Oleh: Ahmad Fedullah,Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Seorang teman kuliah menelpon, mengajak “Bung, ayolah ngopi, stress saya ini, hampir empat minggu di kosan terus”.
Bukan ajakannya yang membuat saya akhirnya tertarik membuat tulisan ini, tapi ekspresi keadaannya. “Stress” suatu kata yang tidak selalu identik dengan “orang gila” di jalanan, tapi juga biasa digunakan untuk menggambarkan perasaan dan pikiran seseorang saat gelisah, jenuh, lelah dan sebagainya.
Perasaan itulah yang saya tangkap dari seorang teman itu. Mungkin bisa jadi perasaan yang juga dirasakan oleh ribuan bahkan jutaan penduduk di Indonesia ditengah masa pandemi virus corona saat ini. Terutama mereka yang sebulan terakhir, atau bahkan sampai beberapa bulan ke depan, kita tidak tahu pasti, masih dipaksa untuk mengisolasi diri.
Merasa gelisah, jenuh, lelah karena tidak bisa bertemu teman, keluarga atau mungkin tunangan, sesuatu hal yang wajar sebagai seorang manusia. Tapi apakah kita harus larut dalam kegelisahan? Pandemi Covid-19 harus kita lawan, salah satunya dengan menengok kembali kegigihan para pendiri bangsa ini ketika mereka diasingkan pada saat penjajahan.
Perjuangan Bung Karno Melawan Penjajah
Kalau kita merasa paling menderita dalam menghadapi virus corona ini, mungkin kita perlu belajar dari kegigihan para tokoh nasional ketika mereka diasingkan. Bung Karno misalnya, karena perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda, ia harus menanggung resiko selama bertahun-tahun disingkan ke berbagai wilayah, dijauhkan dari kaum-kaum revolusioner.
Ende, suatu kota yang terletak di pesisir selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi salah satu tempat di mana sang proklamator diasingkan. Selama empat tahun, tepatnya dari tahun 1934-1938, Bung Karno harus mendekam di pengasingan Ende. Bukan waktu yang sebentar tentu saja, apalagi Ende saat itu dikenal dengan daerah yang sepi dan sunyi.
Meskipun dalam pengasingan, tidak menyurutkan Bung Karno dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan pada saat menyampaikan butir-butir Pancasila dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Bung Karno menyebut Ende sebagai kota yang menginspirasinya. Memang Bung Karno saat diasingkan di Ende sempat mengalami penurunan mental yang parah, tetapi beruntung mempunyai istri sekuat dan setangguh Inggit Garnasih yang memberikan ketenangan, sehingga membuat Bung Karno kembali bangkit.
Selain Ende, Bung Karno juga pernah diasingkan di penjara alam Boven Digoel, Papua yang dibangun oleh Gubernur Jendral De Graeff pada 1927. Lain cerita dengan Ende yang sepi dan sunyi, Digoel dikenal dengan kondisinya yang sangat miris, terpencil, jadi siapapun yang diasingkan ke daerah tersebut akan sulit untuk melarikan diri.
Jalan satu-satunya dan pilihan terbaik untuk bisa kabur hanya Kepulauan Thursday, Australia. Itupun harus harus menempuh jalan sepanjang 500 KM. Belum lagi sungai Digul yang dilaluinya penuh dengan buaya. Kalaupun selamat sampai Australia, di sana sudah ditunggu oleh polisi. Kalau tertangkap, maka akan dikembalikan lagi ke Digul.
Digoel juga dikenal dengan adanya nyamuk malaria yang massif dan mematikan. Oleh karena itu, Digoel menjadi salah satu tempat pengasingan yang paling ditakuti oleh para pejuang saat itu. Sekalipun Digoel yang dikenal dengan nyamuk malarianya, Bung Karno justru terkena penyakit ini saat diasingkan di Ende. Bahkan penyakit itu hampir merenggut nyawa Bung Karno.
Bung Karno juga pernah diasingkan ke Bukit Menumbing, Bangka pada tahun 1949. Dari namanya sudah jelas, tempat pengasingan Bung Karno bukan di tengah kota, tetapi di atas bukit. Tahun lalu saya berkunjung ke tempat ini. Sungguh perjuangan yang luar biasa untuk sampai di rumah yang dijadikan tempat pengasingan Bung Karno dan para pejuang lainnnya tersebut. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bung Karno saat itu.
Meskipun selama bertahun-tahun diasingkan, Bung Karno tetap melewati hari-hari pengasingan tersebut dengan kepala tegak. Fisiknya boleh saja dipenjara, tapi semangat perjuangan melawan penjajah tetap menyala. Berkat kegigihannya, sebuah maha karya yang diimpikannnya, yakni Indonesia merdeka akhirnya bisa dicapai.
Cara Bung Hatta Melawan Kejenuhan
Demikian pula dengan Bung Hatta, atas berbagai alasan yang dituduhkan kepadanya, selama bertahun-tahun ia diasingkan, salah satunya Boven Digoel. Sebagaimana Bung Karno dan para pejuang lainnya, Digoel menjadi tempat pengasingan yang paling ditakuti Bung Hatta. Tetapi selama setahun dalam pengasingannya di sana, Bung Hatta tetap menunjukkan perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda.
Perlawanan Bung Hatta tersebut dibuktikan dengan menolak ketika diajak bekerjasama dengan Belanda. Tahanan politik di Digoel sendiri dibagi dua jenis: mereka yang mau bekerja dengan Belanda (werkwilig) dan yang tidak bersedia (naturalis). Bung Hatta memilih yang kedua. Oleh karena itu, selama dalam pengasingan di Digoel, Bung Hatta hanya mendapat jatah makan pas-pasan dari pemerintah yang berjaga di sana.
Meskipun demikian, tidak berarti Bung Hatta lalu putus asa. Kebiasaan menulisnya tetap dilakukan selama di Digoel. Bahkan hasil bayaran dari tulisannya yang dikirim ke koran Pemandangan di Batavia sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya selama di Digoel.
Rasa jenuh karena tidak bisa kemana-kemana, akibat nyamuk malaria yang selalu mengancam, sudah pasti dirasakan oleh Bung Hatta dan para tahanan politik lainnya. Sebagaimana diceritakan dalam biografinya buku “Indonesia Merdeka: Biografi Politik Bung Hatta” yang ditulis oleh Movis Rose (1991), saat diasingkan di Digoel, Bung Hatta sempat menunjukkan gejala-gejala stress.
Tetapi bukan Bung Hatta namanya kalau rasa jenuh itu dijadikan sebagai akhir dari kisah perjuangannya. Ia selalu mempunyai cara untuk menghadapi situasi tersebut. Selain membaca buku dan menulis, Bung Hatta juga rutin mengajarkan tentang berbagai hal seperti ekonomi, filsafat dan sejarah kepada para tahanan politik di sana.
Melawan Pandemi
Bung Hatta pernah menulis surat kepada sesama temannya di Daulat Ra’jat sesaat setelah ditangkap dan di penjara di Glodok pada 25 Februari 1934. Dalam surat tersebut, Bung Hatta mengatakan “selama saya memiliki buku, saya dapat tinggal di mana saja. Tak seorang pun menyukai penjara, tetapi meskipun jahat, penjara juga bisa menguntungkan. Ia memperkuat keyakinan kita dan membuat kita lebih pasti”.
Perlawanan Bung Karno dan Bung Hatta terhadap penjajah dan kejenuhan saat dalam pengasingan tersebut tentu layak kita jadikan pelajaran saat dalam masa pandemi virus corona saat ini. Kita harus yakin dan optimis, bahwa segala persoalan akan selalu ada akhir ceritanya. Selama cerita itu berlangsung, kita harus membuat kisah di dalamnya, tentu kisah-kisah positif yang dapat menjadikan diri dan bangsa kita jauh lebih baik dari sebelumnya.
Menulis dan membaca buku memang bukan satu-satunya solusi untuk melawan stess saat pandemi virus corona seperti saat ini. Tetapi apa yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tersebut bisa menjadi inspirasi bahwa pikiran positif akan selalu menghasilkan sesuatu yang positif pula. Pada intinya, lakukan apapun itu selagi bisa menghilangkan rasa stress, selama hal itu positif.
(***)