Oleh: Sulaiman Djaya, penyair
Akhir Oktober dan awal November 2023 lalu di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa kampus Sindangsari, saya diminta menjadi pemateri untuk tema dan materi seputar sejarah dan budaya Banten, pada program pertukaran mahasiswa seluruh Indonesia. Dan khusus untuk sejarah Banten, saya tertarik untuk memaparkan secara singkat sejarah maritim Banten dalam konteks sejarah Nusantara dan dunia.
Tentu saja, pertama-tama kita harus mengajukan pertanyaan historis, yaitu: “Sejak kapan dan bagaimana Banten eksis dalam sejarah Nusantara, dan juga Dunia?” Pertanyaan itu terkait dengan tema bahasan yang disodorkan panitia kepada penulis: Asal-usul Banten dalam Sejarah Nusantara. Tema bahasan tersebut tentu saja menurut pandangan penulis cukup luas dan lebar, dan karenanya penulis hanya ingin melihat satu bahasan saja dengan tulisan ini: sejarah maritim Banten dalam konteks Nusantara dan Dunia (Jaringan Asia). Terlebih saat ini isu Jalur Sutra Baru China masih cukup hangat dalam wacana geopolitik bersamaan dengan kebangkitan China dalam politik dan ekonomi global Dunia.
Selain itu, tulisan ini juga mungkin bisa mengisi ‘ruang dan celah’ untuk menepis anggapan umum bahwa maritim Banten seolah-olah hanya baru eksis bersamaan dengan hadirnya Kesultanan Banten, yang mungkin akibat terlampau fokusnya kajian dan penulisan sejarah Banten hanya para era Kesultanan Banten, hingga melupakan pra-Kesultanan Banten, yang belakangan mulai terkuak ‘keberartian’ dan ‘kebermaknaannya’ bagi kemapanan ekonomi maritim Kesultanan Banten itu sendiri, sejak dilakukan penelitian arkeologis dan kesejarahan di Situs Banten Girang oleh para arkeolog dan sejarahwan dari Perancis dan Indonesia pada 90-an silam. Tulisan ini hanya merupakan kajian pustaka yang sekiranya oleh penulis dianggap relevan dengan tema bahasan yang disodorkan panitia.
BANTEN Sebagai Jalur Utama Maritim Asia
Sebagai sebuah geografi atau kawasan, tentu Banten sudah ada sejak era purba Bumi, misalnya era Sundaland. Di Banten ditemukan sejumlah benda-benda dan situs-situs Sebelum Masehi. Adapun untuk mengetahui nama atau sebutan ‘Banten’ itu sendiri sejak kapan, maka dibutuhkan sumber sejarahnya, yang diantaranya berupa sumber tulisan atau dokumentasi, yang menyebutkan atau mencatat sebutan atau nama Banten. Hingga saat ini, catatan atau dokumentasi yang menuliskan atau mencatat nama wilayah atau kawasan yang kini disebut Banten dengan nama dan sebutan Shunt’a adalah catatan-catatan atau dokumentasi-dokumentasi Cina dan Eropa, yang kadang-kadang memaksudkannya khusus untuk sebuah pelabuhan yang ada di Banten dan kadang untuk menyebut kawasan yang memang saat ini disebut Banten.
Dalam catatan dan dokumentasi Cina, yang contohnya dalam buku perjalanan maritim Admiral (Laksamana) Cheng Ho berjudul Ying Ya Sheng Lan bertarikh 1416 Masehi (Lihat: W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa, penerj. Gatot Triwira, Jakarta Komunitas Bambu 2009, h. xix-xx), Banten disebut dan dicatat dengan nama Shunt’a (Sunda) yang menunjukkan bahwa di masa silam sebutan Sunda sesungguhnya merujuk kepada wilayah yang kini disebut Banten dan sangat mungkin nama Sunda itu memang di masa kunonya merupakan penyebutan dan penamaan untuk kawasan dan wilayah yang kini disebut Banten. Terlebih Selat yang saat ini memisahkan sekaligus menghubungkan Jawa dan Sumatra diberi-nama Selat Sunda.
Demikian pula, dalam catatan sejarah Dinasti Ming (1368-1644 M), Banten ketika itu dikenal dan disebut serta dicatat dengan nama Sun-la (Sunda). Tidak berbeda dengan catatan-catatan atau dokumentasi-dokumentasi Cina, catatan-catatan atau dokumentasi-dokumentasi Eropa semisal Suma Oriental-nya Tom Pires menyebut Banten dengan nama Shunt’a (Sunda) namun dengan makna yang acapkali ganda dan tumpang-tindih: pelabuhan yang ada di Banten dan kawasan paling Barat pulau Jawa.
Meski demikian, yang kemudian ditegaskan pula oleh Denys Lombard melalui bukunya yang berjudul Nusa Jawa itu, pencatatan dan pendokumentasian Banten umumnya karena Banten merupakan jalur utama maritim Asia yang menjadikannya sebagai kawasan strategis perdagangan dunia. Baik Groeneveldt atau Denys Lombard serta sejumlah sejarahwan dunia lainnya bersepakat bahwa Banten memainkan perang sangat penting dalam aktivitas perdagangan maritim dunia dan bangsa asing yang pertama yang turut berperan dalam aktivitas di Banten adalah Cina, kemudian disusul India, yang berdasarkan penelitian arkeologi kerjasama Perancis dan Indonesia di situs Banten Girang disimpulkan bahwa kehadiran Cina di Banten sudah sejak sebelum Kesultanan Banten berdiri atau sejak zaman pra-Islam.
Toponimi Banten: Banten Girang – Paska Tarumanegara, Sebelum Padjajaran Berdiri
Secara bahasa, kata Banten adalah bentuk halus dari kata Bali, yang artinya sesajen dan plasenta. Ketika dalam upakara Hindu, hendak memberi sesajen disebut ngaBanten atau ngaBalen. Hal yang masuk akal, mengingat pra Islam, Banten adalah kawasan Hindu. Orang Sunda menyebutnya Wahanten dan orang Cina menyebutnya Wantan.
Berdasarkan penelitian dan kajian arkeologis serta historiografis, barangkali kata dan nama ‘Banten’ mulai digunakan sejak kehadiran Kerajaan Sunda Banten Girang yang kawasan utamanya saat ini masuk dalam administrasi pemerintahan Kota Serang. (Lihat: Claude Guillot dkk, Banten Sebelum Zaman Islam, Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1996-1997). Banten Girang adalah tempat dan kawasan (kini di Kota Serang, Banten), yang oleh para peneliti kepurbakalaan dan sejarahwan dari Perancis dan Indonesia itu diyakini sebagai pusat pemerintahan kerajaan bercorak Hindu-Budha, sebelum berdirinya Kesultanan Banten, yang mungkin saja kekuasaannya mencakup wilayah yang dulu masuk dalam kekuasaan Tarmunagara, seperti Lampung.
Dalam sumber tertulis Nusantara, eksistensi Banten Girang disebutkan dalam beberapa naskah kuno atau babad. Wahanten Girang pernah disebutkan dalam Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa Wahanten Girang dikalahkan oleh Arya Bubrah, yakni tokoh yang ditafsirkan sebagai Fatahillah Khan, panglima Demak – Cirebon yang mengalahkan Kalapa. Yaitu ketika para petinggi kerajaan Sunda menolak ‘Islamisasi’ setelah Maulana Hasanudin berhasil mengIslamkan ratusan para cantrik (ajar) di Gunung Pulosari melalui dialog dan diskusi ilmiah.
Lima lempeng prasasti yang ditemukan di desa Kebantenan, Bekasi, dua di antaranya menyebutkan kata “Banten”. Beberapa ahli menyatakan kata “Banten” tersebut merujuk pada Banten Girang. Ini pun dapat saja ditafsirkan bahwa sangat mungkin wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda yang beribukota di Banten Girang mencakup wilayah kekuasaan yang sebelumnya berada dalam wilayah kekuasaan Tarumanagara.
Adapun bila dikaji berdasarkan asal bahasanya, yaitu dalam bahasa Jawa Kuno, Banten artinya selamatan/sesaji –dekat dan mirip dengan tradisi dan ritual ruwatan dalam masyarakat Nusantara. Sementara Pabanten artinya tempat untuk melakukan sesaji atau selamatan. Selanjutnya, Kampung Banten berarti kampung tempat melakukan persembahan atau melakukan sesajian dan selamatan. Dengan demikian, kata dan nama Banten berkarakteristik religius atau berkosmologi keagamaan dan kesalehan.
Dalam dokumentasi tertulis lainnya, yang telah dikaji para sejarahwan Perancis dan Indonesia, yaitu Sajarah Banten, yang sebelumnya dikaji Hoesein Djajadiningrat, diceritakan bahwa Banten Girang ditaklukkan oleh pasukan Islam yang berasal dari Demak dan Cirebon. Setelah penaklukkan tersebut, berdirilah Kesultanan Banten dan pusat pemerintahan berpindah ke daerah utara di pesisir pantai teluk Banten, yang sekarang dikenal sebagai kawasan situs Banten Lama yang menjadi destinasi wisata religius Banten.
Saat ini Banten Girang hanya berupa bukit kecil di barat sungai Cibanten di Kampung Sempu yang mulai dikepung populasi dan kepadatan hunian serta perkembangan kota Serang, Banten sebagai ibukota provinsi. Nama-nama tempat yang masih tersisa di Banten Girang antara lain Asem Reges, yang menurut cerita berasal dari pohon asem yang ditanam di dekat makam Ki Jongjo. Nama lain adalah Telaya, dimana pada tahun 1682 nama Banten Girang diganti menjadi Tirtalaya oleh sultan Banten, yang kemudian disingkat menjadi Telaya.
Ssementara itu di tepi jurang terdapat gua buatan yang dipercaya dahulu digunakan oleh Prabu Pucuk Umun untuk bersemedi atau tapa brata dalam tradisi keagamaan sebelum Kesultanan Banten ada. Pandaringan, menurut cerita merupakan bekas kolam pada masa kejayaan Banten Girang, sehingga dinamakam pandaringan yang berarti tempat menyimpan makanan. Banusri merupakan bekas pasar, serta Alas Dawa yang berada di sebelah selatan kawasan Banten Girang, dahulu merupakan hutan.
Di era kuno sebelum kehadiran Kesultanan Banten bahkan hingga kehadiran Kesultanan Banten, sungai di kawasan tersebut yang sangat fungsional sebagai jalur transportasi (pengangkutan) barang atau komoditas (terutama lada setelah dipanen dari tempat perkebunannya di kawasan pegunungan di Banten) dan komoditas lainnya yang diangkut dengan perahu jung adalah Sungai Cibanten, selain sungai tersebut juga dianggap keramat oleh Masyarakat Kanekes (Baduy) Banten hingga saat ini –yang merupakan salah-satu tempat yang selalu mereka kunjugi ketika mengadakan ritual tahunan yang kita kenal sebagai Seba Baduy.
Banten Sebagai Jalur Niaga Maritim Kuno
Menurut beberapa sejarahwan dan peneliti, semisal Claude Guillot dan Daniel Perret, laut dan pelabuhan Banten yang memang strategis sudah beroperasi sejak sebelum Kesultanan Banten berdiri. Bahkan ada yang berspekulasi bila diantara motif pendirian Kesultanan Banten itu sendiri karena posisi strategis maritimnya tersebut setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 Masehi. Begitu pun, kuat dugaan, Pelabuhan Banten termasuk kawasan Ujung Kulon, telah beroperasi sejak era Tarumanagara, setelah ditemukannya Prasasti Munjul yang bertitimangsa Purnawarman yang dianggap sebagai Raja Taruma terbesar dan pelopor megaproyek irigasi dan pembuatan sungai, termasuk kali Bekasi.
Lebih khusus Daniel Perret (Lihat: Henry Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary, ed, Panggung Sejarah Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Yayasan Obor Indonesia 2011, h. 248) berani menyimpulkan bahwa Banten Girang (Kerajaan Sunda) lah yang merupakan contoh urban settlement tertua di Nusantara bila dilihat dari bukti ditemukannya jejak kubu pertahanan yang baik yang tidak ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sejumlah jalan di Banten yang kemudian digunakan Kesultanan Banten pun sesungguhnya merupakan jalur kuno yang telah digunakan sebelum Kesultanan Banten semisal ‘jalan sultan’ di Kelapa Dua Kota Serang, Banten. Hasil kajian dan penelitian sejumlah sejarahwan, arkeolog dan peneliti Perancis dan Indonesia tersebut seakan semakin menguatkan bahwa diantara motif didirikannya salah-satu Kesultanan Nusantara yang berlokasi di Banten dan beribukota di Pelabuhan Banten (Karangantu) tak lain karena nilai dan posisi strategisnya sebagai jalur maritim Asia dan juga Dunia.
Jika dugaan itu benar demikian, tidaklah keliru bila sejumlah penulis dan sejarahwan memaparkan adanya kontak fisik bersenjata antara rezim penguasa lama di Banten dengan pasukan dari Demak dan Cirebon, yang ketika itu bahkan telah ‘menyeret’ keterlibatan Portugis kepada pihak rezim penguasa di Banten dengan kompensasi aliansi dagang berupa komoditas lada, yang mana lada Banten merupakan lada terbaik dunia, yang meski akhirnya, Portugis pun beraliansi dagang dengan Kesultanan Banten hingga era Maulana Yusuf setelah rezim penguasa lama di Banten berhasil dikalahkan dan Kesultanan Banten didirikan dan kemudian mapan.
Dalam Nusa Jawa-nya Denys Lombard jilid 2: Jaringan Asia (Lihat: Denys Lombard, Nusa Jawa 2: Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama Jakarta 1996) bahkan digambarkan lebih ilustratif dan detil bagaimana Banten sebagai salah-satu jalur dan jaringan maritim Asia itu telah dirintis oleh Cina dan India, bahkan hingga Arab dan Persia, sebelum Eropa mengambil-alih peran strategisnya dengan kekuatan militer dan persenjataan –seperti dengan penaklukan Bandar dan perang laut. Sejak itu, peta laut dan dominasi maritim pun berubah menguntungkan Eropa, yang nantinya membuka pintu kolonialisme Belanda atas Indonesia.
Maritim Sebelum Masehi
Dalam kajian dan penelitian Denys Lombard (Lihat: Denys Lombard, Nusa Jawa 2: Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama Jakarta 1996, h. 11-29), aktivitas maritim dan kegiatan pelayaran orang-orang Nusantara sesungguhnya sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi seiring ditemukannya sejumlah nekara purba di Nusantara termasuk di Banten: “Kalaupun kita belum bisa menyusun kembali dengan pasti tahap-tahap penghunian Nusantara pada awal mula sejarah manusia, sudah jelas bahwa pada kurun seribu tahun pertama sebelum masehi, daerah itu sudah termasuk suatu kawasan budaya besar yang rentangannya mengandaikan adanya hubungan laut yang tetap.” (Nusa Jawa 2, h. 11).
Kesimpulan Denys Lombard tersebut berdasarkan kesamaan bentuk dan ciri teknik artistik sejumlah nekara yang ditemukan di Vietnam dan Indonesia, semisal yang ditemukan di Banten dan Bali, dan sejumlah bukti-bukti kesejarahan lainnya. Nekara sendiri, berdasarkan kajian arkeologis dan kesejarahan, merupakan instrument yang digunakan dalam perang dan penobatan raja-raja. Adapun terkait hubungan Nusantara dengan Cina, Lombard menerangkan:
“Sejak zaman dinasti Shang (masa seribu tahun kedua SM), daerah Sungai Kuning tengah, tempat asal kebudayaan Cina sudah menjalin hubungan dengan kawasan lautan; dalam sebuah penggalian ditemukan kulit kura-kura laut dan kerang kauri. Namun harus menunggu berabad-abad sebelum kawasan lautan itu muncul di ufuk dunia Cina yang sudah mengenal budaya tulisan. Hubungan menjadi lebih jelas sejak abad ke-3 SM dengan terbentuknya kekaisaran Cina dan dilancarkannya ekspedisi-ekspedisi Qin Shihuangdi ke arah daerah Kanton. Setelah kekaisaran pertama hancur, dan kerajaan-kerajaan di Selatan mulai bermunculan pada abad ke-3 M, catatan-catatan pertama yang pasti mengenai Asia Tenggara mulai ditulis dalam teks-teks Cina.” (Nusa Jawa 2, h. 12).
Bila aktivitas maritim atau kegiatan pelayaran orang-orang Nusantara dengan kawasan-kawasan laut lainnya yang jauh sudah terjadi atau berlangsung sejak Sebelum Masehi, maka ada kemungkinan tempat-tempat terjadinya aktivitas dan peristiwa-peristiwa maritim itu juga berlangsung di Banten mengingat ditemukan banyak benda purba, artefak, atau bukti-bukti arkeologis Sebelum Masehi di Banten, semisal yang ditemukan di Desa Sukamenak, Cikeusal (Kabupaten Serang) dan di Kampung Odel (Kasemen, Kota Serang), yang juga menjadi bukti bahwa kawasan yang saat ini disebut Banten telah dihuni sejak ribuan tahun SM.
Selain itu, ditemukan pula situs-situs dan bangunan-bangunan sebelum masehi yang bercorak arsitektur purba dan berciri keagamaan di Banten, semisal Situs Lebak Cibedug di Banten Selatan, yang merupakan proto bangunan-bangunan megah kemudian di Indonesia.
Detil-detil yang diterangkan Denys Lombard terkait aktivitas dan peristiwa maritim Jaringan Asia berdasarkan penelitian serta kajian manuskrip dan arkeologis itu telah menerangkan kepada kita bahwa kegiatan dan aktivitas maritim Nusantara sesungguhnya memang telah terjadi dan berlangsung secara tetap berkesinambungan sejak sebelum kehadiran kesultanan-kesultanan Islam, yang malah bahkan sejak Sebelum Masehi. Dengan demikian, dapatlah kita ‘katakan’ bahwa jalur-jalur dan jaringan maritim Asia Tenggara dengan dunia di luar Asia Tenggara sesungguhnya adalah jalur-jalur dan jaringan-jaringan yang sudah ada sejak Sebelum Masehi.
Banten Pra-Islam
Dengan semakin kayanya literatur dan hasil penelitian yang mengungkapkan signifikansi aktivitas dan peristiwa maritim Nusantara pra-Islam, kajian dan penelitian kesejarahan tentang Banten pun perlu mendorong untuk semakin meneliti atau untuk menemukan fakta-fakta dan kajian-kajian baru yang sinambung menyangkut kesejarahan Banten pra-Islam. Hal demikian dalam rangka menegaskan bahwa eksistensi kesejarahan Banten tidak seakan-akan ‘hanya’ dimulai ketika Kesultanan Banten berdiri, melainkan suatu kesinambungan dari yang purba hingga modern. Banten bukan kawasan yang seakan-akan baru aktif dan ramai secara maritim ketika Islam hadir di Nusantara.
Dalam Nusa Jawa Jilid 2-nya (Denys Lombard, Nusa Jawa 2: Jaringan Asia, Gramedia Pustaka Utama 1996 halaman 19), Denys Lombard mengungkapkan terkait aktivitas dan peristiwa maritim Nusantara: “sudah terjadi percampuran antar bangsa sebelum Islam”, yang tentu saja hal itu mencakup juga Banten, yang dalam kajian M. C. Ricklefs, Kesultanan Banten sendiri hanyalah memanfaatkan apa yang telah dirintis Kerajaan Sunda Hindu Banten Girang terkait aktivitas maritim. (Lihat: M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi 2008, h. 40-73).
Penting juga dipahami bahwa kebenaran sejarah pun bukan kebenaran yang mati, sebab sejarah lama dapat berubah ketika ditemukan bukti-bukti dan catatan-catatan lain yang menginformasikannya kepada kita. Semoga nanti akan ditemukan catatan-catatan dan bukti-bukti lainnya yang menyingkap sejarah Banten dan terutama sejarah maritimnya. (*)