Beranda Opini Mari Kita Rayakan 14 Maret Sebagai Hari Aksara Nasional

Mari Kita Rayakan 14 Maret Sebagai Hari Aksara Nasional

Pelajar membaca buku di dalam gerbong Rail Library. (Ade/bantennews)

Mari Kita Rayakan 14 Maret Sebagai Hari Aksara Nasional
Oleh Gol A Gong

Sebelum memulai tulisan ini, izinkan saya mengucapkan: Selamat Hari Aksara Internasional, 8 September 1966 – 2023.

Hari Aksara Internasional berawal dari Konferensi Pemberantasan Buta Huruf di Teheran, Iran, 8-19 September 1965. Peserta konferensinya Mentri Pendidikan sedunia. Saat itu Mendikbud RI dari Kabinet Dwikora, Agustus 1964 – Maret 1966 adalah Prijono.

UNESCO mendeklarasikan tanggal 8 September 1966 sebagai peringatan Hari Aksara Internasional yang diperingati setiap tahunnya di seluruh dunia.. Saat deklarasi ini, Mendikbud RI dari Kabinet Ampera Juli 1966 – Oktober 1967, Sarino Mangunprnaoto.

Pertanyaannya, “Seberapa penting memperingati Hari Aksara Internasional?”

Saya kira tujuannya adalah untuk memotivasi masyarakat kita dan pengingat bahwa masih banyak masalah mengenai pentingnya literasi di tengah masyarakat dunia. Terutama di Indonesia, agar kita semakin bersemangat untuk maju dan menolak dihakimi lembaga PISA (Programme for International Student Assessment), bahwa kita adalah bangsa yang rendah minat bacanya itu jangan lagi menghantui kita. Itu akan membuat kita rendah diri.

###

Abaikan saja penghakiman itu, karena budaya membaca kita trendnya sedang bagus sekarang. Komunitas baca bertumbuhan. Buku-buku konvensional diterbitkan dan dijual dengan cara pre order. Platform digital dengan beragam jenis tulisan digandrungi, bahkan dialihwahanakan ke film.

Justru yang terjadi UNESCO mengingatkan kita, bahwa sebaiknya 1 orang Indonesia membaca 3 judul buku dalam setahun. Sedangkan Perpusnas RI menyodorkan angka: di pulau Jawa, 1 buku ditunggu 90 orang sedangkan di Indonesia Timur, 1 buku ditunggu 1500 pembaca. Apa yang harus kita lakukan? Menulis buku sebanyak-banyaknya. Seperti kata Edi Wiyono, Pemred Perpusnas Press, “Tuliskan, terbitkan dan sebarkan.”

Upaya Perpusnas RI dalam memperpendek kesenjangan itu adalah berkolaborasi dengan sebanyak-banyaknya komunitas untuk menjalankan program peningkatan mInat baca dan tulis. Mulai dari “Inkubator Literasi”, yang keliling Indonesia mendorong tumbuh dan berkembangnya penulis di daerah. Kemudian Perpusnas Writers Festival yang digelar sejak 2021 dan 2022 di gedung Perpusnas RI, Merdeka Selatan, Jakarta. Terkini mulai 6 hingga 8 September Perpusnas Writers Festival 2023 di gedung Konferensi Asia Afrika dan De Majestic, Braga, Bandung.

###

Ketika saya bersama 3 asisten melakukan Safari Literasi Jawa-Bali-NTB-NTT pada 19 Januari hingga 10 April 2022, kami menemukan 3 persoalan di lapangan yang menyebabkan kenapa negara kita ini lambat merespon perkembangan literasi dunia.

Persoalan pertama yang kami temukan, Kepala Dinas di daerah yang merasa dibuang di masa akhir pengabdiannya sebagai ASN ke Dinas Perpustakaan, sehingga tidak memotivasi para pustakawannya untuk melakukan terobosan program yang inovatif, kreatif, dan edukatif. Padahal Perpusnas RI sudah merevitalisasi dirinya sebagai Perpustakaan berbasis inklusi sosial. Para pustakawannya harus memotivasi para pemustakanya agar mendapatkan manfaat atau dampak positif dari kegiatan membaca. Mengutip Muhammad Syarif Bando sebagai Kepala Perpusnas RI, “Kegiatan membaca harus menghasilkan produk barang dan jasa.”

Kedua, akses ke perpustakaan yang sulit. Terutama di luar Jawa, Indonesia bagian timur. Perpusnas RI menyebarkan Pocadi atau Pojok Baca Digital ke seluruh pelosok Indonesia agar masyarakat luas bisa dengan mudah membaca di perpustakaan. Pocadi adalah perpustakaan ini dengan 1 rak buku besar berisi 1500 eksemplar buku terdiri dari 500 judul, masing-masing judul 3 eksemplar. Tiga laptop atau computer, 1 TV monitor, dan jaringan internet. Perpusnas RI juga menyalurkan Dana Alokasi Khusus untuk membangun gedung perpustakaan yang megah dan mewah dengan arsitektur kontemporer. Ruangan-ruangannya yang bervariasi; ada ruangan pelayanan, ruangan ramah anak, mini teater untuk pemutaran film, ruangan untuk diskusi literasi atau bedah buku, ruangan multi media, dan tentu ruang baca yang nyaman.

Permasalahan ketiga adalah distribusi buku yang tidak merata. Fakta yang ada, bahwa 1 buku ditunggu 1500 pembaca untuk luar Jawa masuk akal. Saya pernah mengirimkan buku dengan biaya pengiriman Rp. 125.000. Padahal harga bukunya R. 50.000. Itu sebabnya saya bekerja sama dengan Gramedia, Mizan, Elex Media, Zikrul Hakim, dan Agro Media meluncurkan program unggulan “Hibah Buku Nusantara”. Kami pernah mengirimkan 150 kilo buku ke Kupang, 100 kilo ke Larantuka, 15 kilo ke Maluku, 100 kilo ke Kalimantan Timur, dan 100 kilo ke Kepulauan Riau. Jasa pengirimannya didukung oleh Titipan Kilat Kota Serang dan Angkasa Pura 2.

###

Setiap tahun kita merayakan Hari Aksara Internasional. Bagaimana dengan kita sebagai bangsa besar dengan 17.000 pulau dan 600 bahasa daerah? Tidak adakah penanda, bahwa kita memiliki hari yang berurusan dengan literasi untuk dirayakan? Hari Buku Nasional pada 17 Mei? Hari Kunjung Perpustakaan setiap 14 September?

Kita tahu, Presiden Soekarno mencanangkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) atau buta aksara pada 14 Maret 1948. Sampai dengan 1945 usai, jumlah penduduk Indonesia ada di posisi angka 61 juta orang. Dari jumlah itu, 90 persennya buta huruf atau buta aksara.

Pertanyaannya, kenapa kita tidak memperingati Hari Aksara Nasional pada 14 Maret? (*)

Gol A Gong
Duta Baca Indonesia 2021-2025

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News