Mempertanyakan Kembali Arti Kemerdekaan
Oleh : Sulaiman Djaya
Sebagai orang yang tidak ikut berperang melawan kolonialisme, saya tentu tidak sungguh-sungguh memahami dan merasakan arti lepas atau terbebas dari moncong senjata, dari ‘penjajahan’. Yang saya tahu sejak sekolah dasar, saya hanya diwajibkan ikut upacara 17 Agustus setiap tahun oleh guru-guru saya. Dikenalkan dengan foto-foto para pahlawan, tentu saja beserta nama-nama mereka. Namun, ketika sewaktu numpang kuliah, saya diperkenalkan istilah freedom oleh filsuf Isaiah Berlin dengan dua bentuknya: freedom from dan freedom for, yang kurang lebih artinya kita bisa merdeka dari penjajahan atau penindasan orang lain, tetapi yang lebih penting kita mestilah sanggup merdeka untuk melakukan apa saja yang dirasa bermanfaat dan memberi kontribusi bagi kemajuan.
Barangkali, dalam hal ini, segala bentuk kondisi dan kebiasaan, yang menghalangi kemajuan, dapat saja disebut sebagai penjajahan dalam arti lain. Misal, korupsi para pejabat dan korporat yang hidup di negeri ini, mereka yang menjual asset Negara demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Kemerdekaan juga tentu tak mesti hanya dimaknai sebatas serebral upacara bendera yang justru akan kehilangan makna dan spiritnya, jika mental bangsa, misalnya, masih mencari proyek dari Amerika sembari mau dijadikan agen proxy war, belum sanggup mengolah sumber daya alamnya sendiri, dan lain-lain dan lain-lain.
Jika, misalnya, meminjam dua bentuk freedom dari filsuf Isaiah Berlin itu: freedom from dan freedom for, perlawanan bersenjata dan diplomatik yang dilakukan para bapak bangsa adalah upaya dan usaha untuk merdeka dari penjajahan dalam rangka freedom for, yaitu merdeka untuk mendirikan Negara Indonesia, maka adalah aneh jika saat ini, misalnya, dan semoga saja tidak terjadi, kualitas pendidikan menurun, bukannya meningkat, daya cipta anak bangsa menurun bukannya meningkat, daya inovasi mandeg bukannya semakin maju, yang subur malah praktik korupsi para pejabat, birokrat, dan korporat, sampai-sampai punya sel mewah di Lapas Sukamiskin. Lalu bagaimana kita memaknai kemerdekaan dalam maknanya yang substansial?
Belum lagi saya merasa prihatin dengan banyaknya agen-agen penbawa ideologi teologi devian yang mengajarkan penghalalan darah dan retorika kekerasan di negeri ini bebas berbicara di mana-mana. Padahal, sebagai contoh, di Iran, sebagai misal saja, untuk bisa berkhutbah atau berceramah, tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah lulus berbagai tahap uji kelayakan sebagai dai. Hasilnya, ceramah-ceramah kebencian yang dilakukan para artis yang baru insaf dan muallaf yang belum tahu soal agama secara mu’tabar, bebar berkeliaran lewat ragam media, bahkan bebas berceramah di tempat-tempat publik seperti alun-alun kota, merongrong identitas nasional, mengharamkan simbol-simbol Negara, dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat disibukkan oleh soal-soal yang menghambat kemajuan dan produktivitas. Atau misalnya negeri ini sempat diramaikan oleh sekian persekusi SARA. Kalau tak salah, persekusi SARA ini marak di era Susilo Bambang Yudhoyono, mulai dari kasus Sampang hingga kasus Cikeusik. Barangkali dalam rangka mengalihkan perhatian agar tak ada kritik atas kinerja pemerintahan SBY yang memiliki banyak kasus, semisal Kasus Century.
Kalau berkaca pada dimensi politik, saya sesungguhnya tak punya kebanggaan pada negeri ini. Suksesi yang menghabiskan dana triliunan hanya untuk memilih para pencuri menjadi pejabat dan wakil rakyat. Banyak orang pura-pura jadi ulama agar jadi public figure dan dapat duit dengan jualan ayat. Mereka yang mengaku pemimpin agama hanya bisa jualan kata ‘sesat’, yang lain berbisnis label ‘halal’, dan lain sebagainya, di mana mereka menjadikan agama sebagai komoditas, bukan sebagai tuntunan dan acuan moral untuk membangun peradaban. Lalu bagaimana saya harus memaknai kemerdekaan untuk Indonesia Raya ini?
Apa sih kemerdekaan itu? Masyarakat dan bangsa yang seperti apa dan yang bagaimana sih yang merdeka itu? Apakah masyarakat yang hanya bisa mengkonsumsi berita-berita hoax, yang birokrasinya korup, yang para figur keagamaannya tidak berbudaya dan tidak bisa menjadi teladan moral, yang kualitas pendidikannya buruk, dan lain sebagainya. Tidakkah kata kemerdekaan itu sesungguhnya hanya layak disematkan bagi masyarakat dan bangsa yang tercerahkan, yang khazanah iman dan agamanya melahirkan keteladanan, sains, dan peradaban, yang sanggup menjadi pemain utama dalam silang peran di kancah politik global? (*)
Penulis adalah penyair dan esais.