaian proses pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Selanjutnya dokumen lingkungan SPPL merupakan pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab bisnis untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Untuk jenis atau skala usahanya di luar dari kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL – UPL dengan risiko rendah, biasanya usaha-usaha kecil dan UMKM.
Subchan menjelaskan, setelah perusahaan atau pemerintah menyusun dokumen tersebut, pihaknya akan melakukan prosedural teknis berupa penilaian AMDAL atau pemeriksaan UKL-UPL. Pada prosesnya, DLH Kabupaten Serang akan menggerakan tenaga ahli yang kompeten di bidangnya.
“Prosedural teknis yakni misal perusahaan ingin mendapatkan persetujuan lingkungan tetapi memiliki air limbah atau ada pencemaran emisinya, maka perusahaan harus mendapatkan persetujuan teknis. Persetujuan teknis ini dikaji, apakah emisi yang keluar dari kegiatan perusahaan melampaui ambang batas yang ditentukan pencemarannya atau di bawah baku mutu,” terangnya.
Ia menambahkan selain harus memenuhi dokumen untuk mendapat persetujuan lingkungan, para pelaku usaha juga diwajibkan melaporkan setiap 6 bulan sekali terkait pengelolaan lingkungannya kepada DLH.
“Kalau sudah buat usaha, mereka harus lapor 6 bulan sekali terkait pengelolaannya. Di DLH juga ada bidang pengawasan, nanti dilihat apakah perusahaan atau instansi itu sesuai dengan janjinya saat membangun atau mereka juga harus laporan sampel-sampel ke laboratorium dan melaporkan hasilnya itu,” tambahnya.
Subchan menyarankan kepada pelaku usaha di Kabupaten Serang yang akan membuat dokumen lingkungan untuk terlebih dahulu berkonsultasi ke DLH. Hal itu agar para pebisnis ketika dalam pelaksanaan usahanya dapat mengetahui potensi-potensi limbah atau dampak risiko dalam kegiatannya.
“Sebelum perusahaan atau pemerintah menyampaikan dokumen lingkungan, kita harapkan mereka menyampaikan atau meminta arahan dari kami. Tujuannya supaya tahu mereka harus menyusun dokumen apa, jenisnya apa dan kewenangannya siapa. Setelah itu baru mereka menyusun dokumen dan diberikan sesuai kewenangan. Ketika pelaksanaan mereka harus paham bahwa ketika mau membuat usaha akan ada potensi limbah nah ini teknologinya jadi dibantu kalau kurang memahami bisa dibantu konsultan. Tinggal bagaimana komitmen pelaku usaha untuk mewujudkan janji atau dokumennya. Ini harus konsisten karena 6 bulan sekali mereka harus laporan,” pungkasnya.
(ADV)